MENCAIR
Erwin membuka pintu
di hadapan mereka berdua, Mala menjejakkan kakinya terlebih dahulu di keset
sebelum masuk ke restoran Italia ini. Hampir tidak ada kursi tersisa di
restoran itu sejauh mata Mala memandang. Erwin mencoba bertanya ke pelayan yang
lewat apakah masi ada kursi kosong untuk dua orang, pelayan itu meminta maaf.
Jakarta diguyur hujan dan sekarang pukul 7 malam di hari Jum’at. Tidak heran
jika restoran yang berada di daerah Sudirman ini penuh.
“Mas Erwin!” Seseorang
memanggil Erwin ketika mereka hendak keluar restoran. Mala dan Erwin mengamati sekeliling
restoran mencari sumber suara.
“Mas Erwin! Mba Mala!”
Mala menemukan seorang wanita dari sudut kiri restoran tengah melambaikan
tangan ke arah mereka berdua. Kinan. Erwin menatap Mala meminta persetujuan
wanita berumur 28 tahun ini. Mala menyunggingkan senyuman tipis sambil
menganggukkan kepalanya singkat. Mereka berjalan menuju meja bernomor 14.
“Mas Erwin, Mba Mala,
apa kabar? Duh, ga nyangka malah ketemu di sini. Dari dulu ngerencanain
ketemuan ga bisa-bisa. Eh, sekarang malah ga sengaja ketemu.” Cerocos Kinan
ketika Mala dan Erwin tiba di mejanya. Mala memeluk hangat juniornya ini.
“Nando! Elu sok sibuk
terus ni makanya gak jadi terus kita ketemuan.” Pria yang sedari tadi duduk di
samping Mala berdiri dan merangkul Erwin.
“Maling teriak maling
lo. Siapa yang pulang kerja selalu jam 10 malam?” Erwin cengengesan. Dia
menjabat tangan Nando.
Tak sengaja Mala dan
Nando bertukar pandangan. Nando hendak mengulurkan tangannya tapi ia tarik
kembali. Mala hanya tersenyum tipis sambil membuang pandangannya.
Suasana hening sesaat
di antara mereka berempat. Sampai akhirnya Kinan menyuru mereka berempat untuk
duduk. Kinan berhadapan dengan Erwin. Dan Mala berhadapan dengan Nando. Susah
sekali bagi Mala agar tidak memandang lurus ke depan. Ia jadi lebih suka
memandang piring keramik putih yang ada di atas meja.
“Restorannya lagi
penuh nih. Maklum, lagi ngehits banget ini restoran di instagram. Jadi banyak
yang ke sini. Padahal sebenernya makanannya biasa aja. Tapi ya daripada nerobos
ujan, banjir, kena macet, mending pada neduh di sini dulu aja” ujar Kinan
berusaha memecahkan kekakuan antara Mala dan Nando.
Kinan mengangkat
tangannya memanggil pelayan. Mala dan Erwin memesan pasta carbonara dan
capuccino hangat.
Mala, Erwin, Kinan
dan Nando adalah teman satu kampus dan satu jurusan. Erwin 1 tingkat di atas
Mala, Kinan 1 tingkat di bawah Mala dan Nando satu angkatan dengan Mala. Mereka
dipertemukan di kepengurusan himpunan jurusan mereka. Mereka tergabung di
divisi Humas dan Informasi yang bertugas sebagai pembawa informasi dari dan
untuk himpunan. Tidak jarang mereka harus begadang di kampus untuk mengikuti
acara-acara kampus, mulai dari kajian, pameran, sampai acara musik. Semua
informasi yang mereka dapatkan, baik itu informasi akademis ataupun nonakademis,
harus disebarkan kepada seluruh anggota himpunan melalui website himpunan (yang
juga dikelola oleh mereka), buletin himpunan yang mereka terbitkan sebulan sekali,
ataupun di setiap rapat yang diadakan himpunan mereka. Dari situlah mereka
berempat menjadi dekat. Dan kedekatan itu berbuah hubungan asmara di antara
Mala dan Nando.
Entah sejak kapan
Mala menaruh hati pada Nando. Yang pasti sejak Mala selalu menolak tawaran
Erwin untuk diajak pulang dengan mobilnya dan memilih motor bebek Nando dengan
alasan kosan mereka yang searah. Nando pun selalu siap menjemput dan mengantar
pulang Mala. Semakin lama hubungan mereka semakin dekat. Yang sebelumnya, Mala,
Nando, Erwin dan Kinan selalu jalan berempat, maka semakin sering Mala dan
Nando mecari cara agar mereka hanya jalan berdua saja. Dan akhirnya mereka
resmi berpacaran di tahun ketiga.
Keakraban Mala,
Nando, Erwin dan Kinan sedikit merenggang ketika Erwin akhirnya lulus kuliah
dan melanjutkan S2 bisnis ke Inggris. Pada saat itu Mala dan Nando sibuk dengan
Tugas Akhir mereka dan Kinan menjabat sebagai Ketua Acara pameran kampus
mereka. Mala dan Nando lulus di umur 22 tahun dan memutuskan untuk menikah 1
tahun kemudian. Banyak yang meragukan keputusan mereka untuk menikah cepat.
Tapi Mala dan Nando meyakinkan orang-orang yang meragukan mereka, mengatakan
bahwa mereka akan baik-baik saja. Dan
sejak Kinan menyusul Erwin S2 di Inggris, Mala dan Nando semakin jarang berbagi
kabar dengan dua kawannya itu
5 tahun berlalu, Mala
mulai merasa setuju dengan orang-orang yang dulu mempertanyakan keputusan
mereka untuk menikah cepat. Menginjak tahun ketiga pernikahan mereka, Mala
merasakan ada gunung es di pernikahan mereka. Saat mereka menikah Nando belum
memiliki pekerjaan yang tetap. Beberapa bulan setelah lulus Nando masih
mengikuti proyek dosennya. Dengan pendapatan yang belum tetap, biaya operasional
rumah tangga mereka masih bertumpu dari penghasilan Mala sebagai ‘Management Trainee’
di salah satu perusahaan consumer goods terbesar
di Indonesia. Tahun pertama pernikahan mereka berjalan sangat sempurna untuk
Mala. Travelling bersama, menghabiskan
waktu hanya dengan menonton film berdua di rumah, dan segala keromantisan
pasangan muda. Di tahun kedua pernikahan mereka, ketika Mala diangkat menjadi
pegawai tetap, Nando mengungkapkan bahwa ia akan merintis bisnis dengan
beberapa teman kuliahnya. Mereka akan berbisnis piring keramik hias. Mereka
ingin membuat pabrik keramik dan menjual produknya di dalam maupun di luar
negeri. Mala menyambut gembira kabar tersebut.
Tidak banyak yang
berubah di tahun kedua mereka. Mala masih selalu menyempatkan membuatkan
sarapan untuk Nando setiap harinya. Mereka masih suka menonton That 70’s Show di akhir pekan dan selalu
tertawa lepas melihat kekonyolan Eric dan kawan-kawannya. Kadang Mala ikut
rapat Nando membahas business plan
pabrik keramiknya. Sekali-dua kali Mala menengok pabrik yang tengah dibangun di
daerah Tangerang. Mala dan Nando masi menjadi pasangan muda yang diidamkan
banyak orang.
Di tahun ketiga, Mala
dan Nando mulai disibukkan dengan pekerjaan masing-masing. Mala diberikan
kepercayaan sebagai project leader di
kantornya dan Nando sibuk mempersiapkan produksi pertama pabriknya. Mala
semakin sering pulang malam dan Nando semakin sering menginap di Tangerang. Bahkan
terkadang Nando bisa tidak pulang ke rumah selama seminggu. Perjumpaan mereka
lama-kelamaan hanya terjadi di tempat tidur ataupun di meja makan untuk
sarapan. Semakin lama gunung es di antara mereka semakin membesar. Tidak ada
pertengkaran di antara mereka. Tidak ada pula perbincangan hangat ataupun senda
gurau. Dingin. Semakin lama Mala semakin merasa asing dengan pasangannya. Tidak tahan dengan kebisuan dan kedinginan
rumah tangga mereka, sejak 6 bulan yang lalu Mala memutuskan untuk pindah ke
rumah orangtuanya dan meninggalkan Nando sendiri di rumah mereka.
“How are you guys?
Ini gue seriusan nanya. Karena gue sehari-harinya ketemu sama Mala doang, jadi
cuma dia yang gue tahu kabarnya. Tapi gue denger lo bakal buka restoran kan
Nan?”
“Tau deh yang
sekantor. Seru banget kayaknya bisa sekantor sama temen kuliah.” Kinan menjawab
jahil. “Aku baik banget Kakak Erwin. Iya, bener. Aku bakal buka restoran. Bulan
depan grand openingnya. Pada datang yah.”
“Wah, udah 100 persen
rampung persiapannya Nan?”
“Belum banget sih
Mba. 80 persenlah. Tinggal nunggu hasil piring dari Mas Nando ni. Ga sabar liat
hasilnya. Pasti cantik banget. Mas Beni yang ngedesain.” Kinan melihat
handphonenya dan men-scrollnya. Ia
menjulurkan handphonenya ke hadapan Mala dan Erwin. “Cantik kan modelnya? Bisa
jadi khas restoran aku banget ni.”
Aku melihat
handphonenya dan terpana dengan hasil karya Beni Prabowo ini. Cantik dan
elegan. Beni adalah salah satu pendiri pabrik keramik bersama Nando. Dia yang
bertugas untuk mendesain corak, warna, dan bentuk produk.
“Nanti aku kasi
undangan untuk tanggal pastinya. Semua makanan diskon 50% pas grand opening
lho. Makanya pada datang yah. Ajak temen-temen yang lain.”
Erwin mengacungkan
jempol. “Lo gimana Ndo? Pabriknya? Kayaknya udah jadi bos besar banget ni”
“Wah sekarang Mas
Nando ini mainannya udah bule-bule lho. Kliennya udah dari Inggris, Perancis.
Asia Tenggara mah lewat.” Tanpa diminta Kinan dengan senang hati menjadi juru
bicara Nando. Nando mengibaskan tangannya.
“Ah, si Kinan ini emang
suka melebihkan sesuatu. Tahu sendiri kan kalian?” ucap Nando sambil menyeruput
kopi hitamnya.
Mala baru tahu bisnis
pabrik Nando sudah sampai luar negeri. Ekspor ke Asia Tenggara saja Mala tidak
pernah tahu, dan sekarang sudah sampai Eropa? Pesat sekali. Baru 2 tahun? 3
tahun?
Seorang pelayan
menghampiri mereka. “Permisi Bapak dan Ibu, maaf menganggu. Tapi apa benar
salah satu dari Bapak dan Ibu pemilik mobil silver bernomor polisi B 8787 KTT?”
“Iya, itu mobil
saya.” Erwin menjawab. “Ada apa ya Mas?”
“Maaf Pak, mobil
Bapak diparkir di dekat belokan. Bisa minta tolong dipindahkan Pak? Ada yang
mau lewat tapi terhalang mobil Bapak.”
“Oh iya Mas, maaf.
Akan saya pindahkan. Tapi ada parkir kosong gak mas? Tadi parkir di depan pada
penuh semua makanya saya parkir di sana.”
“Bapak parkir di
belakang aja Pak. Ada tempat parkir juga di sana. Nanti bapak muter aja habis
lampu merah. “
“Okelah Mas. Makasi.”
“Sama-sama Pak.” Si
pelayan pergi. Erwin berdiri sambil memegang kunci mobilnya.
“Gue pindahin mobil
dulu ya. Nanti kalau makanannya dateng titip dulu.” Mala, Kinan dan Nando
mengangguk bersamaan.
Tiba-tiba suara Adam
Levine terdengar dari tas Kinan. Kinan segera merogoh tasnya dan mencari sumber
suara tersebut.
“Halo?” Kinan
mengangkat telponnya.
“Oh iya Ren. Masih di
sini kok. Ha? Sekarang? Katanya besok pagi aja. Ah, labil deh si Pak Franky.
Okelah kalo gitu.” Kinan mematikan teleponnya.
“Huft..” Kinan
menghela nafas. “Mba Mala, Mas Nando, aku pergi bentar ya. Harus minta tanda
tangan orang. Janjinya besok pagi, eh dia maunya sekarang aja. Kantornya di
deretan jalan ini. Bentar doang. Nanti aku balik lagi.” Kinan pergi
meninggalkan Mala dan Nando berdua.
Mala menatap piring
kosong di hadapannya. Nando menyeruput kopinya. Kecanggungan terasa di antara
mereka. Mala sudah lupa kapan terakhir kali mereka duduk bersama di meja makan.
“Gimana kantor La?”
“Baik.”
Keheningan kembali
melanda. Pelayan yang meminta Erwin memindahkan mobilnya datang kembali. Tapi
kali ini dia membawakan 2 capuccino hangat. Mala segera mengambil cangkir
kopinya ketika pelayan tersebut pergi. Melihat tingkah istrinya tersebut, Nando
membuka tasnya dan mengulurkan obat masuk angin cair ke arah Mala.
“Nih, minum. Kamu
tadi keujanan dan jam segini belum makan.”
Mala menatap Nando.
Dia sedikit heran mengetahui Nando masih melakukan kebiasaan untuk menyimpan
obat masuk angin di tasnya. Dari dulu, Mala sangat mudah terserang gejala masuk
angin. Kehujanan dan telat makan adalah dua faktor utama penyebab masuk angin
Mala. Dan untuk keperluan darurat, Nando selalu membawa obat masuk angin di
tasnya. Dan kebiasaan itu terbawa sampai sekarang.
“Makasi.” Mala
menyobek kemasan obat tersebut dan langsung meminumnya. Nando mengetukkan
jari-jemarinya di atas meja. Mala memandang sekitar.
“Restorannya bagus ya.”
Mala memecah kesunyian
“Iya. Aku suka
penerangannya.” Jawab Nando.
Hening kembali. Hanya
terdengar suara seruputan kopi dari cangkir Nando. Entah sudah berapa kali
Nando menyeruput kopinya.
“Akhir-akhir ini
hujan terus ya. Padahal sebelumnya panes mulu.” Nando berusaha untuk tetap
melakukan pembicaraan dengan Mala.
“Iya.” Mala bingung
harus menjawab lebih panjang atau tidak.
Mala kembali melihat
piring. Suara tawa segerombolan wanita muda di meja seberang membuat Mala
penasaran apa yang sedang dibicarakan mereka.
“Sudah nonton Fargo La?” Nando mengganti topik
pembicaraan.
“Fargo?”
“Serial TV.”
“Belum Ndo. Tentang
apaan?”
“Tentang kasus
pembunuhan.”
“Serial detektif?”
“Well, gak
bener-bener bisa dibilang detektif sih. Iya sih investigasi kasus pembunuhan.
Tapi dari awal kita sudah tahu siapa pembunuhnya. Jadi yang bikin kita
penasaran bukan menerka siapa pembunuhnya, tapi apa yang bakal terjadi ke
depannya. Kita penasaran perkembangan setiap karakter, penasaran gimana si
polisi merangkai setiap bukti yang ada sehingga merujuk ke pelaku dan kalo aku
paling penasaran sama tokoh Lester.”
“Lester? Pelakunya?”
“Hm.. dibilang
pelakunya banget juga enggak sih. Tapi yaaa.. dia memang ada hubungan dengan si
pelaku. Di awal doi orangnya kikukan dan penakut, tapi lama kelamaan dia
jadi...
“ Nando terhenti
sesaat, mencari kata yang tepat. “Licin. Iya, licin. Gak jadi pemberani juga
sih. Nonton La, kamu pasti suka.”
“Wah, sudah lama
banget aku gak nonton serial atau film. Tau sendiri aku jarang, hampir gak
pernah mungkin download film. Aku kan biasanya selalu minta sama kamu. Masih
empat kan HD 1 tera kamu? Atau sudah beranak pinak lagi?”
“Masih La. Tapi
mungkin dalam waktu dekat nambah 1 lagi.” Nando tersenyum.
“Wew.. udah mau penuh
aja 4 tera?”
“Kemaren aku baru
ngopi film dan serial lawas dari Deri. Beuh.. banyak banget.”
“Film apaan?”
“Banyak banget.
Film-film barat. Aku ngelengkapin top seratus filmnya IMDB. Film Indo kayak AADC juga aku kopi. Trus nonton bareng anak-anak di kantor sambil
begadang jagain pabrik. Meteor Garden
pun aku kopi. Gokil tu si Deri, koleksi filmnya dari Godfather sampe Meteor Garden.”
Mala mengingat Deri
sebagai maniak film. Nando juga sebenarnya. Awalnya Mala bingung harus
menobatkan maniak film ke siapa. Tapi karena Deri 6 bulan lebih awal membeli HD 1 tera keempatnya
dibandingkan Nando, Mala pun mengukuhkan Deri sebagai maniak film.
“Haha.. Meteor Garden banget? Tao Ming Tse? Wah,
kalian mah. Brewok doang yang dipelihara. Tontonannya Meteor Garden.” Mereka berdua tertawa tepat pada saat pelayan yang
sama sekali lagi datang ke meja Mala dan Nando. Kali ini dia menyajikan pesanan
Mala dan Erwin. 2 piring pasta carbonara
tersaji dengan cantik. Mala segera melilitkan pastanya di garpu dan melahapnya.
Nando meneguk air putih.
“Hm.. film terakhir
yang aku tonton kayaknya 12 Angry Man.
Sudah lama banget itu film ada di laptop aku dan baru sempet ketonton waktu
itu.”
“Gimana? Keren kan?”
“Gila, keren banget.
Padahal setting tempatnya cuma di situ-situ aja ya. Dan masalahnya cuma itu
aja, tapi keren banget ngemasnya.”
“Iya. Keren banget.
Aku juga suka banget itu film. Gimana yang awalnya cuma 1 orang aja yang gak
setuju dan akhirnya membuat semua juri jadi ikut pendapatnya. The best!” Mala tersenyum mungil, menelan
pasta yang ada di mulutnya.
Sosok Kinan dan Erwin
muncul dari arah pintu, berjalan menuju meja mereka.
“Sorry ya guys, agak
lama tadi markirnya. Macet parah.” Ucap Nando sambil duduk. Dengan cepat ia
melahap pasta yang ada di depannya.
“Masi anget Win
pastanya?” Erwin mengangguk ke arah Mala. Mulutnya penuh pasta.
“Kamu Nan? Dapet
tanda tangan orangnya?”
“Dapet dong Kak Mal.
Bisa aku samperin ke rumahnya langsung kalo tu orang ternyata gak ada di
kantornya tadi. Jadi, ada sesuatu yang menarik pas kami pergi?”
“Gak ada yang
spesial. Tadi cuma ngomongin Fargo
dan beberapa film lainnya”
“Fargo?” sela Erwin sesaat setelah ia menelan makanannya.
“Serial TV.”
“Wah, gue gak
ngikutin. Serial yang masih gw ikutin cuman Game
of Thrones.”
“Wah, GOT! Aku mau
dong minta lengkapnya. Kemaren baru cuma sampe season 2. Trus belum sempet ngelanjutin lagi. Kak Nando atau Erwin?
“Gue ga ngikutin GOT
Nan. Si Erwin tu.”
Erwin menganggukkan
kepalanya. “Tenang Nan, ntar gw kopiin ke flashdisc trus gw kasi ke tempat lo.”
“Asyik.”
“Kenapa lo gak
ngikutin Ndo? Biasanya lu yang paling pertama masalah beginian.”
“Entah. Gue gak
tertarik aja. Atau belum tertarik?” Jawab Nando sambil mengangkat pundaknya.
Tipikal Nando, pikir Mala ketika mendengar jawaban dari Nando
“Lo mau dikopiin juga
gak La?”
“Gue juga gak
ngikutin. Sempet nonton sih season 1,
tapi gue gak dapet feel buat
ngelanjutin ke season 2. Entah
kenapa.”
“Padahal seru lho.”
“Entahlah. Gak
tertarik aja gue Win.”
Nando tersenyum tipis
mendengar Mala.
“Si Iron Man ini heboh banget ya di medsos.”
Celetuk Kinan memutus pembicaraan mengenai Game
of Thrones.
“Iron Man Nan?”
“Ini lho Kak Nando, ada
tukang las yang dibilang menciptakan lengan robot dengan pake sensor otak dari
barang-barang rongsokan.”
“Ah, kalo gue bilang
itu tukang las bohong. Mana mungkin lah cuman dengan otodidak dan dari barang
rongsokan bisa buat kayak gitu. Banyak yang udah menganalisa kan?”
“Iya sih, ada yang
udah membahas secara detail kenapa si tukang las ga mungkin bisa bikin lengan
kayak gitu. Tapi ada yang bilang, mungkin aja, tapi bukan pake sensor dari
otak. Entahlah. Aku sih gak ngerti.”
“Itu paling medianya
doang yang heboh. Trus orang Indonesia latah menghebohkan suatu issue.” Ujar
Nando terkesan enggan membahas topik ini lebih lanjut.
“Kalo gue kanapa
malah kasian sama si tukang las ya? Kemaren dipuji-puji, dielu-elukan. Sekarang
dihujat orang banyak, dibilang penipulah, nyari sensasi biar terkenal-lah.
Padahal kayaknya doi gak minta supaya dibuat heboh. Media tu yang lebai bikin
berita. Trus masyarakat kita juga gampang banget ngeshare berita-berita heboh
begitu. Gampang ikut-ikutan memuji dan gampang ikut-ikutan menghujat. Labil.”
Ujar Mala panjang lebar sambil melilitkan pasta terakhir di garpunya. Erwin
menaikkan alisnya. Kinan mengangguk-anggukakan kepalanya.
Nando menatap tajam
mata Mala. Tidak ada yang berubah darinya. Ia tetap seorang wanita yang mampu
membuatnya jatuh cinta dengan pikirannya. Mengapa selama ini ia membiarkan
hubungan mereka merenggang tanpa alasan yang jelas?
Mengapa bisa ada
gunung es di antara kami? Mala tidak berhenti berpikir selama pertemuan ini.
Nando yang ada di hadapannya sekarang adalah Nando yang 8 tahun lalu membuatnya
terpikat dengan kecintaannya terhadap film. Tidak ada yang berubah darinya. Mala
merindukan masa-masa di mana mereka duduk bersama berbicara tentang hal apapun.
Tentang film, politik, gosip artis bahkan tentang dosen jurusan mereka. Mereka
sendiri yang membuat gunung es di antara mereka. Menghilangkan waktu berdua
dengan alibi pekerjaan.
“Makasi banyak bos
Erwin atas traktirannya.” Nando menepuk pundak Erwin ketika Erwin mengembalikan
dompetnya ke kantong celananya.
“Nyante Ndo.
Jarang-jarang kan kita ketemu berempat gini. Itung-itung traktiran gw balik
dari Inggris lah ya. Padahal udah lama banget gue balik dari Inggris.” Balas
Erwin. Okelah kalau gitu. Sampai jumpa lagi ya guys.”
“Iya. Sampai jumpa
juga Kak Erwin. Thankiu berat traktiran hari ini.” Balas Kinan sambil mencium
pipi Mala.
Erwin mengacungkan
jempolnya. “Yuk La.” Mala bergeming. Sedikit berpikir. Lalu dia menoleh ke arah
Nando. “Ndo, kamu bawa mobil kan? Kamu pulang ke rumah kan? Aku ikut ya. Rumah
ibu aku jalannya searah juga soalnya.”
Nando tersenyum.
“Beres. Mau mampir ke rumah ngopi Fargo
sekalian gak?”
***
No comments:
Post a Comment