Pages

Cerpen: Mencair

Thursday, July 28, 2016

MENCAIR

Erwin membuka pintu di hadapan mereka berdua, Mala menjejakkan kakinya terlebih dahulu di keset sebelum masuk ke restoran Italia ini. Hampir tidak ada kursi tersisa di restoran itu sejauh mata Mala memandang. Erwin mencoba bertanya ke pelayan yang lewat apakah masi ada kursi kosong untuk dua orang, pelayan itu meminta maaf. Jakarta diguyur hujan dan sekarang pukul 7 malam di hari Jum’at. Tidak heran jika restoran yang berada di daerah Sudirman ini penuh.

“Mas Erwin!” Seseorang memanggil Erwin ketika mereka hendak keluar restoran. Mala dan Erwin mengamati sekeliling restoran mencari sumber suara.

“Mas Erwin! Mba Mala!” Mala menemukan seorang wanita dari sudut kiri restoran tengah melambaikan tangan ke arah mereka berdua. Kinan. Erwin menatap Mala meminta persetujuan wanita berumur 28 tahun ini. Mala menyunggingkan senyuman tipis sambil menganggukkan kepalanya singkat. Mereka berjalan menuju meja bernomor 14.

“Mas Erwin, Mba Mala, apa kabar? Duh, ga nyangka malah ketemu di sini. Dari dulu ngerencanain ketemuan ga bisa-bisa. Eh, sekarang malah ga sengaja ketemu.” Cerocos Kinan ketika Mala dan Erwin tiba di mejanya. Mala memeluk hangat juniornya ini.  

“Nando! Elu sok sibuk terus ni makanya gak jadi terus kita ketemuan.” Pria yang sedari tadi duduk di samping Mala berdiri dan merangkul Erwin.

“Maling teriak maling lo. Siapa yang pulang kerja selalu jam 10 malam?” Erwin cengengesan. Dia menjabat tangan Nando.

Tak sengaja Mala dan Nando bertukar pandangan. Nando hendak mengulurkan tangannya tapi ia tarik kembali. Mala hanya tersenyum tipis sambil membuang pandangannya.

Suasana hening sesaat di antara mereka berempat. Sampai akhirnya Kinan menyuru mereka berempat untuk duduk. Kinan berhadapan dengan Erwin. Dan Mala berhadapan dengan Nando. Susah sekali bagi Mala agar tidak memandang lurus ke depan. Ia jadi lebih suka memandang piring keramik putih yang ada di atas meja.

“Restorannya lagi penuh nih. Maklum, lagi ngehits banget ini restoran di instagram. Jadi banyak yang ke sini. Padahal sebenernya makanannya biasa aja. Tapi ya daripada nerobos ujan, banjir, kena macet, mending pada neduh di sini dulu aja” ujar Kinan berusaha memecahkan kekakuan antara Mala dan Nando.

Kinan mengangkat tangannya memanggil pelayan. Mala dan Erwin memesan pasta carbonara dan capuccino hangat.

Mala, Erwin, Kinan dan Nando adalah teman satu kampus dan satu jurusan. Erwin 1 tingkat di atas Mala, Kinan 1 tingkat di bawah Mala dan Nando satu angkatan dengan Mala. Mereka dipertemukan di kepengurusan himpunan jurusan mereka. Mereka tergabung di divisi Humas dan Informasi yang bertugas sebagai pembawa informasi dari dan untuk himpunan. Tidak jarang mereka harus begadang di kampus untuk mengikuti acara-acara kampus, mulai dari kajian, pameran, sampai acara musik. Semua informasi yang mereka dapatkan, baik itu informasi akademis ataupun nonakademis, harus disebarkan kepada seluruh anggota himpunan melalui website himpunan (yang juga dikelola oleh mereka), buletin himpunan yang mereka terbitkan sebulan sekali, ataupun di setiap rapat yang diadakan himpunan mereka. Dari situlah mereka berempat menjadi dekat. Dan kedekatan itu berbuah hubungan asmara di antara Mala dan Nando.

Entah sejak kapan Mala menaruh hati pada Nando. Yang pasti sejak Mala selalu menolak tawaran Erwin untuk diajak pulang dengan mobilnya dan memilih motor bebek Nando dengan alasan kosan mereka yang searah. Nando pun selalu siap menjemput dan mengantar pulang Mala. Semakin lama hubungan mereka semakin dekat. Yang sebelumnya, Mala, Nando, Erwin dan Kinan selalu jalan berempat, maka semakin sering Mala dan Nando mecari cara agar mereka hanya jalan berdua saja. Dan akhirnya mereka resmi berpacaran di tahun ketiga.

Keakraban Mala, Nando, Erwin dan Kinan sedikit merenggang ketika Erwin akhirnya lulus kuliah dan melanjutkan S2 bisnis ke Inggris. Pada saat itu Mala dan Nando sibuk dengan Tugas Akhir mereka dan Kinan menjabat sebagai Ketua Acara pameran kampus mereka. Mala dan Nando lulus di umur 22 tahun dan memutuskan untuk menikah 1 tahun kemudian. Banyak yang meragukan keputusan mereka untuk menikah cepat. Tapi Mala dan Nando meyakinkan orang-orang yang meragukan mereka, mengatakan bahwa mereka akan baik-baik saja.  Dan sejak Kinan menyusul Erwin S2 di Inggris, Mala dan Nando semakin jarang berbagi kabar dengan dua kawannya itu

5 tahun berlalu, Mala mulai merasa setuju dengan orang-orang yang dulu mempertanyakan keputusan mereka untuk menikah cepat. Menginjak tahun ketiga pernikahan mereka, Mala merasakan ada gunung es di pernikahan mereka. Saat mereka menikah Nando belum memiliki pekerjaan yang tetap. Beberapa bulan setelah lulus Nando masih mengikuti proyek dosennya. Dengan pendapatan yang belum tetap, biaya operasional rumah tangga mereka masih bertumpu dari penghasilan Mala sebagai ‘Management Trainee’ di salah satu perusahaan consumer goods terbesar di Indonesia. Tahun pertama pernikahan mereka berjalan sangat sempurna untuk Mala. Travelling bersama, menghabiskan waktu hanya dengan menonton film berdua di rumah, dan segala keromantisan pasangan muda. Di tahun kedua pernikahan mereka, ketika Mala diangkat menjadi pegawai tetap, Nando mengungkapkan bahwa ia akan merintis bisnis dengan beberapa teman kuliahnya. Mereka akan berbisnis piring keramik hias. Mereka ingin membuat pabrik keramik dan menjual produknya di dalam maupun di luar negeri. Mala menyambut gembira kabar tersebut.

Tidak banyak yang berubah di tahun kedua mereka. Mala masih selalu menyempatkan membuatkan sarapan untuk Nando setiap harinya. Mereka masih suka menonton That 70’s Show di akhir pekan dan selalu tertawa lepas melihat kekonyolan Eric dan kawan-kawannya. Kadang Mala ikut rapat Nando membahas business plan pabrik keramiknya. Sekali-dua kali Mala menengok pabrik yang tengah dibangun di daerah Tangerang. Mala dan Nando masi menjadi pasangan muda yang diidamkan banyak orang.

Di tahun ketiga, Mala dan Nando mulai disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Mala diberikan kepercayaan sebagai project leader di kantornya dan Nando sibuk mempersiapkan produksi pertama pabriknya. Mala semakin sering pulang malam dan Nando semakin sering menginap di Tangerang. Bahkan terkadang Nando bisa tidak pulang ke rumah selama seminggu. Perjumpaan mereka lama-kelamaan hanya terjadi di tempat tidur ataupun di meja makan untuk sarapan. Semakin lama gunung es di antara mereka semakin membesar. Tidak ada pertengkaran di antara mereka. Tidak ada pula perbincangan hangat ataupun senda gurau. Dingin. Semakin lama Mala semakin merasa asing dengan pasangannya.  Tidak tahan dengan kebisuan dan kedinginan rumah tangga mereka, sejak 6 bulan yang lalu Mala memutuskan untuk pindah ke rumah orangtuanya dan meninggalkan Nando sendiri di rumah mereka.

“How are you guys? Ini gue seriusan nanya. Karena gue sehari-harinya ketemu sama Mala doang, jadi cuma dia yang gue tahu kabarnya. Tapi gue denger lo bakal buka restoran kan Nan?”

“Tau deh yang sekantor. Seru banget kayaknya bisa sekantor sama temen kuliah.” Kinan menjawab jahil. “Aku baik banget Kakak Erwin. Iya, bener. Aku bakal buka restoran. Bulan depan grand openingnya. Pada datang yah.”

“Wah, udah 100 persen rampung persiapannya Nan?”

“Belum banget sih Mba. 80 persenlah. Tinggal nunggu hasil piring dari Mas Nando ni. Ga sabar liat hasilnya. Pasti cantik banget. Mas Beni yang ngedesain.” Kinan melihat handphonenya dan men-scrollnya. Ia menjulurkan handphonenya ke hadapan Mala dan Erwin. “Cantik kan modelnya? Bisa jadi khas restoran aku banget ni.”

Aku melihat handphonenya dan terpana dengan hasil karya Beni Prabowo ini. Cantik dan elegan. Beni adalah salah satu pendiri pabrik keramik bersama Nando. Dia yang bertugas untuk mendesain corak, warna, dan bentuk produk.

“Nanti aku kasi undangan untuk tanggal pastinya. Semua makanan diskon 50% pas grand opening lho. Makanya pada datang yah. Ajak temen-temen yang lain.”

Erwin mengacungkan jempol. “Lo gimana Ndo? Pabriknya? Kayaknya udah jadi bos besar banget ni”

“Wah sekarang Mas Nando ini mainannya udah bule-bule lho. Kliennya udah dari Inggris, Perancis. Asia Tenggara mah lewat.” Tanpa diminta Kinan dengan senang hati menjadi juru bicara Nando. Nando mengibaskan tangannya.

“Ah, si Kinan ini emang suka melebihkan sesuatu. Tahu sendiri kan kalian?” ucap Nando sambil menyeruput kopi hitamnya.

Mala baru tahu bisnis pabrik Nando sudah sampai luar negeri. Ekspor ke Asia Tenggara saja Mala tidak pernah tahu, dan sekarang sudah sampai Eropa? Pesat sekali. Baru 2 tahun? 3 tahun?

Seorang pelayan menghampiri mereka. “Permisi Bapak dan Ibu, maaf menganggu. Tapi apa benar salah satu dari Bapak dan Ibu pemilik mobil silver bernomor polisi B 8787 KTT?”

“Iya, itu mobil saya.” Erwin menjawab. “Ada apa ya Mas?”

“Maaf Pak, mobil Bapak diparkir di dekat belokan. Bisa minta tolong dipindahkan Pak? Ada yang mau lewat tapi terhalang mobil Bapak.”

“Oh iya Mas, maaf. Akan saya pindahkan. Tapi ada parkir kosong gak mas? Tadi parkir di depan pada penuh semua makanya saya parkir di sana.”

“Bapak parkir di belakang aja Pak. Ada tempat parkir juga di sana. Nanti bapak muter aja habis lampu merah. “

“Okelah Mas. Makasi.”

“Sama-sama Pak.” Si pelayan pergi. Erwin berdiri sambil memegang kunci mobilnya.

“Gue pindahin mobil dulu ya. Nanti kalau makanannya dateng titip dulu.” Mala, Kinan dan Nando mengangguk bersamaan.

Tiba-tiba suara Adam Levine terdengar dari tas Kinan. Kinan segera merogoh tasnya dan mencari sumber suara tersebut.

“Halo?” Kinan mengangkat telponnya.

“Oh iya Ren. Masih di sini kok. Ha? Sekarang? Katanya besok pagi aja. Ah, labil deh si Pak Franky. Okelah kalo gitu.” Kinan mematikan teleponnya.

“Huft..” Kinan menghela nafas. “Mba Mala, Mas Nando, aku pergi bentar ya. Harus minta tanda tangan orang. Janjinya besok pagi, eh dia maunya sekarang aja. Kantornya di deretan jalan ini. Bentar doang. Nanti aku balik lagi.” Kinan pergi meninggalkan Mala dan Nando berdua.

Mala menatap piring kosong di hadapannya. Nando menyeruput kopinya. Kecanggungan terasa di antara mereka. Mala sudah lupa kapan terakhir kali mereka duduk bersama di meja makan.

“Gimana kantor La?”

“Baik.”

Keheningan kembali melanda. Pelayan yang meminta Erwin memindahkan mobilnya datang kembali. Tapi kali ini dia membawakan 2 capuccino hangat. Mala segera mengambil cangkir kopinya ketika pelayan tersebut pergi. Melihat tingkah istrinya tersebut, Nando membuka tasnya dan mengulurkan obat masuk angin cair ke arah Mala.

“Nih, minum. Kamu tadi keujanan dan jam segini belum makan.”

Mala menatap Nando. Dia sedikit heran mengetahui Nando masih melakukan kebiasaan untuk menyimpan obat masuk angin di tasnya. Dari dulu, Mala sangat mudah terserang gejala masuk angin. Kehujanan dan telat makan adalah dua faktor utama penyebab masuk angin Mala. Dan untuk keperluan darurat, Nando selalu membawa obat masuk angin di tasnya. Dan kebiasaan itu terbawa sampai sekarang.

“Makasi.” Mala menyobek kemasan obat tersebut dan langsung meminumnya. Nando mengetukkan jari-jemarinya di atas meja. Mala memandang sekitar.

“Restorannya bagus ya.” Mala memecah kesunyian

“Iya. Aku suka penerangannya.” Jawab Nando.

Hening kembali. Hanya terdengar suara seruputan kopi dari cangkir Nando. Entah sudah berapa kali Nando menyeruput kopinya.

“Akhir-akhir ini hujan terus ya. Padahal sebelumnya panes mulu.” Nando berusaha untuk tetap melakukan pembicaraan dengan Mala.

“Iya.” Mala bingung harus menjawab lebih panjang atau tidak. 

Mala kembali melihat piring. Suara tawa segerombolan wanita muda di meja seberang membuat Mala penasaran apa yang sedang dibicarakan mereka.

“Sudah nonton Fargo La?” Nando mengganti topik pembicaraan.

Fargo?”

“Serial TV.”

“Belum Ndo. Tentang apaan?”

“Tentang kasus pembunuhan.”

“Serial detektif?”

“Well, gak bener-bener bisa dibilang detektif sih. Iya sih investigasi kasus pembunuhan. Tapi dari awal kita sudah tahu siapa pembunuhnya. Jadi yang bikin kita penasaran bukan menerka siapa pembunuhnya, tapi apa yang bakal terjadi ke depannya. Kita penasaran perkembangan setiap karakter, penasaran gimana si polisi merangkai setiap bukti yang ada sehingga merujuk ke pelaku dan kalo aku paling penasaran sama tokoh Lester.”

“Lester? Pelakunya?”

“Hm.. dibilang pelakunya banget juga enggak sih. Tapi yaaa.. dia memang ada hubungan dengan si pelaku. Di awal doi orangnya kikukan dan penakut, tapi lama kelamaan dia jadi...
“ Nando terhenti sesaat, mencari kata yang tepat. “Licin. Iya, licin. Gak jadi pemberani juga sih. Nonton La, kamu pasti suka.”

“Wah, sudah lama banget aku gak nonton serial atau film. Tau sendiri aku jarang, hampir gak pernah mungkin download film. Aku kan biasanya selalu minta sama kamu. Masih empat kan HD 1 tera kamu? Atau sudah beranak pinak lagi?”

“Masih La. Tapi mungkin dalam waktu dekat nambah 1 lagi.” Nando tersenyum.

“Wew.. udah mau penuh aja 4 tera?”

“Kemaren aku baru ngopi film dan serial lawas dari Deri. Beuh.. banyak banget.”

“Film apaan?”

“Banyak banget. Film-film barat. Aku ngelengkapin top seratus filmnya IMDB.  Film Indo kayak AADC juga aku kopi. Trus nonton bareng anak-anak di kantor sambil begadang jagain pabrik. Meteor Garden pun aku kopi. Gokil tu si Deri, koleksi filmnya dari Godfather sampe Meteor Garden.”

Mala mengingat Deri sebagai maniak film. Nando juga sebenarnya. Awalnya Mala bingung harus menobatkan maniak film ke siapa. Tapi karena Deri  6 bulan lebih awal membeli HD 1 tera keempatnya dibandingkan Nando, Mala pun mengukuhkan Deri sebagai maniak film.

“Haha.. Meteor Garden banget? Tao Ming Tse? Wah, kalian mah. Brewok doang yang dipelihara. Tontonannya Meteor Garden.” Mereka berdua tertawa tepat pada saat pelayan yang sama sekali lagi datang ke meja Mala dan Nando. Kali ini dia menyajikan pesanan Mala dan Erwin.  2 piring pasta carbonara tersaji dengan cantik. Mala segera melilitkan pastanya di garpu dan melahapnya. Nando meneguk air putih.

“Hm.. film terakhir yang aku tonton kayaknya 12 Angry Man. Sudah lama banget itu film ada di laptop aku dan baru sempet ketonton waktu itu.”

“Gimana? Keren kan?”

“Gila, keren banget. Padahal setting tempatnya cuma di situ-situ aja ya. Dan masalahnya cuma itu aja, tapi keren banget ngemasnya.”

“Iya. Keren banget. Aku juga suka banget itu film. Gimana yang awalnya cuma 1 orang aja yang gak setuju dan akhirnya membuat semua juri jadi ikut pendapatnya. The best!” Mala tersenyum mungil, menelan pasta yang ada di mulutnya.

Sosok Kinan dan Erwin muncul dari arah pintu, berjalan menuju meja mereka.

“Sorry ya guys, agak lama tadi markirnya. Macet parah.” Ucap Nando sambil duduk. Dengan cepat ia melahap pasta yang ada di depannya.

“Masi anget Win pastanya?” Erwin mengangguk ke arah Mala. Mulutnya penuh pasta.

“Kamu Nan? Dapet tanda tangan orangnya?”

“Dapet dong Kak Mal. Bisa aku samperin ke rumahnya langsung kalo tu orang ternyata gak ada di kantornya tadi. Jadi, ada sesuatu yang menarik pas kami pergi?”

“Gak ada yang spesial. Tadi cuma ngomongin Fargo dan beberapa film lainnya”

Fargo?” sela Erwin sesaat setelah ia menelan makanannya.

“Serial TV.”

“Wah, gue gak ngikutin. Serial yang masih gw ikutin cuman Game of Thrones.

“Wah, GOT! Aku mau dong minta lengkapnya. Kemaren baru cuma sampe season 2. Trus belum sempet ngelanjutin lagi. Kak Nando atau Erwin?

“Gue ga ngikutin GOT Nan. Si Erwin tu.”

Erwin menganggukkan kepalanya. “Tenang Nan, ntar gw kopiin ke flashdisc trus gw kasi ke tempat lo.”

“Asyik.”

“Kenapa lo gak ngikutin Ndo? Biasanya lu yang paling pertama masalah beginian.”

“Entah. Gue gak tertarik aja. Atau belum tertarik?” Jawab Nando sambil mengangkat pundaknya. Tipikal Nando, pikir Mala ketika mendengar jawaban dari Nando

“Lo mau dikopiin juga gak La?”

“Gue juga gak ngikutin. Sempet nonton sih season 1, tapi gue gak dapet feel buat ngelanjutin ke season 2. Entah kenapa.”

“Padahal seru lho.”

“Entahlah. Gak tertarik aja gue Win.”

Nando tersenyum tipis mendengar Mala.

“Si Iron Man ini heboh banget ya di medsos.” Celetuk Kinan memutus pembicaraan mengenai Game of Thrones.

Iron Man Nan?”

“Ini lho Kak Nando, ada tukang las yang dibilang menciptakan lengan robot dengan pake sensor otak dari barang-barang rongsokan.”

“Ah, kalo gue bilang itu tukang las bohong. Mana mungkin lah cuman dengan otodidak dan dari barang rongsokan bisa buat kayak gitu. Banyak yang udah menganalisa kan?”

“Iya sih, ada yang udah membahas secara detail kenapa si tukang las ga mungkin bisa bikin lengan kayak gitu. Tapi ada yang bilang, mungkin aja, tapi bukan pake sensor dari otak. Entahlah. Aku sih gak ngerti.”

“Itu paling medianya doang yang heboh. Trus orang Indonesia latah menghebohkan suatu issue.” Ujar Nando terkesan enggan membahas topik ini lebih lanjut.

“Kalo gue kanapa malah kasian sama si tukang las ya? Kemaren dipuji-puji, dielu-elukan. Sekarang dihujat orang banyak, dibilang penipulah, nyari sensasi biar terkenal-lah. Padahal kayaknya doi gak minta supaya dibuat heboh. Media tu yang lebai bikin berita. Trus masyarakat kita juga gampang banget ngeshare berita-berita heboh begitu. Gampang ikut-ikutan memuji dan gampang ikut-ikutan menghujat. Labil.” Ujar Mala panjang lebar sambil melilitkan pasta terakhir di garpunya. Erwin menaikkan alisnya. Kinan mengangguk-anggukakan kepalanya.

Nando menatap tajam mata Mala. Tidak ada yang berubah darinya. Ia tetap seorang wanita yang mampu membuatnya jatuh cinta dengan pikirannya. Mengapa selama ini ia membiarkan hubungan mereka merenggang tanpa alasan yang jelas?

Mengapa bisa ada gunung es di antara kami? Mala tidak berhenti berpikir selama pertemuan ini. Nando yang ada di hadapannya sekarang adalah Nando yang 8 tahun lalu membuatnya terpikat dengan kecintaannya terhadap film. Tidak ada yang berubah darinya. Mala merindukan masa-masa di mana mereka duduk bersama berbicara tentang hal apapun. Tentang film, politik, gosip artis bahkan tentang dosen jurusan mereka. Mereka sendiri yang membuat gunung es di antara mereka. Menghilangkan waktu berdua dengan alibi pekerjaan.

“Makasi banyak bos Erwin atas traktirannya.” Nando menepuk pundak Erwin ketika Erwin mengembalikan dompetnya ke kantong celananya.

“Nyante Ndo. Jarang-jarang kan kita ketemu berempat gini. Itung-itung traktiran gw balik dari Inggris lah ya. Padahal udah lama banget gue balik dari Inggris.” Balas Erwin. Okelah kalau gitu. Sampai jumpa lagi ya guys.”

“Iya. Sampai jumpa juga Kak Erwin. Thankiu berat traktiran hari ini.” Balas Kinan sambil mencium pipi Mala.

Erwin mengacungkan jempolnya. “Yuk La.” Mala bergeming. Sedikit berpikir. Lalu dia menoleh ke arah Nando. “Ndo, kamu bawa mobil kan? Kamu pulang ke rumah kan? Aku ikut ya. Rumah ibu aku jalannya searah juga soalnya.”

Nando tersenyum. “Beres. Mau mampir ke rumah ngopi Fargo sekalian gak?”

***






No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS