Ren tidur. Tubuh mungilnya terpapar sinar biru.
Aku melihatnya dari balik kaca. Mataku berair. Tangan kananku memegang botol kaca berisikan 40 ml asip yang berhasil aku pompa selama 1 jam. Mas Pram memegang tanganku yang lain.
“Kenapa sih ngotot cuma kasi asi. Udah tahu gak keluar, Ren nangis-nangis kehausan.”
“Ibu, sudahlah. Aku sama Prita udah mutusin kalo kami mau berusaha semaksimal mungkin memberikan Asi. Yang penting kan sekarang Ren udah disinar. Sekarang Prita juga udah bisa mompa asi.”
“Emang cukup segitu? Udah lama mompa hasilnya cuma sedikit. Nanti Ren kurang minumnya. Udah sih, kasih susu kaleng aja.”
“Ya cukuplah Bu. Bayi seminggu ya minumnya gak banyak. Jangan samain kayak Kino yang udah setahun minum susunya bisa sebotol penuh.”
“Iya, tapi Kino dulu waktu bayi gak sampe disinar. Sehat terus sampai sekarang.”
“Bu..” Aku mengeratkan genggaman tanganku. Mas Pram menatapku, lalu menghela nafas, mengurungkan niatnya untuk membalas omongan Ibunya.
***
“Grrt… grrt…grrrttt…”
Mesin pompa mengeluarkan suara bergetar. Mataku berat, badanku pegal. Aku menguap. Pukul 1 malam. Mas Pram mengorok di sebelah Ren. Aku juga ingin melanjutkan tidurku. Tapi aku harus memompa payudaraku. Menjaga produksi asiku.
Sebetulnya 1 kulkas sudah terisi penuh oleh kantung-kantung asip berukuran 150 sampai 250 ml. Tapi Ren baru berusia 5 bulan. Masi ada 19 bulan lagi sampai menyapih. Aku ingin semaksimal mungkin memberikan ASI. Dengan Ren yang tidak sepenuhnya menyusui langsung karena aku bekerja, aku harus konsisten memompa payudaraku. Dan tengah malam adalah saat yang paling tepat untuk menaikkan produksi asi.
Aku membuka handphone. Jariku menekan icon Instagram dan mengetikkan nama metahanindita. Aku melanjutkan membaca highlight Dokmet. Di sana dibahas dengan sangat lengkap mengenai mpasi. 1 bulan lagi Ren akan mulai mpasi. Dan aku harus menyiapkan semua yang dibutuhkan.
“Say…” Mas Pram memanggilku pelan sambil mengucek-ucekkan matanya
“Maaf ganggu.”
Mas Pram menggeleng. “Baca apa? Serius banget.”
“IG dokmet. Soal mpasi.”
“Kurang? Kan minggu lalu kita udah ikut seminar mpasi. Udah lengkap banget kan?”
“Iya. Cuma mau nambah referensi aja.”
“Beda?”
“Enggak. Sama persis kok sama yang kita dapet dari seminar. Cuma dokmet suka ngasi screenshot jurnal dan suka jawab pertanyaan netizen. Dan ada sharing dari ibu-ibu lain juga. Banyak banget highlight soal mpasinya. Dari kemaren-kemaren aku belum selesai baca.”
Mas Pram mengangguk. “Pompa udah selesai?”
“10 menit lagi.”
“Mau dibuatin teh? Atau kuambilin susu?”
Aku tersenyum. “Susu aja.”
Mas Pram beranjak dari kasur. “Aku angetin martabaknya juga ya biar perut kamu ada isinya. Biasanya subuh-subuh kamu suka kelaperan.”
Aku mengangguk.
***
“Saatnya makan~~ Teman-teman makan siang apa? Ren makan bubur soto ayam! (Tapi tampaknya Ren kurang suka ni sama menu buatan Ibu TT)”
Aku mengetikkan caption di bawah foto Ren memakai bodysuit biru yang sedang duduk di highchair-nya. Sudah 20 menit makan dan Ren mulai gelisah di kursinya. Ia menggerak-gerakkan badannya ingin keluar sambil sesekali merajuk padaku.
“Ren kenapa nangis?” Ibu tiba-tiba datang dari pintu depan rumah
“Eh Ibu. Gak bilang mau main ke rumah. Enggak, ini dia cuma lagi ga suka duduk di kursinya”
“Gendong aja makannya Prit. Kasian nangis gitu.”
“Gak usah Bu, gak papa. Biar biasa makan sambil duduk”
“Lah nangis gitu kok gak papa, gak mau makan dia. Bosen lah anak kecil duduk di kursi terus. Yuk Ren sama Nenek makan di luar yuk liat kucing.”
“Bu.. Ga papa. Udah hampir 30 menit juga. Udah mau selesai waktu makan Ren.”
“Lah udah selesai gimana Prit, masih sisa banyak gitu makanannya Ren. Sini sama Nenek ya makannya.”
“Eh gak papa bu. Lagi males makan aja kayaknya Ren. Sama aja kayak kita orang dewasa ya Bu, kadang suka ga selera.”
“Nah makanya biar selera kasih makannya di luar aja. Sambil jalan-jalan di taman. Lagian makan gak usah dibates-batesin waktunya Prit. Namanya juga anak kecil. Biar banyak makannya.” Ibu mengulurkan tangannya memegang Ren.
Aku segera mengeluarkan Ren dari kursinya dan memeluknya. “Ren sudah kenyang Bu rasanya. Gak papa Bu segini aja udah cukup kok Ren makannya. Sebentar ya Bu aku ganti baju Ren dulu.” Aku segera pergi membawa Ren menuju kamar.
Handphoneku berbunyi saat aku berada di kamar. Bude Wati memberikan komen di IG-ku
“Ya ampun Ren lucu sekali. Ginuk-ginuk. Gede ya badannya. Padahal seumur sama Lika tapi Lika kayaknya lebih kecil dari Ren. Ren minum sufor apa? Pasti minumnya pinter ya, bisa jadi gendut gini. Eh tapi Prit, Ren kok udah dikasi soto ayam sih? Ren baru-baru ini kan mulai makannya? Awal-awal jangan dikasi yang berat-berat Prit. Kasi buah atau sayur dulu aja. Nanti sembelit lho si Ren. Duh, kasian banget Ren. Kamu jangan ikut-ikutan ibu-ibu kekinian. Kasian anak kamu. Dulu anak-anak bayi awalnya dikasi makan ya buah atau sayur yang dihaluskan, sehat-sehat semua. Kasian itu perutnya udah dikasi makanan macem-macem. Benerin lho makannya Ren. Daripada nanti sakit kan.”
Aku mencengkeram handphone-ku lebih keras.
***
“Tiup! Tiup! Tiup!” Ren hanya melongo menatap ke arahku. Aku memeluknya dari samping. Tersenyum. Mencoba menenangkan. “Ren, mau coba tiup lilin? Kalau susah, Ibu sama Ayah bantu tiup boleh?” Ren tetap terdiam. Matanya tertuju pada kue berbentuk tameng Kapten Amerika. Lalu menatapku lagi.
“Ren tidak mau mencoba meniup? Tidak apa-apa. Biar Ibu dan Ayah saja yang meniup lilinnya.” Sebelum aku dan Mas Pram sempat meniup, Kania, Kino, Tama, dan Retno mendesak ke depan kue dan bersamaan meniup liin berbentuk angka 1 tersebut. Kemudian mereka tertawa bersama-sama. Aku tersenyum. “Oh.. Kakak Kania, Kino, Tama dan Retno sudah meniupnya. Lihat setelah ditiup, apinya mati Ren. Kita bilang terimakasih ya ke mereka. Terimakasih kakak-kakak.”
“Sama-sama.” Retno menjawab nyaring lalu berlari menyusul ketiga saudaranya ke teras rumah. Ren masih merangkulku. Dia masih belum terbiasa melihat banyak orang berkumpul di rumahnya dalam satu waktu. Hari ini keluarga kami berkumpul untuk merayakan ulang tahun Ren yang pertama. Sesungguhnya aku tidak ingin merayakan ulang tahunnya seperti ini. Karena Ren menunjukkan ketertarikannya pada binatang, aku ingin mengajaknya ke Taman Safari dan menginap di sana. Menghabiskan hari bahagianya hanya dengan Ayah dan Ibunya. Tapi Mama memintaku membuat acara. Menurutnya, ulang tahun pertama harus disyukuri dan dirayakan, pergi ke Taman Safari bisa di lain hari. Walau sudah menolak, Mama tetap memaksa. Dibantu oleh Kak Linda, beliau yang memesan katering, kue, dan dekorasi untuk acara ini. Hanya keluarga intiku dan Mas Pram saja yang hadir. Tetangga dan kerabat yang lain kami berikan goodie bag dan nasi kotak.
“Ta, mama perhatikan Ren gak banyak bicara ya?”
“Ya Ren kan memang belum bisa ngomong Ma.”
“Ih, cucunya Bu Desy yang seumuran Ren, udah pinter ngomong. Ma, Pa, Mik, Mam. Ini Ren manggil kamu aja belum bisa.”
“Yak an anak beda-beda ma perkembangannya.”
“Ih kamu mah. Bukannya bandingin tapi buat bahan instropeksi kamu juga. Kurang stimulasi apa? Kamu kerja sih, jadinya gak bisa mantau Ren gimana sehari-harinya. Si Mbak Yuli cerewet gak? Jangan-jangan didiemin aja waktu main sama Ren.”
“Mba Yuli baik-baik aja kok Ma. Ga cerewet ga cuek juga. Red flag bahasa itu di 16 bulan harus bisa 1 kata berarti. Masih ada 4 bulan ma untuk menstimulasinya.”
“Dulu juga Retno umur setahun udah banyak kata yang keluar, gak kayak Ren.”
“Ma, udah dong. Jangan bandingin terus. Selain emang belum red flag-nya, coba liat Ren. Motoriknya bagus. Pemahamannya juga udah bagus. Nanti tinggal distimulasi lebih sering aja.”
“Kinooooooo!!!” Belum sempat Mama membalas ucapanku, suara Mba Mila mengisi seisi rumah .“Kino, ayo makan. Kalo makan duduk gitu lho. Masak makan sambil lari-lari. Udah sejam ini mama nyuapin kamu gak selesai-selesai. Ayo selesain dulu makannya, baru lari-lari lagi.”
“Kino!” Ibu Mas Pram memanggilnya. “Kino ayo duduk. Lihat itu adek Ren. Makannya duduk. Pinter. Masak kamu kalah sama adek Ren yang masih kecil?” Kino melongok ke arah Ren yang sedang duduk di high chair dan sedang disuapi oleh Mas Pram. Lalu ia kembali berlari menuju teras rumah,
“Uft. Susah sekali sih ngasih makan Kino. Ren pinter banget sih mau makan di kursi. Tenang.” Mba Mila duduk lemas di sampingku.
“Coba dibiasain aja Mba. Itu Ren dari umur 6 bulan udah aku biasain duduk di kursi.”
“Udah pernah. Tapi Kino ketika didudukkan di kursi langsung loncat-loncat. Aku jadi takut dia jatuh. Jadi ya udah aku gak coba lagi dudukkin.”
“Ren kayak Pram deh.” Celetuk Ibu. “Pram juga anaknya anteng. Dulu waktu kasi makan juga gak susah. Pram mau duduk anteng dan makan. Makanan apa aja juga dia mau. Pinternya Ren turun ya dari ayahnya.”
“Kayak gini itu butuh usaha lho Bu.” Mas Pram meletakkan mangkuk makan Ren. “Perlu dibiasakan. Sebelum mpasi Prita udah nyari-nyari info supaya Ren gak susah makan. Semuanya diterapkan dengan baik. Ren anteng gini gak instan Bu. Butuh usaha.”
“Iya Pram, Ibu tahu. Tapi ya namanya teori ya teori. Kalo anaknya emang aktif maunya gerak gak mau duduk ya gimana? Ini pas aja Ren anaknya emang pinter kalau makan.”
“Udah Mas Pram, itu lanjutin kasi makan Ren. Kasian udah nungguin anaknya.” Ujarku sebelum Mas Pram membalas ucapan Ibu
***
“Selamat setahun menjadi Ibu ya sayangkuuuu… You are such an inspiring Mom. You did such an amazing job beb! Jangan pernah dengar kata orang. Elo dan Mas Pram sudah membesarkan Ren dengan sangat baik. Ren akan sangat berterimakasih karena sudah memiliki elo sebagai ibunya. Jadiii… jangan pernah lagi nangis karena dengar perkataan orang. Nangis karena merasa diri lo bukan ibu yang baik. Nangis karena lo harus bekerja bukannya bermain sama Ren. Lo bukan malaikat atau dewa. Lo bukan manusia yang sempurna. Tapi yang kami tahu, lo adalah Ibu yang terbaik untuk Ren. Jadi, jangan suka nangis lagi ya! Eh, nangis boleh deng. Namanya manusia ye kan? Tapi jangan sering-sering dan lama-lama. Trus habis nangis lo musti makin kuat lagi ya. We love you!!!! Damar, Wita, Keken.
Ps. Kami udah tahu lo ngincer dress ini dari dulu. Tapi lo masi maju mundur kan karena dress ini ga busui friendly dan lo bingung mau dipake ke mana ini dress. So, yeah, selain dress ini kami juga kasi elo alasan untuk menggunakan dress ini. Kami udah reservasi candle light dinner romantis buat elo dan Mas Pram wiken ini. Be happy! Kalian sungguh sangat pantas menerimanya.”
Mataku berair melihat catatan dari temanku sejak SMA ini. Selain buku untuk Ren, mereka memberikanku sebuah dress cantik yang sudah lama aku inginkan. Aku terharu. Ingin sekali kupeluk mereka bertiga.
“Cantik sekali dressnya.”
“Iya kan? Eh Mas, mana lego untuk Ren? Udah dibeli kan?”
“Ini mau aku kasi ke kamu.” Mas Pram memberikan kotak berbungkus kado kepadaku
Aku mengernyit. “Kok gini bentuknya? Kok berat?”
“Buka dulu aja.”
Aku menyobek kertas kadonya. Aku terkejut melihat isinya.
“Laptop mas?”
Mas Pram tersenyum. “Ada kertas di dalamnya. Baca dulu ya. Aku lanjut buka kado Ren yang lain dulu.”
Segera kuambil kertas di dalam kotak dan membacanya.
“Hai Prita. Wah aneh sekali ya menulis surat. Tapi aku tau pasti akan lebih canggung lagi kalau aku ngomong langsung. Ga jago aku. Aku cuma mau ngucapin terimakasih ya setahun ini kamu sudah berusaha yang terbaik untuk menjadi Ibu Ren. Kamu lihat kan hasilnya gimana? Ren tumbuh menjadi anak yang sehat dan pintar. Maaf kalau aku gak bisa banyak bantu kamu. Bantu kamu di saat kamu sibuk pumping tengah malam, saat kamu harus begadang nyari info parenting, saat kamu harus bangun pagi untuk masakin Ren, saat kamu harus terima komen-komen yang gak enak dari orang-orang. Aku berusaha sebisa mungkin bantu kami Ta, tapi aku tahu hati kamu pasti sering terluka. Sayang, kamu adalah ibu yang terbaik yang bisa Ren dapatkan. Jangan pernah berkecil hati. Jangan pernah merasa kurang. Kamu sudah melakukan yang terbaik dalam setahun ini untuk membesarkan Ren. Jalan kita masih panjang, tapi aku yakin kita berdua bisa mendidik Ren dengan baik. Aku yakin karena yang mendampingiku adalah Prita Suryaninta. Sekali lagi, terima kasih. Love you.”
P.s Udah ya kita loakkan aja laptop jadul kamu yang ngetik huruf I harus neken 10 detik. Terus menulis ya. Aku fans loyal tulisanmu.”
Air mataku mengalir deras. Aku menatap punggung Mas Pram yang sedang asyik membuka kado. Aku sungguh bersyukur.
***
No comments:
Post a Comment