Awalnya saya bingung juga kenapa saya menyebut diri
saya icut. Nama asli saya Ikrima Nathisa. Keluarga saya memanggil Thisa.
Tetangga di kompleks saya juga memanggil Thisa. Teman SD dan SMP saya memanggil
saya Ikrima. Karena merasa memiliki nama yang agak panjang, jadilah saya
memutuskan untuk mengenalkan diri sebagai Thisa di SMA. Tapi, entah mulai dari
kapan, teman-teman SMA saya memanggil saya Icut (baca i-c-u-t, bukan aikat atau
ikat).
Namun, setelah saya telusuri lagi, bukan tanpa
alasan saya dipanggil Icut. Di rumah, ayah saya suka memanggil saya dengan
panggilan yang beliau karang sendiri. Kakak saya yang namanya Uqi dipanggil
Jeleqi, singkatan dari Jelek dan Uqi. Make sense? Saya sendiri kadang dipanggil
Jelesa (yes, singkatan dari Jelek dan Thisa), Thisut, Jelesut (yes, Jelek dan
Thisut), Ticut, sampai muncullah nama icut. Setelah saya lihat lagi, kenapa
nama panggilan saya lebih banyak dari kakak saya ya? Oke, jadi begitulah kenapa
saya bisa dipanggil Icut.
Dari kecil sampai SMA saya tinggal di Denpasar.
Saya tinggal dengan 3 orang keluarga saya lainnya, ayah, ibu dan kakak
saya. Walaupun kami sering bertengkar,
terutama waktu kecil, tanpa saya sadari kakak saya telah menjadi panutan saya
dalam banyak hal terutama pendidikan. Kakak saya berhasil masuk SMP, SMA dan
universitas yang cukup diperhitungkan di Bali dan di Indonesia. Karena itulah
saya juga berusaha untuk tidak kalah dengan kakak saya. Saya pun berusaha untuk
bisa masuk ke sekolah-sekolah tersebut. Termasuk SMA saya. Kata orang, kata
guru dan kata kepala sekolah saya, SMA saya merupakan salah satu SMA terbaik di
Bali. Selain mendapatkan pengajaran terbaik, di SMA saya juga mendapatkan
teman-teman terbaik. Teman-teman yang selama 3 tahun menemani kehidupan SMA
saya.
Awal masuk SMA saya sempat khawatir karena tidak
ada teman SMP saya yang sekelas dengan saya di SMA. Sebagai anak yang menderita
kecanggungan sosial, hal tersebut cukup membuat saya bertanya-tanya apakah
nantinya saya akan mendapatkan teman ngobrol. Itu semua terjawab ketika saya
berkenalan dengan Oneng. Jujur, saya mengalami dilemma dengan nama Oneng.
Haruskah saya tetap memanggilnya Oneng di sini atau memanggilnya Gung Intan,
nama aslinya. Karena saya ingat, suatu ketika Oneng ada janji ketemu dengan
cowok yang ia kenal lewat SMS (blind date gitu ceritanya) di toko buku (heran
dengan pemilihan tempatnya? saya juga). Saat itu saya dan Yovina juga
menemaninya. Sebelum si cowok datang, Oneng meminta kami berdua agar memanggil
dia dengan Gung Intan, bukan Oneng. Katanya supaya image-nya terjaga. Diminta
dengan sungguh-sungguh seperti itu, kamipun mengiyakan. Dari situlah saya
sempat berpikir dua kali untuk menuliskan namanya di sini. Tapi akhirnya saya
putuskan untuk tetap menggunakan nama Oneng. Karena nama itulah yang dikenal di
SMA saya.
Lalu, darimana asal nama Oneng? Kalau kalian
ngeliat tingkah laku dan ngobrol bareng Oneng kalian pasti akan langsung
kebayang kenapa teman saya yang satu ini bernama sama dengan salah satu
karakter di Bajaj Bajuri ini. Walaupun tingkat keakutannya tidak separah Oneng
aslinya, Oneng teman saya ini memang agak ber’loading’ lama. Walaupun begitu,
dia merupakan tipe orang yang bisa membuat orang-orang yang berada di
sekitarnya selalu merasa senang. Entah karena ceritanya ataupun dari
tingkahnya. Kalau kata ayah saya Oneng itu pure, polos. Walaupun sedikit
enggan, saya harus mengakui bahwa belum pernah saya bertemu dengan orang
sepolos Oneng.
Dari Onenglah saya mengenal Teater Blabar dan
Yovina. Dari Yovina saya dekat dengat Witha. Dari Yovina dan Witha saya kenal
Manik. Sisi duduk di depan saya ketika kami kelas I, sehingga kami jadi
berteman baik. Bey Bey saya kenal dari Sisi. Tampak seperti MLM, tapi begitulah
cara saya bisa berkenalan dengan teman-teman saya ini. Dari kelas 1 sampai
kelas 3 kami semua sekelas, kecuali Oneng. Di kelas 2, hanya dia yang
dipindahkan ke kelas lain. Saya masih ingat bagaimana muka Oneng ketika dia
mengetahui bahwa hanya dia satu-satunya dari kami yang masuk ke kelas IPA 6.
Saya ingat bagaimana dia menangis di hari pertamanya di kelas IPA 6 dan berkata
bahwa dia sedih harus beda kelas dengan kami untuk 2 tahun ke depan. Kami pun
berusaha untuk menenangkannya. Mungkin lebih tepatnya menenangkan diri kami
sendiri untuk tidak tertawa melihat dia menangis. Tidak bermaksud untuk tidak
bersimpati padanya, tapi entah kenapa setiap kali melihat dia menangis, kami
selalu merasa ingin tertawa. Sama seperti ketika tiba-tiba dia datang ke
sekolah pagi hari dengan mata sembab. Saya dan Yovina bertanya ada apa. Dengan
sesegukan dia menjawab bahwa Koci, kucingnya, meninggal. Jujur kami berdua
langsung merasa kasihan dan sedih pada Koci dan Oneng. Namun, entah kenapa secara tidak disengaja,
saya dan Yovina malah merasa gelid an ingin tersenyum melihat bagaimana Oneng
bercucuran air mata sambil berbicara mengenai Koci. Lucu aja.
SMA saya tidak jauh dari rumah saya. Hanya butuh 10
menit jalan kaki. Walaupun bisa ditempuh dengan jalan kaki, saya lebih sering
meminta ayah saya untuk mengantarkan saya ke sekolah karena sudah cukup siang
untuk berjalan kaki. Jika paginya saya meminta ayah saya untuk mengantarkan,
maka pulang sekolah saya diantarkan Witha. Kebetulan memang arah rumah saya
sama dengan arah Witha pulang, jadilah ia berbaik hati mau mengantar saya
pulang. Jika kalian berpikir bahwa rumah saya sudah cukup dekat dengan sekolah,
kalian harus melihat di mana rumah Manik. Di gang sebelah sekolah. Gak sampai 5
menit, Manik sudah samapi ke sekolah dari rumahnya. Karena lokasi rumahnya yang
memang sangat dekat dengan sekolah, maka rumah Manik pun menjadi tempat bolos
yang oke. Walaupun kami bukan kumpulan anak nakal yang hobi bolos, kadang kami
juga merasakan kebosanan dengan segala macam pelajaran dan tetek bengeknya.
Pelariannya tentu saja rumah Manik. Biasanya di sana kami hanya menonton DVD
sambil makan.
Untuk lebih mematangkan isi otak murid-muridnya,
SMA saya mewajibkan kami untuk mengikuti pemantapan sore setiap hari Senin,
Selasa dan Rabu mulai dari jam 3 sampai jam 6 sore. Isinya seperti les,
mengerjakan soal-soal. Untuk yang rumahnya dekat seperti saya dan Manik, kami
bisa pulang dulu ke rumah setelah sekolah selesai jam 1 siang. Tapi, untuk yang
rumahnya agak jauh seperti Oneng, Witha, Yovina, Sisi dan Bey Bey, biasanya
mereka akan diam di sekolah, ke rumah Manik, atau ke rumah saya. Karena itulah,
rumah saya sering jadi tempat berkumpul.
Selain teman-teman yang saya sebutkan di atas, saya
tidak pernah lupa dengan teman-teman sekelas saya lainnya. ocha, Trisna yang
berani duduk di depan saya, barisan paling depan. Topan yang tidak habis ide
untuk mengerjai kami, Majegau orang dengan sindrom khawatir paling akut yang
pernah saya temui. Carol, yang pernah rebutan kursi dengan saya, Wiwin, Dani,
Dian. Winda, Novida, Puri. Mereka menyebut diri mereka ACI. Entah singkatan
dari apa. Reo, yang duduk di depan saya ketika kelas 1 dan pernah membuat danau
di atas mejanya ketika tertidur di kelas. Semua anak kelas IPA 2 yang
lucu-lucu.
Saya bukanlah tipe murid popular di SMA. Prestasi
akademik standar. Tidak ada sesuatu yang bisa ditonjolkan sebenarnya. Tapi saya
sangat menyukai masa-masa SMA saya yang selama 3 tahun itu. Maka dari itu saya menulis
semua ini untuk mengingatkan saya betapa kangennya saya dengan SMA dan
orang-orang yang berada di sekitar saya.
No comments:
Post a Comment