Pages

Cerpen: PIlihan Gia

Wednesday, January 27, 2016

Pilihan Gia

Pernah merasa sudah membuat kesalahan dalam penentuan pilihan hidupmu? Pilihan yang akan menentukan tujuan hidupmu? Pilihan yang seharusnya kau pikirkan dengan matang untuk memutuskan? Gia merasakan hal itu.

Pilihan #1

Hampir semua orang yang mengetahui latar belakang pendidikan Gia akan berdecak kagum atau memuji otak Gia. Walaupun sebenarnya kecerdasan Gia tidak membuatnya mengikuti berbagai macam olimpiade nasional maupun internasional seperti teman-teman SMA-nya. Tapi, begitu orang-orang mengetahui sekolah tempat Gia menimba ilmu mereka tidak sungkan-sungkan untuk memuji. “ Ya ampun Gia, pintar sekali, dapet di SMPN Bakti Nusantara”. Itu kata tante tetangga sebelah ketika Gia berkata bahwa ia diterima di SMP unggulan di kotanya itu. Lain lagi puji omnya ketika SMAN Bakti Nusantara menerimanya sebagai salah satu siswanya. “Weits,, jago juga ini anak, SMP di BakNus, SMA juga di BakNus. Pasti Gia belajar terus ya buat keterima di sana. Ajarin anak Om juga dong. Si Saski kan juga mau masuk SMA.” Gia hanya tersenyum setiap kali ia dipuji. Bangga tentu saja. Rasanya ia memiliki predikat sebagai anak pintar. Dari SD sampai SMA Gia selalu memilih sendri sekolah yang ia inginkan. Tersebut Pertimbanga pertama Gia dalam memilih sekolah tentu saja kualitas dari sekolah tersebut alias sekolah-sekolah unggulan. Maka dari itu, Gia tidak pernah menyesal bersekolah di sekolah yang dipilihnya. 

Di tingkat 2, setiap siswa SMA diwajibkan untuk memilih jurusan yang diinginkan. IPA, IPS, atau (di sebagian SMA) Bahasa. Ketika merundingkan hal tersebut dengan ayahnya, ayah Gia berkata, “IPA aja Gi. Kalo IPA kan gampang nanti kalo kamu mau masuk IPS di universitas nantinya. Lebih gampang ngejernya. Kalo kamu milih IPS, yah bidang yang bisa kamu pilih untuk universitas terbatas di IPS aja kan, susah kalo mau ngejar ke IPA. “ Gia pun manggut-manggut. Ia tidak sadar bahwa ia terdoktrin akan keterbatasan jurusan IPS, dan keleluasaan IPA untuk masuk ke jurusan IPS di universitas. Ucapan ayahnya yang sudah merasuk di otaknya didukung oleh teman-temannya yang lebih banyak memilih jurusan IPA. Kalau ditanya alasan mereka masuk IPA, Gia bisa meranking jawaban mereka:

Ranking 1: Seperti ucapan ayahnya
Ranking 2: Ikutan temen
Ranking 3: Emang ntar pengen ngambil jurusan IPA di universitas, seperti: Teknik, Kedokteran, Farmasi, dll.

Dari 240 siswa kelas 2 di SMAnya, hanya 30 siswa yang memilih jurusan IPS. Gia termasuk dalam 210 siswa lainnya. Dan alasan ia memilih IPA adalah alasan ranking 1.

Pilihan #2

Ketika Gia di kelas 3 SMA, Gia sadar bahwa ia harus menentukan universitas mana yang ingin ia pilih untuk melanjutkan pendidikannya. Awalnya Gia tidak tahu akan melanjutkan sekolahnya di mana dan mengambil program studi apa. Yang jelas ia mau masuk perguruan tinggi negeri (PTN). Selain karena kualitas, faktor biaya juga menjadi pertimbangan. Dan Gia pun memilih ITI untuk melanjutkan studinya. Kenapa ia memilih ITI? Berikut beberapa alasannya:

1. Gia anak jurusan IPA, ia malas mau ngambil IPS/IPC di SPMB nanti. Soalnya waktu tes khusus di PTN lain, ia mengambil IPC. Malah kewalahan. Belajar IPS gak maksimal, yang IPA malah kelupaan. Makanya dia memutuskan untuk mencari jurusan yang sesuai dengan jurusan di SMAnya

2. Gia masih merasa wajib untuk meneruskan predikatnya sebagai anak pintar. Walaupun kadang ia tidak sadari, namun di pikirannya dia masih ingin dibanggakan keluarganya.

3. Ia tidak suka hal-hal bebau medis. Jurusan IPA selain medis? Teknik tentunya (pikir Gia). PTN berkualitas bagus dalam bidang teknik? ITI tentunya. 

4. Keinginan ayahnya yang ingin punya anak kuliah di ITI.

Maka ikutlah Gia dalam SPMB dengan pilihan jurusan Teknik Industri (ITI) dan Teknik Material (ITI). Dan diapun berhasil masuk menjadi mahasiswi baru Teknik Material ITI.

***

Semester lalu

“Berapa IP lo Gi?”

Gia meringis. “Kecil Ra.”

“Ah, gue juga kecil. 2,3. Parah banget dah. Udah tingkat 2 masih aja IP gue segini-segini.”

Gia tersenyum. “Iya. Gue 2,5. Perasaan kemaren-kemaren gue udah belajar mati-matian.”

“Gue ngerasa gue gak punya masa depan dah di sini. Gue ngerasa teknik bukan hidup gue. Lo liat dong mata kuliah apa yang gue dapet A. Gambar Teknik Gia. Yang lainnya, gue dapet C mulu. Sial.”

Mereka berdua terdiam.

“Lu liat Adit dah. Gila tu anak. Tiap kuliah dia molor mulu. Tapi IPnya 3,5. Si Halim juga IPnya 4. Kalo dia mah emang dia suka sama Material. Pilihannya sendiri. Makanya dia bisa mati-matian berjuang sampai titik darah penghabisan buat belajar. Gue enggak dah. Gue gak minat sama teknik sebenernya Gi. Tapi bokap gue yang maksa supaya gue masuk sini. Ah, sial. Tau gitu gue masuk Seni Rupa aja. “

Gia tersenyum lagi. Sudah berpuluh kali Gia mendengarkan curahan hati temannya ini tentang ketidakminatannya pada Teknik Material. 

Rara beranjak pergi. “Gue ke kantin dulu Gi. Lu mo ikut gak?”

Gia menggeleng. Rara melambaikan tangannya. 

Gia menatap transkrip nilai di tangannya. Hanya ada 2 mata kuliah bernilai B, sisanya bernilai C. Dari tingkat satu pemandangan yang sama selalu muncul di transkrip nilai Gia. Semester 1 IPnya 2,5. Semester 2, 2,83. Sekarang 2,5. Gia menghela nafas panjang.

***

Semester ini.

“Gi, gimana Boys in Band? Positif atau negatif?”

“Positif lah.” 

“Hebat juga lo. Gimana lo bisa ngelobi mereka? Budget kita kan gak gede-gede banget.”

“Gia….” Ujar gia berbangga. “Semuanya mah gampang diatur asal kita pinter ngomong aja.”

“Siiiplah. Pokoknya masalah opening-closing acara ini gue percaya ke elo dah. Dah fix berapa persen acaranya?”

“80 persen lah.”

“Oke. See u di rapat ntar yak Gi.” Ujar Aman menutup teleponnya. 

6 bulan belakangan ini Gia lagi disibukkan dengan peranya sebagai ketua acara bagian Opening-Closing untuk acara ulangtahun jurusannya. Acara ulang tahunnya sendiri akan terdiri dari berbagai perlombaan sains antar SMA, seminar-seminar, dan reuni alumni Material. Openingnya akan diadakan bulan depan. Rangkaian acaranya akan memakan waktu selama satu bulan. 

Gia sangat menyenangi perannya ini. Dari tingkat 1 Gia senang mengikuti kepanitiaan, khususnya divisi acara, di kampusnya. Mulai dari sebagai anggota divisi sampai sekarang menjadi ketua subdivisi. Gia senang bisa bekerja dengan orang banyak, bisa menyalurkan ide-ide gilanya untuk suatu acara. Gia sangat bersemangat untuk urusan yang satu ini. Kadar semangat Gia selalu sebanding dengan hasil pekerjaannya. Hasil kerja Gia selalu mendapat pujian, karena konsep acara yang diidekan oleh dia selalu segar dan dapat ia realisasikan dengan baik. Sehingga untuk kali ini walaupun ia masih di tingkat 2 ia dipercaya sebagai Ketua Subdivisi Acara: Opening-Closing. Namun, resiko dari profesi barunya ini ialah Gia sering sekali bolos kuliah. Entah untuk rapat, untuk melobi para bintang tamu, atau hanya sekedar ngobrol di sekretariat acara. Tugas kuliahpun keteteran. Tidak jarang ia tidak mengumpulkan tugas. Ketika itu Gia masih merasa sebodo. Ia merasa bahagia di dunia barunya ini. Ia merasa bebas, tenang dan nyaman. Sebodo amat dengan segala macam perteknikan itu, pikir Gia. 

Pilihan #terakhir 

Gia merenung di kamarnya. Wajahnya mengguratkan kesedihan di hatinya. Padahal malam kemarin Gia menjadi girl of the day di kampusnya. Bagaimana tidak? Acara Closing ulang tahun jurusannya berlangsung sukses. Acara yang digelar dari sore itu tidak pernah sepi pengunjung. Panggung utama selalu dipadati penonton. Gia berhasil mendatangkan band yang sedang naik daun di kalangan remaja. Boys in The Band. Acara ditutup dengan pesta kembang api yang sangat meriah. Gia merasa puas dengan hasil kerjanya. Begitu pula dengan Aman, si Ketua Acara ulangtahun jurusannya. Sudah berjuta kali Aman memujinya. Tidak hanya dari Aman, banyak orang lainnya yang mengucapkan selamat pada Gia. Gia merasa bangga sekali. Hasil kerja kerasnya terbayar sudah. Selama kurang lebih 6 bulan berkutat dengan acara ini, hasilnya sangat memuaskan.

Tapi di sela-sela kebahagiaannya, kesedihan merasuki dada Gia. Konsekuensi yang harus ia terima karena mengerahkan seluruh jiwa raganya untuk acara tersebut adalah IPnya. Semester ini ia mendapat IP 1,8. 2 mata kuliah tidak lulus. Gia sangat sadar telah menelantarkan kuliahnya karena terlalu berkonsentrasi dalam menyukseskan acara jurusannya tersebut. Ketika sedang bekerja selaku ketua subdivisi acara, ia seperti menemukan dunianya. Dunia di mana ia merasa enjoy ketika menjalaninya, apapun tantangannya. Setiap tantangan atau hambatan yang ia rasakan selalu dapat diselesaikan dengan baik oleh Gia. Berbeda sekali rasanya dengan dunia teknik. Ia sama sekali tidak tertarik dengan dunia permesinan, logam, atau apapun itu. Ia tahu dunia teknik sangat menjanjikan untuk masa depannnya, tapi bukan itu yang ia minati. Makanya ia sangat mudah menelantarkan kuliahnya. Tidak perlu berpikir dua kali untuk bolos kuliah. Pilihannya hanya ada dua: ngurusin acara yang menyenangkan atau dengerin kuliah yang tidak menarik baginya. Dan tahu sendiri ‘kan apa yang akan dipilih Gia?

Ia baru sadar setelah beberapa kali mengikuti kepanitiaan di kampusnya. Bahwa dunia yang sebenarnya ia minati (dan ia memiliki bakat di dunia itu) adalah organizing. Dia sangat menyukai mengatur jalannya acara. Sampai-sampia ia bermimpi untuk memiliki sebuah event organizer sendiri nantinya. Ia sangat menyesal menyia-nyiakan bakat dan minatnya ini. Seharusnya dari dulu ia menggali potensi dan minat diri sendiri. Bukannya sekedar ikut-ikutan atau jaga gengsi saja. Gia seperti telah membuang jauh masa depannya. Ia sangat sadar teknik bukanlah profesi yang ingin ia tekuni di masa yang akan datang. Gia menangis, menyesal. Sudah hampir 2 tahun ia kuliah, tapi ia merasa belum menemukan chemistry yang pas dengan Teknik Material. Apa dia harus pindah kuliah saja? Gia menggeleng sendiri. Sudah 2 tahun orangtuanya membanting tulang mencari penghasilan untuk membiayai kuliah Gia yang tidak bisa dikatakan murah. Kalau mau pindah kuliah, mau pakai uang siapa? Gia tidak mau membebani orangtuanya lagi. Mereka bukanlah keluarga yang mapan. 

“Triit… triit..triit… “ Tiba-tiba handphone Gia berbunyi. Gia melihat layar ponselnya. SMS dari Aman

Congrats ya Gi. Acara lo emang keren banget. Banyak yang kagum sama elo. Oia, gw mau ngasi tahu ni, gw kepilih jadi Ketua ITI Fair 2009. Hehehe,, trus tadi gue rapat bareng anak-anak ITI Fair 2009, dan kita mutusin elo yang jadi Ketua Acaranya. Gimana? Keren kan? Lo pasti mau dong. Tumben banget ni anak tingkat 2 didaulat jadi Ketua Acara, biasanya kan anak tingkat 3. Acaranya tahun depan. Lo, mau ikut kan? Cepetan bales ya

Gia merenung. ITI Fair adalah acara terbesar di kampusnya. Seperti acara Open House untuk anak-anak SMA. Di acara itu setiap jurusan di ITI akan mengadakan pameran di booth-booth yang telah disediakan. Selain itu akan ada berbagai macam perlombaan, festival tarian daerah, dan pertunjukan unit-unit kegiatan mahasiswa di ITI. Gia berpikir, itu adalah kesempatan yang bagus sekali untuk dia. Tergoda sekali Gia untuk mengetik ‘iya’ di handphonenya tapi sedetik kemudian, ia melihat kembali transkrip nilainya. Lalu ia mengetik keypad handphonenya dan membalas SMS Aman.

Congrats juga ya Man. Lo emang pantes buat jadi ketua. Tapi, sorry, bukannya gw gak mau. Tapi gw gak bisa buat jadi Ketua Acara. Gw mo nata kuliah gw dulu. Thx ya Man….

***

*Ini cerpen kedua yang pernah masuk Gogirl. Sudah lama. Saya lupa edisi berapa. ^^

No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS