Pages

Cerpen: Prasangka

Friday, January 5, 2018

Tami menatap pria yang berjalan 100 meter di depannya. Sosok pria kurus dengan tinggi tidak lebih dari telinganya itu berjalan perlahan sambil menunduk mengamati handphonenya. Gelak tawa dari kerumunan pria yang berjalan di sampingnya tidak mengusik konsentrasinya pada layar handphone. Pria itu mempercepat langkah kakinya menjauhi kerumunan pria tersebut. Ia menarik tali depan ranselnya dan menekan ear plug-nya agar lebih masuk ke dalam telinganya.

“Heuh. Pake ear plug? Manja.” gumam Tami pelan. 

Pria itu semakin mempercepat langkah kakinya dan segera menghilang dari balik pintu kantor. 

***

“Enggak gitu. Semua prosesnya secara berkelanjutan. Material dari yard langsung masuk ke hopper, langsung diproses langsung jadi besi cair. Yah 6 jam lah kira-kira dari dimasukin sampai mencair. Trus langsung dibawa ke proses selanjutnya.” 

“Enggak.” Tami memilin kabel teleponnya tidak sabar. 

“Ya iya. Itu kalau didiemin seharian ya temperaturnya turun dong ya. Bisa beku lagi nanti malah.” 

Tami menatap Ridho yang sedari tadi melongo dari bilik mejanya. Mencari bahan gosip. “Ya tetep bisa dibawa ke casting machine. Bisa dijual. Untung lah.” 

“Iya.” Ucap Tami lemah. Sesaat ia mejauhkan gagang teleponnya. Telinganya sedikit memanas setelah hampir 15 menit ia berbicara di telepon. Di menit-menit akhir Tami hanya bergumam iya, oke, atau baik. Ia sudah lelah menjelaskan proses yang ada di pabriknya ke beberapa orang. Dan Tami selalu heran, setiap kali ada orang yang bertanya padanya hal yang sama, orang tersebut berasal dari tim yang sama dengan penanya sebelumnya. 

“Sama-sama. Iya. Gak pa-pa.” Tami menutup teleponnya dan menghela nafas panjang. Ia menggeser kursinya mendekati meja Ridho. Ridho menoleh dengan ekspresi bertanya. 

“Si Beta. Heran deh gue. Mereka yang di HQ itu kerjaannya apa sih? Emang sih mereka ga menyinggung operasi, tapi ya mbok basic-nya itu udah di luar kepala napa.” 

“Lo jelasin runut dong.” 

“Doi nanya tentang proses operasi. Butuh berapa jam dari kapal datang, barang dipakai jadi besi cair? Men, dia nanyanya dari kapal datang. Mana gue tahu itu kita pake yang dari kapal yang mana. Udah kecampur gitu. Dia kira setiap kapal ditaruh di tempat yang beda-beda? Jadi kayak 1 tempat buat 1 brand, kapal datang pas brand itu habis, jadi langsung ditaro di sana, trus dipake. Duh, Gusti Allah. Dia gak pernah jalan-jalan ya ke lapangan ya? Gue disuru jelasin sesuatu mah gak masalah. Tapi kalo udah pertanyaannya kebangetan ini ya gue bete juga.” 

Ridho menganggu-angguk. “Anak baru kali.”

“Iya kali. Hm.. Enggak kok. Seinget gue doi udah lama. Ya gak selama gue sih. Dari gue pindah ke posisi ini, gue udah sering kontak sama dia kok.” 

“Yah, lo juga ga ngerti masalah duit di kantor kita kan? Cara ngitung harga material, pembelian dan lain-lain. Sama lah ya. Beda bidang aja dia sama kita.” 

“Iya sih emang. Tapi please-lah, dia nanya itu besi cair dari kita ke proses selanjutnya bisa nyampe sehari atau gak? Kalau iya trus ditaro dimana. Menurut lo? Lagian ya gue heran deh sama si Beta ini. Gue udah suruh dateng ke sini, biar gue jelasin semuanya, tapi gak mau dateng. Terus aja nanya lewat telepon. Sebel gue diteleponin ditanya macem-macem. Kenapa sih gak nyempatin ke sini aja? Daripada habis waktunya nelpon gue. Emang sesibuk itu sampe gak bisa ke sini? Males banget ke lapangan kali ya? Takut kena debu? Duh, tipikal anak HQ banget sih. Minta rapat di pabrik ditolak mentah-mentah. Gak mau kena debu. Ntar jerawatan.” 

Ridho mengangkat pundaknya. Tami menggeser kursinya kembali ke meja kerjanya. Sesaat ia melihat notifikasi di emailnya dan melihat nama Beta sebagai pengirimnya. Tami menggerutu pelan. 

***

“Lo ikutan makan gak Lih?” Surya menepuk punggung kursi Galih. Galih tersentak, menolehkan pandangannya dari komputer ke belakang punggungnya. 

“Enggak Mas.” Galih menggeleng lemah

“Oh, bawa bekel ya?” 

Galih menggeleng kembali. “Lagi ada kerjaan. Ditungguin habis makan siang banget soalnya.” 

Surya mengangkat pundaknya. “Oke kalo gitu.” 

Surya berjalan ke arah Tami yang sudah menunggu di ambang pintu bersama Indra dan Anto. Tami membentuk kata ‘gak ikut?’ dengan mulutnya. Surya menggeleng sambil menggiring rekannya ke pintu keluar kantor menuju mobilnya.

“Si Galih lagi puasa emang?” tanya Tami sesaat setelah ia duduk dan memasang seat belt mobil. 

“Enggak. Biasa dia mah gak ikutan makan siang. Tapi tadi doi bilang lagi ada kerjaan.” 

“Kerjaan apaan dah?”

“Entah.” Surya menyalakan mobil dan melajukannya menuju arah gerbang depan kantor. “Tadi si gue tau dia dipanggil Mr. Ko tentang analisanya. Trus Mr. Ko gebrak meja dong di depan Galih. Mr. Ko lho ini. Orang yang gak pernah gue liat marah.”

“Masalahnya apa emang bro?” tanya Indra 

“Gak tahu pasti gue. Tapi dari kemarin si Galih emang beberapa kali mondar-mandir ke meja Mr. Ko. Mungkin udah berkali-kali revisi tapi gak bener-bener juga laporannya.” 

“Lo ga berusaha ngajarin apa gimana Sur? Lo kan duduk di sebelahnya.”

“Lah, orangnya sendiri gak ada nanya atau cerita apapun. Ya gue pikir mah dia udah bisa.” 

“Tapi Galih ini anaknya emang suka mendam sendiri. Gue pernah ngerjain laporan bareng sama dia. Gue bagi-bagi tugas. Dia ekstrak data yang mana, buat grafik yang mana. Ntar tinggal digabungin. Gue udah selesai trus gue tungguin aja kerjaan dia. Lama banget bro. Gue telpon katanya sebentar lagi. Ya udah gue samperin aja ke lantai atas. Belum nyampe 30% bro. Doi gak ngerti cara ngerekap data dari sistem di excel. Gak tahu formulanya katanya. Trus dia ngabisin waktu nyari-nyari di Google. Yah, kalau emang gak tahu ya kenapa gak nanya aja coba. Emang bakal gue gigit apa.” 

“Takut jatuh cinta sama lo kali To, lo kan ganteng.” 

“Taik lo Sur.”

“Kemarin si Bento cerita, doi pernah secara ga sengaja ngeliat emailnya si Galih. Dan si Galih itu email ke HR. Dia minta supaya dipindahkan departemennya. Katanya sih karena gak kuat kalau harus kerja di lapangan terus-terusan.” 

“Dah. Dia gak kuat, lah terus gue apa? Gue muntah darah. Trus dibales sama HR?”

“Nah, si Bento gak sempet liat-liat lagi. Gak tahu sih email request-an Galih itu berujung ke mana.” 

“Untung dia masuk pas operasi udah stabil. Kalau dia masuk pas awal-awal operasi apa kabar dia? Udah minta kabur di hari pertama kayaknya.” Tatapan Tami menerawang ke atas, mengingat beberapa tahun yang lalu ketika ia harus masuk hampir 24 jam ketika pabriknya baru mulai beroperasi. 

“Si Rizky pernah nanya tuh sama Galih betah atau gak di sini. Katanya mungkin karena belum kenal banget sama yang lain, jadi dia belum merasa betah di sini. Mungkin itu kali ya alasan dia pingin pindah.” 

“Men, lemah banget sih. Gue butuh 6 bulan lebih supaya bisa nyaman ngobrol sama Surya. Setahun lebih supaya bisa ngata-ngatain doi. Dan dia baru berapa lama? 3 bulan? Lagian gimana mau deket sama yang lain kalau dia sendiri selalu menjauh dan gak mau ngomong apa kesusahannya. Ya akhirnya dia sendiri kan yang keteteran sama kerjaannya. Lama kerjanya.” Ujar Tami berapi-api. 

“Nyante dong Tam. Ini udah nyampe kok. Gue tau kok lo laper makanya sensi berat.” Tami mengerling ke arah Surya dan menyempatkan melandaskan kepalan tinju ke pundak Surya sebelum membuka pintu mobil. 

***

“Departemen ini gak akan merotasi karyawannya ke departemen lain.” 

Tami selalu mengingat perkataan pimpinan timnya ketika gosip berhembus kencang bahwa dirinya meminta HR untuk memindahkannya ke departemen lain. Entah darimana orang-orang bisa mengetahui kabar itu padahal satu-satunya orang yang ia ceritakan masalahnya hanyalah team leader HR, Pak Ahmad. 

Saat itu Tami sudah tidak kuat untuk meneruskan pekerjaannya sebagai engineer di pabrik ini. Ia tidak kuat jika harus selalu standby 24 jam dalam 7 hari. Ia tidak kuat jika harus dipanggil tengah malam ke pabrik. Ia lelah seringkali melepaskan akhir pekannya untuk mengurus pabrik. Setelah sempat bimbang beberapa hari, akhirnya ia memberanikan diri mengirimkan email kepada Pak Ahmad, meminta agar beliau bisa mencarikan posisi di departemen lain untuk dirinya. Alih-alih membalas email, Pak Ahmad menelepon Tami dan memintanya datang ke kantornya. 

Di pertemuan tersebut Pak Ahmad menekankan bahwa ia bisa memindahkan karyawan dari satu departemen ke departemen lainnya hanya jika pimpinan tim karyawan yang bersangkutan menyetujui dan karyawan tersebut sudah diterima oleh pimpinan tim yang dituju. Pak Ahmad menyarankan Tami untuk berbicara dengan pimpinannya dan mulai mendekati pimpinan tim yang ingin Tami masuki. Belum sempat ia bicara dengan pimpinannya, gosip tersebut sudah beredar dan pimpinannya mengeluarkan kalimat tersebut dalam sebuah rapat. Sejak saat itu, Tami tidak pernah mengungkit permintaannya tersebut ke HR atau ke siapapun. 

“Woy! Kebiasaan deh lo ngelamun.” Surya menepukkan kedua telapak tangannya di depan muka Tami. Tami segera menapisnya. 

“Mulai kapan dia pindah?”

“Bulan depan.”

Tami menggigit bibirnya. “Gampang banget sih dia dipindah. Gue sampe harus ngomong empat mata dulu sama team leader gue, ngalur ngidul, bilang kalau di sini berat di awal karena pabrik baru jalan 2 tahun. Akan ada waktunya rotasi pekerjaan tapi hanya di satu departemen saja. Gak ada deh ceritanya pindah departemen. Dan Galih dapet gitu aja pindah? Dia? Cowok?” 

“Mr. Yu juga udah males kali sama dia. Udah keliatan selesai banget di pabrik ini.” 

“Emang gue gak keliatan kayak gitu? Lo?” 

Surya tertawa menggeleng. “Susah juga kalau dia tetep di sini. Disuru ke lapangan ada aja alasan. Weekend kemarin pas ada masalah di pabrik malem-malem, dan cuma sisa gue sama dia di kota ini, doi gak dateng. Males juga gue kalo orang macem gini yang kerja sama gue. Manja.” 

“Jadi di Quality pindahnya?” tanya Tami yang dijawab anggukan oleh Surya. 

Tami menahan rasa kesalnya. Quality adalah departemen impian Tami. Dari awal masuk ke perusahaan ini ia sudah mengincar departemen itu. Namun entah bagaimana ia ditempatkan sebagai engineer di bagian produksi. Ia kesal karena Galih dengan mudah pindah ke departemen tersebut. Dari jauh ia melihat Galih berjalan ke arahnya. Ketika berpapasan, ia tersenyum ke arah Tami. Tami menatap nanar ke arahnya dan berpaling pergi dari Galih. 

***

“Makasih Mba.” Ujar Tami sambil tersenyum kepada perempuan di hadapannya. Perempuan berseragam putih membalas senyumannya. “Sama-sama Mba.” 

Tami melangkah pergi dari counter bertuliskan Pharmacy. Ia memasukkan kantong obatnya ke dalam tas. Penyakit asam lambungnya kambuh lagi dan memaksa ia untuk tidak ke kantor hari ini. Sesaat sebelum ia berbelok menuju pintu keluar, ia melihat sosok pria dan wanita yang cukup familiar berbincang sambil berjalan dari arah berlawanan. Setelah jarak mereka sekitar 100 meter, mereka tampak baru menyadari keberadaan Tami dan segera merekahkan senyuman. 

“Halo Kak.” Galih mengulurkan tangannya ke arah Tami. 

Sedikit canggung Tami menyambut tangan Galih. “Halo Lih. Bukannya kamu cuti hari ini?” 

“Iya kak.”

“Halo Tam. Ngapain lo di sini? Sakit?” 

Tami tersenyum ke arah wanita di samping Galih. “Iya Tan, maag gue kambuh. Lo sendiri?” 

“Gue habis medcheck. Sekalian gue sempetin jenguk Beta.” 

“Beta sakit?” 

Intan mengangguk. “Iya masuk rumah sakit dari semalem.” Intan mengecek jam tangannya. “Duh, udah jam segini. Bos gue udah ribut di grup chat. Gue balik ke kantor dulu ya. Lo tanya-tanya aja soal Beta ke lakinya ini.” Intan menepukkan tangannya di atas pundak Galih. “Duluan ya gue.” Intan melambaikan tangannya sambil berjalan cepat menuju pintu keluar rumah sakit. 

“Beta sakit apa Lih?” 

“Tipes Kak.”

“Kok bisa?”

“Makannya gak teratur jadi tumbang dia.” 

“Oh. Emang dia males makan?” 

“Enggak sih Kak. Tapi dia gak mau nyempetin makan pas lagi kerja. Makan siang suka kebablasan. Malem suka ngelembur. Makannya pop mie aja. Bangun selalu kesiangan ga pernah sempet makan pagi. Ya gimana gak tumbang.” 

“Beta sering ngelembur?” 

“Udah bukan sering lagi Kak. Hampir setiap hari. Bukan dia aja sih. Temen-temen setimnya juga gitu. Suka lembur. Tapi mungkin si Beta ini emang gak bisa jaga kesehatan, jadi sakit sekarang.” 

“Emang sebanyak itu ya kerjaan timnya Beta.” 

“Emang banyak dan juga karena bosnya perfeksionis banget. Buat laporan banyak revisi. Ngitung sesuatu harus sedetail mungkin. Ngasi info harus selengkap mungkin. Kalau ada yang ngasi info trus bosnya nanya sesuatu dan dia gak bisa jawab, disuru caritahu sampai ketemu jawabannya di hari itu juga. Makanya timnya dia itu termasuk yang paling sering nanya-nanya ke tim atau departemen lain.” 

Mulut Tami membentuk huruf O. Perasaan tidak enak menyelimuti Tami. Ia memaki dirinya sendiri karena sering berpikiran negatif terhadap Beta.

“Beta boleh ditengok Lih? Mumpung di sini ni.” 

“Tengok aja Kak. Anaknya udah ceria lagi kok walau masi diinfus. Kamarnya Anggrek 10. Kak Tami lurus aja, nanti kalo ketemu kantin belok kanan. Cari aja kamar nomor 10. Aku mau nebus kantong infus lagi ni.” 

“Oh Oke Lih, gue ke sana ya.” 

Galih mengangguk. 

***

“Masuk.” Sebuah suara dari balik pintu menjawab ketukan pintu Tami 

Tami membuka pintu kayu bernomor 10 di depannya perlahan. Ia melihat sosok Beta terbaring di atas ranjang dengan infus di tangan kirinya. Ekspresi Beta tampak terkejut melihat Tami dari balik pintu. Ia mengangkat punggungnya untuk duduk menyandar. Seketika kedua tangan Tami terangkat untuk mengisyaratkan jangan. 

“Tidur aja Ta. Nyantai aja.” 

Beta tersenyum. “Gak pa-pa Kak. Aku udah jauh lebih enak kok. Kakak tahu dari mana aku di sini?”

“Aku kebetulan lagi di rumah sakit, trus ketemu Galih di lobi. Dia cerita kalau kamu dirawat di sini, ya sekalian aku tengok aja.” 

“Makasi ya Kak.” 

Hectic banget ya kerjaan Ta?” 

“Galih cerita ya? Enggak seheboh yang dia ceritain kok. Ya namanya juga kerjaan Kak.” Beta membenarkan posisi duduknya. “Tapi maaf ya Kak, aku suka nelponin jadi ganggu kerja. Aku belum sempat ni ke tempat kak Tami.” 

Tami menggeleng cepat. “Santai Ta. Gak usah dipikirin.” 

“Kadang suka heran sendiri. Padahal si bos yang nyuru cari info, tapi kalau minta ijin pergi, dia bilang ‘buat apa’.” 

“Gak minta dirotasi aja Ta? Bos udah kayak gitu bukannya udah gak sehat ya? Si Galih tuh bisa pindah departemen. Kamu sampe sakit gini masak ga dibolehin sih.” 

“Hm.. kalo Galih mah emang harus pindah sih Kak. Udah diawajibkan banget sama dokter kalau gak telinga dan kepalanya bisa lebih parah.” 

Alis Tami menngernyit. “Galih sakit Ta?” 

Beta terdiam. Ragu untuk melanjutkan ceritanya. “Benernya Gallih minta supaya aku gak cerita ke siapapun sih. Kak Tami jangan cerita ke orang lain lagi ya?” 

Tami mengangguk tak sadar. Ia masih berusaha mencerna omongan Tami sebelumnya. 

"Galih pernah kecelakaan motor waktu kuliah Kak. Lukanya lumayan parah dan kepalanya kena gegar otak ringan. Tapi Alhamdulillah masih bisa ditolong dan selamat. Tapi akibat kecelakaan itu, pendengaran Galih jadi sedikit terganggu dan kalau fisiknya kecapekan atau stress berat kepalanya pusing dan muntah-muntah. Makanya dokter melarang Galih kerja di pabrik karena bising dan harus sering ke lapangan. Kalau kelamaan dengar suara bising, dokter bilang Galih bisa gak dengar lagi.” Beta menelan ludahnya. “Sejak awal ditempatkan di sana, Galih sudah gak enak sih. Dia khawatir latar belakang kesehatannya akan mempengaruhi kinerjanya. Dan ternyata bener. Sudah berapa kali dia harus ke dokter buat ngecek kesehatannya.”

Tami terdiam. Entah kenapa kepalanya terasa berat setelah mendengar informasi baru dari Beta. Perasaan bersalah sontak mengelilingi tubuh Tami. 

"Awalnya dia masih pingin terus kerja di sana. Tapi lama-lama gak enak juga karena dia kadang harus nyari-nyari alasan biar gak sering ke lapangan. Dan akhirnya dia nyerah juga.”

Tami terdiam. Tidak ada kata lain yang ingin ia ucapkan selain kata maaf ketika ia mendengar cerita Beta. Tidak ada yang lain. “Maaf ya Ta, aku gak tau kalau situasi Galih kayak gini.”

“Ya ampun Kak, ngapain minta maaf dah. Kakak salah apa juga? Wajar lah gak tau. Galih emang anaknya kalau punya masalah gak suka cerita. Dipendem aja sendiri.” 

Tami mengangguk lemah. Bibirnya kelu. Pikirannya kalut. Ia hanya melihat bibir Beta bergerak tanpa menangkap jelas apa yang ia bicarakan selanjutnya. Pikirannya berkelana mengingat semua pembicaraan yang ia lakukan bersama teman kantornya. Tudingan-tudingannya. Perasaan tidak sukanya, perasaan irinya seketika runtuh berubah menjadi perasaan bersalah. Mengapa ia hanya melihat satu sisi saja? Mengapa ia tidak pernah berusaha membuka pikirannya dengan kemungkinan-kemungkinan yang lain? Mengapa dengan seenaknya ia menyimpulkan sesuatu dan membenarkannya sendiri? Semua pertanyaan itu terlintas di otak Tami tanpa mampu ia jawab. Ia hanya menggigit bibirnya. 

“Halo.” Sebuah kepala muncul di balik pintu. Galih tersenyum lebar melihat Tami dan Beta. 

Tami melihat Beta dan Galih. Ia paham tidak penting apa yang sudah ia pikirkan selama ini. Yang lebih penting apa yang ia pikirkan dan lakukan selanjutnya. Tami melayangkan senyumannya ke arah Galih. Senyuman paling tulus yang pernah ia berikan. 

***

Catatan:

(1) Ear plug: Alat semacam busa yang digunakan untuk meredam kebisingan dengan memasukkannya ke dalam telinga sehingga memblokir saluran telinga. 

(2) Hopper: Alat atau bejana besar yang digunakan untuk menyimpan material padat di mana material tersebut akan dimasukkan dari bagian atas hopper dan dikeluarkan dari bagian bawah yang berbentuk kerucut. 

(3) Casting Machine: Sebuah fasilitas yang digunakan mencetak besi cair menjadi bentuk yang sesuai dengan cetakannya. 







No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS