Pages

Mba Ar

Sunday, September 9, 2012

Mba ar, bibi yang bantu bantu di rumah waktu saya kecil, sekitar umur 2 tahun. Well, saya jujur gak inget sama sekali masa-masa mba ar 'ngempu' saya dan kakak saya. Kakak saya yang jauh lebih dekat sama mba ar. Kakak saya yang masih inget gimana baiknya mba ar ketika ngempu kami. Saya bahkan tidak ingat di umur berapa akhirnya mba ar tidak bekerja di rumah saya lagi.

Ketika kami sekeluarga ke pegayaman untuk acara pengajian karena kakak saya menikah, mba ar datang untuk menyelamati kakak saya. Dia tidak sendiri, dia datang bersama 2 anaknya, cowok dan cewek. Kami mengobrol dengan dia, dan mba ar mengatakan bahwa anak cowok yang dia ajak bersama dia tuna wicara. Dan karena di desa kami tidak ada SLB, maka anak itu tidak sekolah setelah TK. Sekarang anak cowok itu berumur 11 tahun.

Cerita mba ar itu merupakan salah satu dari sekian banyak yang harusnya membuat saya semakin bersyukur dengan segala hal yang saya miliki. Saya lahir dengan tubuh sempurna, tidak ada cacat sedikitpun di tubuh saya. Dari kecil saya sudah bisa mengenyam pendidikan dari TK sampai kuliah. 

Sebelum mba Ar pulang, kakak saya sempat bercanda dengan anaknya Mba Ar. Dengan polosnya, anak itu tersenyum dengan segala hal yang kakak saya lakukan/kerjakan. Saya suka sekali melihat senyuman seperti itu. Senyum ceria anak-anak yang tetap merasa senang walaupun dengan kondisi dan keadaannya sekarang. Senyum tulus dan ceria yang mungkin jauh-jauh lebih susah ditemukan di wajah saya yang jauh-jauh lebih beruntung dibandingkan anak itu. Mungkin karena terlalu banyak hal yang saya keluhkan dengan kehidupan saya tanpa mau menengok, melihat banyak hal yang saya miliki dan yang harusnya saya syukuri. Pelajaran lain yang saya dapatkan dari seorang anak kecil. 

Love to Live in Indonesia

Sebenarnya banyak hal yang membuat saya, kita, harusnya cinta tinggal di Indonesia. Kali ini saya ingin berbagi pengalaman saya tentang okenya Indonesia untuk ditinggali. 

Jujur, kalau saya menonton drama korea, atau film-film luar negeri (terutama yang bersettingkan Perancis atau Inggris) pasti terbersit pikiran, 'seandainya saya lahir dan tinggal di negara-negara itu pasti kehidupan saya akan menyenangkan.' Tidak jarang saya berandai-andai tinggal di negeri orang. 

Pada suatu siang, saya hendak mengirimkan sisa-sisa barang saya yang ada di kosan di Bandung ke Denpasar. Saya akan mengirimkan paket-paket saya itu menggunakan jasa Cipaganti. Karena layanan jemput Cipaganti yang terlalu sore, saya pun mengantarkan paket saya langsung ke poll Cipaganti Cargo yang ada di Pasteur. Awalnya saya ingin menggunakan taksi untuk membawa paket saya. Tapi karena tidak ada taksi yang lewat, maka saya pun menyewa angkot Riung-Dago untuk membantu saya membawa paket-paket saya. 

Setelah setuju dengan harga, bapak angkot pun menemani saya ke kosan untuk mengambil paket saya. Setelah paket-paket saya masuk ke dalam angkot, kamipun bersiap untuk meluncur ke Pasteur. Tapi, yang namanya musibah emang gak ada yang tahu kapan akan datang. Ketika si bapak angkot hendak mengeluarkan angkotnya dari halaman rumah kosan, tiba-tiba si angkot mogok tepat di tengah-tengan gang rumah kosan saya. Mogoknya angkot menyebabkan para pengguna jalan tidak bisa melewati gang. Saya dan bapak angkotpun cemas. Kalau saya lebih karena saya tidak mengerti sedikitpun mengenai otomotif sehingga saya bisa dikatakan tidak berguna untuk membantu si bapak angkot memperbaiki mesin angkotnya. Kalau si bapak angkot cemas karena angkotnya telah menghalangi perjalanan para pengguna jalan. 

Di tengah kecemasan kami, tiba-tiba ada 1 pengguna motor dan 1 tetangga yang ikut membantu memperbaiki angkot. Mereka dengan sukarela membantu kami yang sedang kesusahan karena angkot yang mogok. Kalau ditanya, apakah saya mengenal orang-orang tersebut? Tidak. Saya tidak mengenal salah seorangpun dari mereka (dan saya sedikit menyesal karena saya tidak banyak bersosialisasi dengan tetangga sekitar saya). Lalu, apakah tukang angkot mengenal kedua orang yang membantu kami. Tentu saja tidak. Tukang angkot itu tidak bermukim di daerah kosan saya. Lalu kenapa 2 bapak tersebut bersedia menolong kami? Sederhana. Tenggang rasa dan kepedulian. Karena mereka merasa peduli akan kesusahan kami mereka pun membantu kami. Tumben saat itu saya speechless karena bapak-bapak ini mau membantu kami walaupun tidak kenal. Hampir 30 menit kami,lebih tepatnya para bapak-bapak, saya hanya berdiri dengan tenang sambil memperhatikan para bapak-bapak, memperbaiki angkot yang rusak. Dan dengan bantuang bapak-bapak tetangga, si angkotpun akhirnya bisa jalan kembali dan saya sukses membawa paket-paket saya ke pasteur. 

So, what's the point of my story? Karena saya tinggal di indonesialah saya bisa mengalami kejadian seperti di atas. Ditolong oleh orang yang tidak saya kenal. Saya tidak yakin, jika saya tinggal di negeri lain, saya akan mengalami kejadian yang sama. Different country, different culture. Dari hal-hal kecil semacam inilah selalu memberikan pelajaran. 

Do you have any kind of experience that make you feel love for your country?
 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS