Riko
menatap gue lembut. Gue tersenyum padanya. Malam ini dia tampak tampan sekali
dengan jas semiformal, celana jins dan sepatunya. Terlihat sekali dari penampilannya bahwa ia
sangat menyiapkan diri untuk makan malam kali ini. Dia memesan meja di sebuah
restoran mewah. Meja tersebut terletak di beranda restoran. Dari beranda
restoran, kami dapat melihat pemandangan malam kota yang dihiasi lampu
berwarna-warni. Angin semilir membelai lembut rambut gue. Di atas meja itu
terdapat lilin yang semakin menghangatkan suasana malam ini. Tidak mau kalah
dengan Riko, gue mengenakan gaun terbaik yang gue punya. Gue menyempatkan diri
ke salon terlebih dahulu sebelum Riko menjemput dan memberikan setangkai bunga
mawar untuk gue.
Pesona
Riko tampaknya tidak hanya diakui oleh gue saja. Berpasang-pasang mata cewek
pengunjung restoran ini tak henti-hentinya memandang Riko. Entah sekedar
mengerlingkan mata sampai menatap tajam wajah Riko. Seakan tak peduli dengan
tatapan-tatapan itu, mata Riko hanya tertuju ke gue. Dia tersenyum. Gue
menyunggingkan senyuman terbaik gue. Perlahan tangan Riko meraih tangan gue
yang ada di atas meja. Ia mengenggam tangan gue. Sedikit kaget, muka gue memerah.
Gue menundukkan kepala, gak sanggup untuk melihat muka Riko. Sedikit berbisik,
Riko berkata “Gue sayang lo Re.” Muka gue semakin memerah. Dalam hati gue
menjerit kegirangan, ingin rasanya gue berteriak di depan muka Riko “Gue juga
Ko, udah lama gue sayang lo. Udah lama gue memuja lo dari kejauhan”. Tapi gue
menahannya. Gue mengangkat kepala, sekali lagi tersenyum padanya, membalas
genggaman tangannya dan menjawab. “Gue juga sayang lo Ko”. Lalu, Riko
tersenyum. Manis sekali. Gue merasa bagaikan di awan. Ini adalah kencan
sempurna gue dengan Riko.
***
“Gue
denger Riko deket sama Jessie ya?”
Gue
menatap dingin Nira dan membuang muka.
“Deee….
segitunya. Ini juga baru gossip Re. Gue baru denger gosip kalo si Riko lagi
deket sama Jessie. Habis mereka keliatan deket banget gitu.”
Sekali
lagi gue menatap Nira. Sudah berulang kali gue harus menjawab gosip itu sampai
gue kesel harus memberikan jawaban yang sama.
“Kagak ah.
Mereka cuma ada proyek bareng jadi sering kerja bareng. Sebatas itu doang kok
hubungan mereka. Riko sendiri yang ngomong.”
“Yah,
tapinya kan bisa aja dia bohong, siapatau mereka beneran jadian. Habis kalo
negeliat mereka berdua si Jessie ngegelayut terus ke Riko. Siapa yang ga curiga
coba?”
“Kagak.
Mereka ga pacaran ah!” Kali ini gue menjawab Nira dengan ketus sehingga membuat
gue dan Nira menjadi perhatian beberapa murid di kelas gue yang tidak keluar di
saat istirahat sekolah.
Mendengar
hardikan gue, Nira tampak terkejut. “Jangan bilang lo masih ngarep si Riko.
Gila ya lo Re. Elo sama Riko itu jauh. Lo harus liat kenyataan dong.”
Gue
menatap tajam mata Nira. Seakan-akan Nira adalah makhluk asing yang harus
dienyahkan dari permukaan bumi ini. Tidak menggubris tatapan gue, Nira
melanjutkan ocehannya “Lagian apa bagusnya si Riko. Oke, dia ganteng. Tapi
muna-nya itu lho, ga nahanin. Apa yang dia omongin belum tentu sama kenyataanya.
Mana tu bocah jaim banget pula. Kenapa sih banyak cewek yang suka sama dia?”
Gue
membanting buku yang ada di tangan gue. “Ra, lo ga punya hak ngomong kayak gitu
ke Riko. Riko 1000 kali lebih baik daripada si Reno pacar lo yang bisanya cuma
baca buku Fisika doang.” hardik gue.
Nira
membelalak. Mulutnya sudah terbuka siap untuk membela Reno, tapi gue sudah melangkah
pergi meninggalkan Nira dengan muka merahnya sambil menggerutu di dalam hati
gue.
“Lo ga tau apa-apa tentang Riko Ra. Gue, gue
yang tahu segala hal tentang dia. Dan dia bukan cowok yang bisa mengkhianati
gue seenaknya. Lagian gue sama Riko ga jauh kok. Gue pernah punya kencan romantis sama Riko”
***
Gue
menatap foto Riko di layar laptop gue. Di foto itu, Riko sedang mendengarkan
ipodnya. Kepalanya menunduk dan tidak melihat ke layar kamera. Foto itu
memperlihatkan tubuh bagian samping Riko. Itu adalah foto kesukaan gue.
Akhir-akhir
ini gue sering mendengarkan gosip Riko dan Jessie. Sebenarnya gosip itu sudah
lumayan lama muncul namun sekarang semakin memanas karena mereka berdua semakin
sering terlihat berdua. Awalnya, gue sedikit terpengaruh dengan gosip ini. Gue
selalu bertanya-tanya apakah Riko beneran dekat dengan Jessie. Cewek yang
selama ini gue benci. Entah kenapa gue sebenci itu sama Jessie. Gue sebenarnya
ga terlalu kenal sama cewek itu. Tapi sejak pertama kali gue ngeliat dia, gue
langsung merasa ga suka sama dia. Makin lama tahu Jessie gue semakin gak suka.
Mulai dari cara ngomongnya, gimana dia kadang bertingkah cute yang menurut gue super bodoh, sense of her fashion yang banyak dipuja-puja orang padahal menurut
gue biasa-biasa aja. Dia hanya beruntung bisa membeli pakaian dengan merk-merk
terkenal. Dan semua orang bilang bahwa suaranya bagus. But, oh my god, pernahkah orang-orang itu benar-benar mendengar
suaranya tanpa melihat wajahnya? Gue akui dia memiliki wajah cantik yang bisa
membuat cewek iri padanya. Selain itu? Menurut gue dia gak punya sesuatu yang
bisa membuat cowok-cowok menyukainya.
Rasa gak
suka gue ke Jessie semakin membesar ketika dia pernah terlihat jalan bareng
Riko, cowok yang selama ini mengisi hati gue. Telinga dan hati gue selalu panas
ketika gue mendengarkan gosip tentang mereka berdua. Gue sama sekali gak
terima. Tapi, amarah gue seketika hilang ketika gue mendengar Riko membantah
hubungan mereka berdua. Dengan mulutnya sendiri dia berkata bahwa dia dan Jessie
hanya teman. Tidak lebih. Dan gue sangat percaya kata-kata Riko, walaupun masih
banyak orang, termasuk Nira, yang meragukan perkataan Riko.
***
Gue duduk
dengan gelisah di kursi belakang taksi. Jari-jari tangan gue bermain di atas
lutut gue. Pandangan gue tidak terlepas dari pintu belakang sebuah mall yang
letaknya tepat di seberang taksi gue berada. Sesekali gue melirik jam tangan
gue. Jam 11. Seharusnya acara yang dia hadiri sudah selesai dan seharusnya pula
dia keluar dari pintu itu, pikir gue. Tidak tenang, gue berpikir untuk masuk ke
mall itu. Belum sempat gue memegang pegangan pintu, sosok pria tinggi bertopi
dan berkacamata keluar dari pintu yang sejak 2 jam yang lalu gue pandangi.
Seketika gue menenangkan hati gue. Gue melihat pria itu berjalan tenang menuju
mobil sedan hitam yang terparkir di bagian kanan mall itu. Gue sedikit heran
melihat dia berjalan sendiri dan menggunakan mobil sedan. Biasanya dia selalu
pergi bersama teman-temannya dan untuk pertama kalinya gue melihat dia
menggunakan sedan itu. Gue melihat dia masuk ke dalam mobil, dan beberapa saat
kemudian mobil itu melaju pelan keluar mall.
“Pak,
ikuti mobil sedan itu ya.” dengan cepat aku memerintah sopir taksi yang kusewa
ini untuk mengikuti mobil sedan itu. Tanpa berkata apa-apa, si supir taksi
menuruti perintahku.
Gue
melihat mobil itu meluncur di jalanan utama kota. Gue menungu-nunggu dengan
gelisah sambil mengira-ngira akan kemana mobil itu pergi. Taksi gue melewati
jalanan yang sangat gue kenal sebagai jalan menuju rumah pria di mobil sedan
itu. Tepat setelah lampu merah di perempatan ini, mobil itu pasti akan berbelok
ke kanan. Tapi, perkiraan gue meleset. Setelah lampu hijau menyala, mobil sedan
itu lurus. Gue semakin penasaran dengan tujuan akhirnya. Setelah berada di
jalanan utama cukup lama, mobil sedan itu berbelok ke sebuah jalan kecil menuju
kompleks perumahan. Taksi gue tetap mengikutinya dari belakang. Kecepatan mobil
sedan itu semakin menurun dan seketika mobil itu berhenti di depan sebuah rumah
bercat biru muda. Gue menyuruh sopir taksi untuk memarkir taksi beberapa meter
di depan mobil sedan itu. Gue melihat pria bertopi itu keluar dari mobilnya dan
menuju rumah biru muda itu. Beberapa saat kemudian dia masuk ke dalam rumah
itu.
Selama 30
menit gue hanya memainkan handphone gue dengan gelisah. Tidak ada yang bisa gue
lakukan selain menunggu kemunculan pria tadi keluar dari rumah itu. Ketika gue
menguap untuk kesekian kalinya, gue melihat sosok pria itu keluar dari rumah
itu. Gue langsung menegakkan badan gue untuk melihat lebih jelas. Tiba-tiba
sosok cewek berambut panjang mengikutinya dari belakang. Dari kejauhan gue bisa
mengetahui dengan pasti siapa cewek itu. Cewek yang sangat gue benci belakangan
ini. Jessie. Mereka berdua tampak bercakap-cakap. Sesaat kemudian pria itu
melepaskan topinya, dan wajah tampannya terlihat lebih jelas. Wajah tampan
seorang Riko. Riko menggenggam tangan Jessie, yang membuat wajah gue memerah
menahan marah. Kepala Riko menengok ke kanan dan kiri seakan-akan memastikan
bahwa tidak ada orang selain mereka berdua. Lalu, gue melihat Riko mencium Jessie.
Gue shock melihat pemandangan itu.
Gak menyangka bahwa ternyata semua gosip itu benar. Gak menyangka bahwa gue
harus melihat dengan mata kepala sendiri bukti nyata bahwa Riko dan Jessie
berpacaran. Dan entah ide dari mana, gue mengabadikan momen itu dengan kamera
gue. Gue memotret mereka berdua dari dalam taksi.
***
Gue
membanting pintu kamar gue.
“Tega-teganya lo mengkhianati gue Ko dengan
cewek centil itu. Jessie.”
Gue
merobek poster The Boys yang ada dinding kamar.
“Gue Ko, fans sejati lo, yang selama ini
setia sama band lo sejak kalian debut.”
Gue
membanting CD Rebirth, album ketiga The Boys, yang ada di atas meja.
“Jadi apa kalian kalau gak ada fans loyal
macem gue? Kalian gak bakal bisa seterkenal ini.”
Tangan gue
mengambil kalender di atas meja belajar. Melihat Riko, Arman, Deni, Dion, dan
Ikram di dalamnya tersenyum. Gue membalik-balik halaman kalender, melihat wajah
masing-masing anggota The Boys di bulan yang berbeda-beda. Gue berhenti di
Bulan Juni. Riko berpose dengan sebuah mobil sport, tersenyum yang membuat gue
mual melihatnya. Gue mengambil spidol dan mulai mencoreti wajah Riko.
“Gue percaya sama lo, gue percaya kalo lo ga
punya hubungan dengan Jessie. Tapi apa? Lo bohong ke gue. Lo bohong sama
seluruh fans lo yang mendengar pernyataan lo lewat TV.”
Tidak puas
hanya mencoret wajah Riko, gue menggunting kalender The Boys menjadi
potongan-potongan kecil
“Gak seharusnya lo memperlakukan gue sebagai
fans setia lo kayak gini. Gue rela ngeluarin duit lebih cuma buat beli
merchandise-merchandise gak penting band kalian. Gue beli kalender, poster,
mug, light stick, gantungan kunci, semuanya
Ko. Dan sekarang lo pacaran sama Jessie? Cewek paling gue benci? Yang
bener aja lo”
Gue
terduduk di atas kasur. Gue sedih dan terpukul. Ini adalah hal yang paling gue
takutkan dari The Boys. Riko pacaran. Gue sebagai fans sejatinya, sangat amat
tidak ingin melihat cowok pujaan gue memiliki pacar. Gue tidak ingin melihat
cowok yang selama ini selalu muncul di mimpi gue, memiliki pujaan hati, dan
cewek itu bukan gue. Gue gak terima. Gue sadar bahwa kemungkinan gue bisa jadi
cewek Riko itu hampir tidak ada. Tapi di dalam hati, gue selalu yakin bahwa
Riko pasti akan menyukai fans sejati yang loyal terhadap bandnya. Gue yakin
bahwa gue juga memiliki kesempatan untuk menjadi pacar Riko.
Gue
menyukai The Boys sejak mereka mengeluarkan single pertama mereka, Kamu.
Pertama kali melihat video klip band ini gue langsung jatuh cinta sama Riko.
Gue langsung tahu bahwa Riko adalah cowok impian gue selama ini. Sejak satu
itulah gue selalu mengikuti perkembangan The Boys. Gue membeli album,
merchandise dan menonton konser mereka. Bahkan terkadang gue rela untuk
menguntit The Boys, terutama Riko hanya untuk mengetahui keberadaan mereka dan
bagaimana kehidupan mereka sehari-hari. Setiap hari gue selalu mengecek
informasi dan update terbaru dari mereka. Entah dari TV, website, ataupun
fansite mereka. Gue tidak mau ketinggalan satu infopun dari mereka. Semakin
lama mengenal The Boys gue semakin jatuh cinta sama Riko. Gue suka wajahnya,
suaranya, cara tertawanya, senyumannya, gerakan tangannya, tatapan tajam matanya
ketika menyanyi, gue suka semua hal tentang Riko. Gue selalu membayangkan diri
gue menjadi pacar Riko. Gue selalu memimpikan kencan-kencan romantis gue
bersama Riko. Tapi impian-impian itu hilang ketika gue melihat Riko mencium Jessie.
Gue melihat
semua merchandise The Boys di lemari. Gue mulai mengeluarkan semuanya satu
persatu dari dalam lemari.
“Lo gak pernah lihat Jessie di TV Ko?
Se-munafik itu. Semua perkataan dan tingkah laku yang Jessie lakukan itu
munafik. Cara ketawanya yang dibuat-buat, tingkah lakunya yang cuma ingin
menarik perhatian cowok, dan cara menyanyinya yang annoying. Gue heran kenapa
dia bisa menjadi vokalis utama di Amore si?”
Gue
mengeluarkan kamera dari dalam tas. Melihat-lihat foto di dalamnya. Tiba-tiba
suatu rencana muncul di benak gue. Gue menyalakan laptop, mentransfer foto dari
kamera ke laptop. Selanjutnya gue membuka internet dan mulai browsing. Gue
membuka website entertainment terkenal. Gue melihat ada berita mengenai proyek
gabungan antara The Boys dan Amore. Pada proyek tersebut kedua grup
bersama-sama menggalang dana untuk para korban bencana, anak-yatim, dan fakir
miskin dengan cara menggelar konser bersama. Gue melihat foto The Boys dan
Amore dipajang di halaman utama. Gue masuk secara anonymous dan mengetikkan
komentar gue di berita itu.
“Apanya yang konser untuk amal? Fake.
Munafik semuanya. Anak-anak The Boys dan Amore gak sebaik itu. Mereka hanya
menginginkan popularitas. Mereka hanya ingin semua orang menganggap bahwa
mereka adalah idola yang memiliki hati baik. Mereka ingin dibicarakan orang
atas perbuatan mereka. Padahal mereka itu pembohong. Terutama Riko dan Jessie.”
Gue
tersenyum. Semua orang harus tahu kalo Riko dan Jessie itu gak lebih dari
sekedar pembohong. Tidak puas hanya dengan komentar, guepun mengirimkan email
ke redaksi website itu, dengan attachment
foto yang gue ambil di depan rumah Jessie. Gue tersenyum puas. Gue merasa
senang memikirkan bagaimana reaksi mereka dan agensi mereka melihat foto
skandal itu muncul. Mereka pasti akan kelabakan berusaha mencari cara untuk
menenangkan fans Riko dan Jessie. Gue yakin dengan beredarnya foto itu, banyak
fans Riko yang akan membencinya, seperti gue. Dan gue akan semakin senang jika
orang yang membenci Riko semakin banyak. Ya, seorang pembohong dan pengkhianat
memang harus dibenci.
***
No comments:
Post a Comment