Pages

Counting The Day: Acara Oke dengan Budget Seminimum Mungkin

Thursday, January 28, 2016

Dulu saya sempat buat post dengan tema counting the day. Waktu itu saya berniat untuk menuliskan segala persiapan yang dilakukan untuk pernikahan kakak saya. Tapi, cuma 2 post yang saya buat dan saya buat menghilang. Hehe.. 

Kali ini yang ingin saya bahas adalah persiapan pernikahan saya. Iya, saya. Ikrima Nathisa. Akhirnya akan menikah juga tahun ini. Yuhuuuu~~~~ Tanggal pastinya nanti aja deh saya laporkan setelah saya lamaran. Yang pasti saya akan melangsungkan acara lamaran di Bali tanggal 20 Februari nanti. Sumpah. Baru lamaran aja saya sudah tegang begini. 

Untuk kali ini, saya mau cerita tentang bagaimana susahnya saya nyari-nyari vendor pernikahan saya. Untuk siapapun yang akan menikah pasti tahu bahwa gedung pernikahan adalah hal utama yang harus diperhatikan. Kadang ada yang harus booking gedung dari setahun sebelumnya. Wah, saya baru dapat tanggal aja bulan Desember kemarin. Awalnya agak khawatir sih gak dapat gedung di tanggal yang saya inginkan. Tapi kata si mama, gak papa. Disurvey dulu aja. 

Nah ini masalah utamanya. Survey tempat. Saya sekarang kerja dan berdomisili di Cilegon. Sedangkan acara pernikahan saya nantinya akan dilaksanakan di Denpasar, Bali. Kenapa di Bali? Karena keluarga saya hampir semuanya ada di sana. Saya lahir dan dibesarkan di sana. Dari kecil sampai SMA saya tinggal di Bali. Dan bapak saya memang asli Bali. Maka dari itu, pastilah saya akan menyelenggarakan pernikahan di Bali. 

Susah harus survey tempat dari jauh. Metode yang paling gampang dilakukan adalah email. Jadi, saya cari di internet gedung dan hotel yang sering digunakan sebagai tempat resepsi pernikahan. Saya juga tanya-tanya teman saya di Bali. Sudah dapat nama gedungnya, saya langsung menyebarkan email ke kontak hotel/gedung tersebut menanyakan harga sewa atau harga paket pernikahan yang mereka tawarkan. Lumayan banyak yang saya email. Ada yang langsung membalas, ada juga yang sampai saat ini belum membalas. Beberapa tempat resepsi yang sempat saya tanyakan antara lain Hotel Santhi, Hotel Nikki, Hotel Inna Sanur, Hotel Sanur Paradise, Hongkong Garden Restaurant, Restoran Canang Sari, Bhumi, Hotel Inna Puputan, Taman Jepun Bali. Dan dari semua tempat yang memberikan harga paket pernikahannya, hanya 2 tempat yang sekiranya sangat cocok di kantong saya. Hotel Nikki dan Canang Sari. 

Dari awal merencanakan pernikahan, saya sudah menargetkan bahwa jumlah undangan yang akan diundang hanya 300 orang. Dan untuk orang sebanyak itu, budget saya untuk tempat resepsi dan makanannya 30-40 juta. Waktu awal-awal mencari vendor di internet susah banget rasanya dapat info tempat yang murah di Bali. Kalau ada info di forum-forum pernikahan biasanya infonya untuk pernikahan di villa, pinggir pantai, yang harganya bikin sedih. Saya sempat menghubungi WO karena ada yang menyarankan WO tersebut di forum. Katanya si WO ini kerjanya oke dan lumayan murah. Sayapun mencoba menghubungi lewat email. WO ini menanyakan untuk berapa undangan dan berapa budget yang ada. Tanpa rasa malu, saya bilang aja untuk 300 orang dengan budget 30-40 juta. Saya langsung ditolak. Saya tanya memang untuk undangan segitu harga paling murah yang ditawarkan berapa? Dijawab, 250-300 juta. Saya langsung tutup email, tidak berniat untuk membalasnya. Dari situ, saya tidak berusaha untuk bertanya ke WO manapun. Huhuhu... 

Dan Alhamdulillah setelah tanya sana-sini, masih ada hotel yang memberikan penawaran dengan kisaran harga segitu. Dan akhirnya saya (lebih tepatnya saya, pasangan dan bapak/ibu saya) memilih 
Hotel Nikki. Dengan harga 40.5 juta (bisa dilihat di web hotel Nikki), kami sudah mendapat tempat, makanan, entertainment, kamar untuk berias dan kamar pengantin untuk menginap semalam. Fiuh. Plong juga hati ini. Akhirnya dapet tempat resepsi. Peer selanjutnya adalah mencari vendor fotografi/videografi, make up dan baju pengantin. Masih panjang perjalanan. Dan susah banget nyari infonya dari internet. Doakan semoga semuanya lancar yaa.. 

Cerpen: Plaza Widya

Senin, 15 April 2008 
Plaza Widya, 10 am

Jari jemari Asa mengetuk meja tak jelas. Sesekali ia mencorat-coret kertas di depannya dengan kata tak jelas. Asa. Bali. Material. Teknik Material. Asa. Barra. Memang kebiasannya mencorat-coret kertas jika  sedang bingung, pusing, atau lagi menunggu seseorang. Dan nama terakhir yang dia tulis adalah nama orang yang sedang dia tunggu kedatangannya di Plaza Widya ini. Plaza Widya atau yang lebih terkenal dengan sebutan PlaWid adalah salah satu spot paling oke, menurut Asa, di kampusnya yang kecil ini. Tempat ini merupakan ruangan terbuka dengan pepohonan yang meneduhi kursi-kursi dan meja-meja batu. Seperti sebuah taman. Letaknya  tepat di jantung kampus, sehingga banyak orang yang berseliweran, datang-pergi, melewati tempat ini. Banyak mahasiswa duduk-duduk di sana untuk berdiskusi atau hanya sekedar ngadem dari teriknya sinar matahari. PlaWid banyak disukai mahasiswa karena tempatnya yang asri cocok digunakan untuk beristirahat. Bagi Asa, PlaWid mempunyai arti yang lebih. Setiap hari Senin di jam yang sama dia selalu duduk di sana, entah itu sendiri atau bersama teman-temannya, untuk menanti kedatangan sosok yang selama sebulan terakhir ini selalu membuatnya tersenyum. Barra.

Hari ini Asa duduk sendiri. Sudah hampir setengah jam ia menunggu. Seharusnya Asa mengerjakan tugas Fisikanya, tapi dia sudah terlanjur nervous karena akan bertemu Barra. Mau menulis saja malas, apalagi harus mengerjakan soal-soal mekanika. Asa penasaran, jam segini seharusnya Barra sudah muncul di sini, apa dia tidak kuliah? Bolos? Rasanya tidak mungkin untuk anak yang mendapatkan nilai A di mata kuliah kalkulus dan kimia. Lalu ke mana dia? Tiba-tiba Asa melihat sosok pria tinggi, berkulit coklat, mengenakan kaus hitam berjalan tepat ke arahnya. Bibir Asa tidak bisa ditahan untuk tidak menyunggingkan senyuman. Makin lama sosok itu makin mendekat. Tepat 2 meter di depan Asa, sosok itu  melihat Asa sekilas, dan berbelok ke kanan Asa. Asa pun tersenyum puas, mengemasi barang-barangnya dan bergegas untuk mengikuti kelas Fisika.

Senin, 15 April 2008
Kamar kosan Barra, 8 pm

Cewek itu lagi. Untung tadi gue lewat PlaWid. Gue mesti inget ni, tiap Senin kelar kuliah  Dasar Pemrograman gue mesti lewat PlaWid. Cewek itu pasti ada di sana. Kata si Lala namanya Asa.
Ah, sialan! Padahal tadi gue udah niat tuh buat kenalan. Udah deket banget  gue jalan dari dia. Bodohnya, gue malah belok. Sial! Bego banget si lu Ra! Kalo terus gini kapan lo bisa kenalan? Masa lo cuma ngarep dari 30 detik di PlaWid tiap hari Senin buat ngeliat Asa. Gampang kan, lo cuma tinggal nanya nama aja. AH! Teori sih gampang, tapi susah banget buat ngumpulin nyali. Buat berdiri di sampingnya aja udah bikin gue panas dingin, apalagi kenalan. Sial! Gimana ni? Ato….  gue minta tolong si Lala aja buat ngenalin? Lala kan kenal Asa, sama-sama anak voli. Gak ah, gak gentle banget gue jadi cowok. Sial, sial, sial!!! Enaknya gimana ya?

Senin, 21 April 2008
Kantin, 12 am

“Si Barra tadi gak lewat PlaWid.” Ujar Asa sedih  tepat ketika ia duduk.
“Lu nunggu lagi?” Sisil bertanya heran.
“Ya. Dia gak datang Sil. Gue kesel deh. Udah hampir sejaman gue nunggu dia, sampe gue telat Fisika, tapi dianya gak nongol-nongol.”
“Parah banget sih lu Sa. Mau sampe kapan lo jadi kayak orang bego di PlaWid tiap Senin jam 10 cuma buat nunggu ke-gakpastian aja?”
Asa mendesah pelan. Memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya, menyeruput teh manis dan terdiam.
“Kan gue udah bilang, kenapa si lu gak minta temen lo yang anak voli itu, siapa? Lala kan namanya. Minta tolonglah buat ngenalin lu ke Barra. Mereka sama-sama anak Mesin kan? Atau lu mau gue minta Edi buat nolongin lu?”
“Jangan Sil! Si Edi mulutnya kemana-mana.”
“Yaudah, minta tolonglah sama Lala. Apa lah alasannya, minjem bukulah, minta diajarinlah, apalah”
“ Tapi gue juga gak terlalu akrab sama Lala.”
“Yah, trus kenapa? Bukan masalah besar kan? Lu cuma minta tolong dikenalin aja Sa.”
“Tapi gue jadi berasa cewek kegatelan gak sih minta-minta kenalan.”
“Daripada elo gak punya kejelasan gini. Ngarep orang yang bahkan mungkin gak tau akan keeksistensian lo di kampus ini. Lagian, cuma kenalan kan? Lo gak langsung bakal nyium Barra abis lo kenalan sama dia kan?”
Asa mengangguk. Berpikir. Sudah beribu kali Sisil menyuruhnya kenalan dan sudah beribu kali pula dia berpikir unutuk minta tolong Lala. Apa kali ini dia berani? Asa mendesah lagi, dan memasukkan sendokan terakhir nasi goreng ke mulutnya.

Cerpen: PIlihan Gia

Wednesday, January 27, 2016

Pilihan Gia

Pernah merasa sudah membuat kesalahan dalam penentuan pilihan hidupmu? Pilihan yang akan menentukan tujuan hidupmu? Pilihan yang seharusnya kau pikirkan dengan matang untuk memutuskan? Gia merasakan hal itu.

Pilihan #1

Hampir semua orang yang mengetahui latar belakang pendidikan Gia akan berdecak kagum atau memuji otak Gia. Walaupun sebenarnya kecerdasan Gia tidak membuatnya mengikuti berbagai macam olimpiade nasional maupun internasional seperti teman-teman SMA-nya. Tapi, begitu orang-orang mengetahui sekolah tempat Gia menimba ilmu mereka tidak sungkan-sungkan untuk memuji. “ Ya ampun Gia, pintar sekali, dapet di SMPN Bakti Nusantara”. Itu kata tante tetangga sebelah ketika Gia berkata bahwa ia diterima di SMP unggulan di kotanya itu. Lain lagi puji omnya ketika SMAN Bakti Nusantara menerimanya sebagai salah satu siswanya. “Weits,, jago juga ini anak, SMP di BakNus, SMA juga di BakNus. Pasti Gia belajar terus ya buat keterima di sana. Ajarin anak Om juga dong. Si Saski kan juga mau masuk SMA.” Gia hanya tersenyum setiap kali ia dipuji. Bangga tentu saja. Rasanya ia memiliki predikat sebagai anak pintar. Dari SD sampai SMA Gia selalu memilih sendri sekolah yang ia inginkan. Tersebut Pertimbanga pertama Gia dalam memilih sekolah tentu saja kualitas dari sekolah tersebut alias sekolah-sekolah unggulan. Maka dari itu, Gia tidak pernah menyesal bersekolah di sekolah yang dipilihnya. 

Di tingkat 2, setiap siswa SMA diwajibkan untuk memilih jurusan yang diinginkan. IPA, IPS, atau (di sebagian SMA) Bahasa. Ketika merundingkan hal tersebut dengan ayahnya, ayah Gia berkata, “IPA aja Gi. Kalo IPA kan gampang nanti kalo kamu mau masuk IPS di universitas nantinya. Lebih gampang ngejernya. Kalo kamu milih IPS, yah bidang yang bisa kamu pilih untuk universitas terbatas di IPS aja kan, susah kalo mau ngejar ke IPA. “ Gia pun manggut-manggut. Ia tidak sadar bahwa ia terdoktrin akan keterbatasan jurusan IPS, dan keleluasaan IPA untuk masuk ke jurusan IPS di universitas. Ucapan ayahnya yang sudah merasuk di otaknya didukung oleh teman-temannya yang lebih banyak memilih jurusan IPA. Kalau ditanya alasan mereka masuk IPA, Gia bisa meranking jawaban mereka:

Ranking 1: Seperti ucapan ayahnya
Ranking 2: Ikutan temen
Ranking 3: Emang ntar pengen ngambil jurusan IPA di universitas, seperti: Teknik, Kedokteran, Farmasi, dll.

Dari 240 siswa kelas 2 di SMAnya, hanya 30 siswa yang memilih jurusan IPS. Gia termasuk dalam 210 siswa lainnya. Dan alasan ia memilih IPA adalah alasan ranking 1.

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS