Mba ar, bibi yang bantu bantu di rumah waktu saya kecil, sekitar umur 2 tahun. Well, saya jujur gak inget sama sekali masa-masa mba ar 'ngempu' saya dan kakak saya. Kakak saya yang jauh lebih dekat sama mba ar. Kakak saya yang masih inget gimana baiknya mba ar ketika ngempu kami. Saya bahkan tidak ingat di umur berapa akhirnya mba ar tidak bekerja di rumah saya lagi.
Ketika kami sekeluarga ke pegayaman untuk acara pengajian karena kakak saya menikah, mba ar datang untuk menyelamati kakak saya. Dia tidak sendiri, dia datang bersama 2 anaknya, cowok dan cewek. Kami mengobrol dengan dia, dan mba ar mengatakan bahwa anak cowok yang dia ajak bersama dia tuna wicara. Dan karena di desa kami tidak ada SLB, maka anak itu tidak sekolah setelah TK. Sekarang anak cowok itu berumur 11 tahun.
Cerita mba ar itu merupakan salah satu dari sekian banyak yang harusnya membuat saya semakin bersyukur dengan segala hal yang saya miliki. Saya lahir dengan tubuh sempurna, tidak ada cacat sedikitpun di tubuh saya. Dari kecil saya sudah bisa mengenyam pendidikan dari TK sampai kuliah.
Sebelum mba Ar pulang, kakak saya sempat bercanda dengan anaknya Mba Ar. Dengan polosnya, anak itu tersenyum dengan segala hal yang kakak saya lakukan/kerjakan. Saya suka sekali melihat senyuman seperti itu. Senyum ceria anak-anak yang tetap merasa senang walaupun dengan kondisi dan keadaannya sekarang. Senyum tulus dan ceria yang mungkin jauh-jauh lebih susah ditemukan di wajah saya yang jauh-jauh lebih beruntung dibandingkan anak itu. Mungkin karena terlalu banyak hal yang saya keluhkan dengan kehidupan saya tanpa mau menengok, melihat banyak hal yang saya miliki dan yang harusnya saya syukuri. Pelajaran lain yang saya dapatkan dari seorang anak kecil.