Pages

Cerita Pergi: Annyeong Korea! Pt. 2 (Money Changer atau ATM Global?)

Saturday, February 3, 2018

Jadwal training saya secara resmi dimulai dari tanggal 18 September sampai 23 September. Namun, karena di tanggal 17 September sore ada jadwal orientasi singkat, saya dan 2 teman saya lainnya berangkat ke Korea di hari Sabtu, 16 September 2017 menggunakan Asiana Airlines. Ini pertama kalinya saya naik Asiana Airlines. 5 tahun yang lalu saat saya training di Korea, saya menggunakan Cathay Pacific. Saya mendapatkan penerbangan malam, pukul 23:30.

Penerbangan ke Korea ditempuh selama kurang lebih 7 jam. Selama penerbangan, kami mendapatkan 1 kali midnight snack dan 1 kali sarapan. Karena penerbangan keberangkatan saya di malam hari, tidak banyak hal yang saya lakukan di pesawat. Saya tidak menggunakan fasilitas in flight entertainment  dan lebih banyak memakai waktu saya untuk tidur. Saya terbangun hanya pada saat pemberian midnight snack dan sarapan. Karena pada saat pemesanan tiket (oh ya, yang memesankan tiket adalah tim HR perusahaan) saya menyebutkan makanan yang tidak bisa saya makan adalah makanan non halal, maka pramugari memberikan makanan yang berbeda kepada saya. Untuk midnight snack saya mendapat sandwich sayur dengan tuna, sedangkan penumpang yang lain mendapatkan burger (yang saya pikir) berisi ham. Rasa sandwichnya lumayan enak. Yang pasti mengenyangkan.

Foto di atas adalah menu makan malam saat penerbangan ke Indonesia. Menu khusus halal. 
Satu jam sebelum mendarat, para pramugari menyajikan sarapan. Saya mendapat nasi kuning dengan daging sapi. Rasanya enak. Penumpang yang lain bisa memilih 2 menu yang disiapkan. Saya lupa satu menunya, tapi menu yang lain adalah bubur. Beberapa saat setelah sarapan pesawatpun mendarat. Yeay~ Korea!

Yang membuat sedikit kecewa di Asiana Airlines adalah in flight entertainment-nya (ini pengalaman penerbangan pulangnya ya, soalnya pas berangkat saya tidur terus ^^). Pilihan filmnya sedikit dan tidak banyak film barunya. Layarnya sedikit kecil dan touch screen-nya tidak cepat bereaksi. Alhasil, saya lebih memilih untuk menonton drama Age of Youth di handphone saya.

Cerpen: Prasangka

Friday, January 5, 2018

Tami menatap pria yang berjalan 100 meter di depannya. Sosok pria kurus dengan tinggi tidak lebih dari telinganya itu berjalan perlahan sambil menunduk mengamati handphonenya. Gelak tawa dari kerumunan pria yang berjalan di sampingnya tidak mengusik konsentrasinya pada layar handphone. Pria itu mempercepat langkah kakinya menjauhi kerumunan pria tersebut. Ia menarik tali depan ranselnya dan menekan ear plug-nya agar lebih masuk ke dalam telinganya.

“Heuh. Pake ear plug? Manja.” gumam Tami pelan. 

Pria itu semakin mempercepat langkah kakinya dan segera menghilang dari balik pintu kantor. 

***

“Enggak gitu. Semua prosesnya secara berkelanjutan. Material dari yard langsung masuk ke hopper, langsung diproses langsung jadi besi cair. Yah 6 jam lah kira-kira dari dimasukin sampai mencair. Trus langsung dibawa ke proses selanjutnya.” 

“Enggak.” Tami memilin kabel teleponnya tidak sabar. 

“Ya iya. Itu kalau didiemin seharian ya temperaturnya turun dong ya. Bisa beku lagi nanti malah.” 

Tami menatap Ridho yang sedari tadi melongo dari bilik mejanya. Mencari bahan gosip. “Ya tetep bisa dibawa ke casting machine. Bisa dijual. Untung lah.” 

“Iya.” Ucap Tami lemah. Sesaat ia mejauhkan gagang teleponnya. Telinganya sedikit memanas setelah hampir 15 menit ia berbicara di telepon. Di menit-menit akhir Tami hanya bergumam iya, oke, atau baik. Ia sudah lelah menjelaskan proses yang ada di pabriknya ke beberapa orang. Dan Tami selalu heran, setiap kali ada orang yang bertanya padanya hal yang sama, orang tersebut berasal dari tim yang sama dengan penanya sebelumnya. 

“Sama-sama. Iya. Gak pa-pa.” Tami menutup teleponnya dan menghela nafas panjang. Ia menggeser kursinya mendekati meja Ridho. Ridho menoleh dengan ekspresi bertanya. 

“Si Beta. Heran deh gue. Mereka yang di HQ itu kerjaannya apa sih? Emang sih mereka ga menyinggung operasi, tapi ya mbok basic-nya itu udah di luar kepala napa.” 

“Lo jelasin runut dong.” 

“Doi nanya tentang proses operasi. Butuh berapa jam dari kapal datang, barang dipakai jadi besi cair? Men, dia nanyanya dari kapal datang. Mana gue tahu itu kita pake yang dari kapal yang mana. Udah kecampur gitu. Dia kira setiap kapal ditaruh di tempat yang beda-beda? Jadi kayak 1 tempat buat 1 brand, kapal datang pas brand itu habis, jadi langsung ditaro di sana, trus dipake. Duh, Gusti Allah. Dia gak pernah jalan-jalan ya ke lapangan ya? Gue disuru jelasin sesuatu mah gak masalah. Tapi kalo udah pertanyaannya kebangetan ini ya gue bete juga.” 

Ridho menganggu-angguk. “Anak baru kali.”

“Iya kali. Hm.. Enggak kok. Seinget gue doi udah lama. Ya gak selama gue sih. Dari gue pindah ke posisi ini, gue udah sering kontak sama dia kok.” 

“Yah, lo juga ga ngerti masalah duit di kantor kita kan? Cara ngitung harga material, pembelian dan lain-lain. Sama lah ya. Beda bidang aja dia sama kita.” 

“Iya sih emang. Tapi please-lah, dia nanya itu besi cair dari kita ke proses selanjutnya bisa nyampe sehari atau gak? Kalau iya trus ditaro dimana. Menurut lo? Lagian ya gue heran deh sama si Beta ini. Gue udah suruh dateng ke sini, biar gue jelasin semuanya, tapi gak mau dateng. Terus aja nanya lewat telepon. Sebel gue diteleponin ditanya macem-macem. Kenapa sih gak nyempatin ke sini aja? Daripada habis waktunya nelpon gue. Emang sesibuk itu sampe gak bisa ke sini? Males banget ke lapangan kali ya? Takut kena debu? Duh, tipikal anak HQ banget sih. Minta rapat di pabrik ditolak mentah-mentah. Gak mau kena debu. Ntar jerawatan.” 

Ridho mengangkat pundaknya. Tami menggeser kursinya kembali ke meja kerjanya. Sesaat ia melihat notifikasi di emailnya dan melihat nama Beta sebagai pengirimnya. Tami menggerutu pelan. 

***

“Lo ikutan makan gak Lih?” Surya menepuk punggung kursi Galih. Galih tersentak, menolehkan pandangannya dari komputer ke belakang punggungnya. 

“Enggak Mas.” Galih menggeleng lemah

“Oh, bawa bekel ya?” 

Galih menggeleng kembali. “Lagi ada kerjaan. Ditungguin habis makan siang banget soalnya.” 

Surya mengangkat pundaknya. “Oke kalo gitu.” 

Surya berjalan ke arah Tami yang sudah menunggu di ambang pintu bersama Indra dan Anto. Tami membentuk kata ‘gak ikut?’ dengan mulutnya. Surya menggeleng sambil menggiring rekannya ke pintu keluar kantor menuju mobilnya.

“Si Galih lagi puasa emang?” tanya Tami sesaat setelah ia duduk dan memasang seat belt mobil. 

“Enggak. Biasa dia mah gak ikutan makan siang. Tapi tadi doi bilang lagi ada kerjaan.” 

“Kerjaan apaan dah?”

“Entah.” Surya menyalakan mobil dan melajukannya menuju arah gerbang depan kantor. “Tadi si gue tau dia dipanggil Mr. Ko tentang analisanya. Trus Mr. Ko gebrak meja dong di depan Galih. Mr. Ko lho ini. Orang yang gak pernah gue liat marah.”

“Masalahnya apa emang bro?” tanya Indra 

“Gak tahu pasti gue. Tapi dari kemarin si Galih emang beberapa kali mondar-mandir ke meja Mr. Ko. Mungkin udah berkali-kali revisi tapi gak bener-bener juga laporannya.” 

“Lo ga berusaha ngajarin apa gimana Sur? Lo kan duduk di sebelahnya.”

“Lah, orangnya sendiri gak ada nanya atau cerita apapun. Ya gue pikir mah dia udah bisa.” 

“Tapi Galih ini anaknya emang suka mendam sendiri. Gue pernah ngerjain laporan bareng sama dia. Gue bagi-bagi tugas. Dia ekstrak data yang mana, buat grafik yang mana. Ntar tinggal digabungin. Gue udah selesai trus gue tungguin aja kerjaan dia. Lama banget bro. Gue telpon katanya sebentar lagi. Ya udah gue samperin aja ke lantai atas. Belum nyampe 30% bro. Doi gak ngerti cara ngerekap data dari sistem di excel. Gak tahu formulanya katanya. Trus dia ngabisin waktu nyari-nyari di Google. Yah, kalau emang gak tahu ya kenapa gak nanya aja coba. Emang bakal gue gigit apa.” 

“Takut jatuh cinta sama lo kali To, lo kan ganteng.” 

“Taik lo Sur.”

“Kemarin si Bento cerita, doi pernah secara ga sengaja ngeliat emailnya si Galih. Dan si Galih itu email ke HR. Dia minta supaya dipindahkan departemennya. Katanya sih karena gak kuat kalau harus kerja di lapangan terus-terusan.” 

“Dah. Dia gak kuat, lah terus gue apa? Gue muntah darah. Trus dibales sama HR?”

“Nah, si Bento gak sempet liat-liat lagi. Gak tahu sih email request-an Galih itu berujung ke mana.” 

“Untung dia masuk pas operasi udah stabil. Kalau dia masuk pas awal-awal operasi apa kabar dia? Udah minta kabur di hari pertama kayaknya.” Tatapan Tami menerawang ke atas, mengingat beberapa tahun yang lalu ketika ia harus masuk hampir 24 jam ketika pabriknya baru mulai beroperasi. 

“Si Rizky pernah nanya tuh sama Galih betah atau gak di sini. Katanya mungkin karena belum kenal banget sama yang lain, jadi dia belum merasa betah di sini. Mungkin itu kali ya alasan dia pingin pindah.” 

“Men, lemah banget sih. Gue butuh 6 bulan lebih supaya bisa nyaman ngobrol sama Surya. Setahun lebih supaya bisa ngata-ngatain doi. Dan dia baru berapa lama? 3 bulan? Lagian gimana mau deket sama yang lain kalau dia sendiri selalu menjauh dan gak mau ngomong apa kesusahannya. Ya akhirnya dia sendiri kan yang keteteran sama kerjaannya. Lama kerjanya.” Ujar Tami berapi-api. 

“Nyante dong Tam. Ini udah nyampe kok. Gue tau kok lo laper makanya sensi berat.” Tami mengerling ke arah Surya dan menyempatkan melandaskan kepalan tinju ke pundak Surya sebelum membuka pintu mobil. 

***

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS