Pages

Memories of High School: Chapter 1

Thursday, December 22, 2011

Hello


Awalnya saya bingung juga kenapa saya menyebut diri saya icut. Nama asli saya Ikrima Nathisa. Keluarga saya memanggil Thisa. Tetangga di kompleks saya juga memanggil Thisa. Teman SD dan SMP saya memanggil saya Ikrima. Karena merasa memiliki nama yang agak panjang, jadilah saya memutuskan untuk mengenalkan diri sebagai Thisa di SMA. Tapi, entah mulai dari kapan, teman-teman SMA saya memanggil saya Icut (baca i-c-u-t, bukan aikat atau ikat).

Namun, setelah saya telusuri lagi, bukan tanpa alasan saya dipanggil Icut. Di rumah, ayah saya suka memanggil saya dengan panggilan yang beliau karang sendiri. Kakak saya yang namanya Uqi dipanggil Jeleqi, singkatan dari Jelek dan Uqi. Make sense? Saya sendiri kadang dipanggil Jelesa (yes, singkatan dari Jelek dan Thisa), Thisut, Jelesut (yes, Jelek dan Thisut), Ticut, sampai muncullah nama icut. Setelah saya lihat lagi, kenapa nama panggilan saya lebih banyak dari kakak saya ya? Oke, jadi begitulah kenapa saya bisa dipanggil Icut.

Dari kecil sampai SMA saya tinggal di Denpasar. Saya tinggal dengan 3 orang keluarga saya lainnya, ayah, ibu dan kakak saya.  Walaupun kami sering bertengkar, terutama waktu kecil, tanpa saya sadari kakak saya telah menjadi panutan saya dalam banyak hal terutama pendidikan. Kakak saya berhasil masuk SMP, SMA dan universitas yang cukup diperhitungkan di Bali dan di Indonesia. Karena itulah saya juga berusaha untuk tidak kalah dengan kakak saya. Saya pun berusaha untuk bisa masuk ke sekolah-sekolah tersebut. Termasuk SMA saya. Kata orang, kata guru dan kata kepala sekolah saya, SMA saya merupakan salah satu SMA terbaik di Bali. Selain mendapatkan pengajaran terbaik, di SMA saya juga mendapatkan teman-teman terbaik. Teman-teman yang selama 3 tahun menemani kehidupan SMA saya.
Awal masuk SMA saya sempat khawatir karena tidak ada teman SMP saya yang sekelas dengan saya di SMA. Sebagai anak yang menderita kecanggungan sosial, hal tersebut cukup membuat saya bertanya-tanya apakah nantinya saya akan mendapatkan teman ngobrol. Itu semua terjawab ketika saya berkenalan dengan Oneng. Jujur, saya mengalami dilemma dengan nama Oneng. Haruskah saya tetap memanggilnya Oneng di sini atau memanggilnya Gung Intan, nama aslinya. Karena saya ingat, suatu ketika Oneng ada janji ketemu dengan cowok yang ia kenal lewat SMS (blind date gitu ceritanya) di toko buku (heran dengan pemilihan tempatnya? saya juga). Saat itu saya dan Yovina juga menemaninya. Sebelum si cowok datang, Oneng meminta kami berdua agar memanggil dia dengan Gung Intan, bukan Oneng. Katanya supaya image-nya terjaga. Diminta dengan sungguh-sungguh seperti itu, kamipun mengiyakan. Dari situlah saya sempat berpikir dua kali untuk menuliskan namanya di sini. Tapi akhirnya saya putuskan untuk tetap menggunakan nama Oneng. Karena nama itulah yang dikenal di SMA saya.

Lalu, darimana asal nama Oneng? Kalau kalian ngeliat tingkah laku dan ngobrol bareng Oneng kalian pasti akan langsung kebayang kenapa teman saya yang satu ini bernama sama dengan salah satu karakter di Bajaj Bajuri ini. Walaupun tingkat keakutannya tidak separah Oneng aslinya, Oneng teman saya ini memang agak ber’loading’ lama. Walaupun begitu, dia merupakan tipe orang yang bisa membuat orang-orang yang berada di sekitarnya selalu merasa senang. Entah karena ceritanya ataupun dari tingkahnya. Kalau kata ayah saya Oneng itu pure, polos. Walaupun sedikit enggan, saya harus mengakui bahwa belum pernah saya bertemu dengan orang sepolos Oneng.

Dari Onenglah saya mengenal Teater Blabar dan Yovina. Dari Yovina saya dekat dengat Witha. Dari Yovina dan Witha saya kenal Manik. Sisi duduk di depan saya ketika kami kelas I, sehingga kami jadi berteman baik. Bey Bey saya kenal dari Sisi. Tampak seperti MLM, tapi begitulah cara saya bisa berkenalan dengan teman-teman saya ini. Dari kelas 1 sampai kelas 3 kami semua sekelas, kecuali Oneng. Di kelas 2, hanya dia yang dipindahkan ke kelas lain. Saya masih ingat bagaimana muka Oneng ketika dia mengetahui bahwa hanya dia satu-satunya dari kami yang masuk ke kelas IPA 6. Saya ingat bagaimana dia menangis di hari pertamanya di kelas IPA 6 dan berkata bahwa dia sedih harus beda kelas dengan kami untuk 2 tahun ke depan. Kami pun berusaha untuk menenangkannya. Mungkin lebih tepatnya menenangkan diri kami sendiri untuk tidak tertawa melihat dia menangis. Tidak bermaksud untuk tidak bersimpati padanya, tapi entah kenapa setiap kali melihat dia menangis, kami selalu merasa ingin tertawa. Sama seperti ketika tiba-tiba dia datang ke sekolah pagi hari dengan mata sembab. Saya dan Yovina bertanya ada apa. Dengan sesegukan dia menjawab bahwa Koci, kucingnya, meninggal. Jujur kami berdua langsung merasa kasihan dan sedih pada Koci dan Oneng.  Namun, entah kenapa secara tidak disengaja, saya dan Yovina malah merasa gelid an ingin tersenyum melihat bagaimana Oneng bercucuran air mata sambil berbicara mengenai Koci. Lucu aja.

SMA saya tidak jauh dari rumah saya. Hanya butuh 10 menit jalan kaki. Walaupun bisa ditempuh dengan jalan kaki, saya lebih sering meminta ayah saya untuk mengantarkan saya ke sekolah karena sudah cukup siang untuk berjalan kaki. Jika paginya saya meminta ayah saya untuk mengantarkan, maka pulang sekolah saya diantarkan Witha. Kebetulan memang arah rumah saya sama dengan arah Witha pulang, jadilah ia berbaik hati mau mengantar saya pulang. Jika kalian berpikir bahwa rumah saya sudah cukup dekat dengan sekolah, kalian harus melihat di mana rumah Manik. Di gang sebelah sekolah. Gak sampai 5 menit, Manik sudah samapi ke sekolah dari rumahnya. Karena lokasi rumahnya yang memang sangat dekat dengan sekolah, maka rumah Manik pun menjadi tempat bolos yang oke. Walaupun kami bukan kumpulan anak nakal yang hobi bolos, kadang kami juga merasakan kebosanan dengan segala macam pelajaran dan tetek bengeknya. Pelariannya tentu saja rumah Manik. Biasanya di sana kami hanya menonton DVD sambil makan.

Untuk lebih mematangkan isi otak murid-muridnya, SMA saya mewajibkan kami untuk mengikuti pemantapan sore setiap hari Senin, Selasa dan Rabu mulai dari jam 3 sampai jam 6 sore. Isinya seperti les, mengerjakan soal-soal. Untuk yang rumahnya dekat seperti saya dan Manik, kami bisa pulang dulu ke rumah setelah sekolah selesai jam 1 siang. Tapi, untuk yang rumahnya agak jauh seperti Oneng, Witha, Yovina, Sisi dan Bey Bey, biasanya mereka akan diam di sekolah, ke rumah Manik, atau ke rumah saya. Karena itulah, rumah saya sering jadi tempat berkumpul.

Selain teman-teman yang saya sebutkan di atas, saya tidak pernah lupa dengan teman-teman sekelas saya lainnya. ocha, Trisna yang berani duduk di depan saya, barisan paling depan. Topan yang tidak habis ide untuk mengerjai kami, Majegau orang dengan sindrom khawatir paling akut yang pernah saya temui. Carol, yang pernah rebutan kursi dengan saya, Wiwin, Dani, Dian. Winda, Novida, Puri. Mereka menyebut diri mereka ACI. Entah singkatan dari apa. Reo, yang duduk di depan saya ketika kelas 1 dan pernah membuat danau di atas mejanya ketika tertidur di kelas. Semua anak kelas IPA 2 yang lucu-lucu.

Saya bukanlah tipe murid popular di SMA. Prestasi akademik standar. Tidak ada sesuatu yang bisa ditonjolkan sebenarnya. Tapi saya sangat menyukai masa-masa SMA saya yang selama 3 tahun itu. Maka dari itu saya menulis semua ini untuk mengingatkan saya betapa kangennya saya dengan SMA dan orang-orang yang berada di sekitar saya. 

No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS