Adit meletakkan
helmya di atas motornya. Ia sedikit menggerutu karena sebuah mobil entah
dikendarai siapa menyipratkan kubangan lumpur ke motornya. Sepatu hitamnya pun
menjadi korban. Ia berjalan menuju ruangannya. Saat ini baru jam 7 lewat 10
menit. Wajar jika kantor masih sepi karen waktu resmi masuk kantor adalah jam
8. 10 meter di depannya Adit melihat sosok wanita yang juga berjalan menuju
kantor.
Seperti biasa Tiara
turun dari mobil Ana. Pagi ini Ana harus ke lapangan sehingga ia tidak turun.
Tiara sedikit malas dengan jadwalnya hari ini. Ia harus mengajari para
operator. Ia malas sebenarnya jika harus mengurus 40 anak SMA itu. Mereka suka
jahil. Suka bertanya yang aneh-aneh. Tapi itulah kerja. Tiara melihat sosok
pria yang juga berjalan menuju kantor sepagi ini.
Tiara dan Adit
berpapasan di depan pintu kantor. Adit melihat Tiara. Tiara menatap Adit. Tiara
mengulurkan id cardnya ke depan detektor magnet untuk membuka pintu ruangan.
Ruangan terbuka. Tiara masuk ke dalam ruangan. Disusul oleh Adit.
***
Adit memutarbalikkan
handphonenya. Ia menekan keypadnya sehingga layar handphonenya membentuk
serangkaian kalimat. Ia terdiam. Lalu
menekan tombol delete dengan keras. Ia membuang handphonenya ke atas kasur. Ia
membenci dirinya yang pengecut. Di kontak handphonennya sudah tertera nama
Tiara. Di kontak whassapp-nya sudah tampak foto Tiara dengan senyuman manisnya.
Senyuman termanis yang pernah Adit lihat.
Entah sejak kapan
Adit menaruh perhatian lebih pada gadis yang duduk 5 meja di depannya di
kantornya ini. Entah sejak kapan Adit suka memperhatikan gerak-gerik gadis
berjilbab ini. Walaupun berbeda divisi, Adit jadi mengetahui kapan Tiara akan
masuk ke ruangan 2 untuk melakukan meeting dengan tim kerjanya. Kapan Tiara harus
menjadi instruktur untuk para operator. Dari semua hal yang Adit perhatikan
dari seorang Tiara, Adit paling suka saat melihat Tiara tersenyum. Walaupun
senyuman itu tidak ditujukan untuknya, Adit selalu merasa nyaman melihat
senyuman Tiara yang menurutnya sangat menentramkan.
Tapi Adit tidak
pernah memiliki nyali untuk mendekati gadis berkacamata itu. Berkenalan secara
personal saja belum pernah apalagi mencoba mendekatinya. Ya, walaupun mereka
seruangan, tapi mereka tidak pernah berkenalan secara personal. Berjabat tangan
sambil menyebutkan nama masing-masing. Tidak pernah. Mereka tidak pernah
berkenalan seperti itu. Mereka hanya sekadar tahu nama dan divisi
masing-masing. Tidak kurang dan tidak lebih.
Karena itulah Adit
hanya berani bercerita tentang perasaannya kepada Ana, teman satu SMA-nya yang
juga teman satu tim dari Tiara. Ia hanya ingin bercerita tentang rasa sukanya
kepada Tiara. Ia tidak sanggup jika harus menampung sendiri rasa sukanya yang
semakin lama semakin dalam. Dari Ana juga ia banyak mengetahui tentang Tiara.
Ia tahu Tiara berasal dari Bandung. Ia tahu Tiara suka makanan pedas. Ia tahu
Tiara anak ketiga dari 5 bersaudara. Ia tahu walaupun dari luar Tiara tampak
pendiam tapi jika mengenal lebih dekat Tiara adalah anak yang cukup banyak
bicara. Semua hal yang membuat Adit semakin penasaran dan makin suka dengan
Tiara.
Tapi apakah hal
tersebut membuat ia mulai gencar mendekati Tiara? Tidak. Ia belum berani.
Setiap dibujuk Ana untuk segera melakukan pendekatan, ia menjawab ia takut
untuk memulainya. Walaupun Adit sering melihat Tiara tersenyum, tak sekalipun
Tiara pernah tersenyum padanya. Saat berpapasan dengannya, Tiara tak pernah
tersenyum padanya. Seperti cuek saja. Tiara selalu berjalan lalu begitu saja
jika ia melewati meja Adit. Tidak ada tolehan, tidak ada senyuman. Ana sering
kali dengan tegas mengatakan bahwa Tiara bukanlah anak yang jutek. Memang dia
seperti itu apalagi pada orang yang tidak dekat dengannya. Kalau kamu sudah
cukup dekat dengannya maka kamu akan tahu bahwa ia adalan anak yang ramah.
Sudah dibujuk
berpuluh-puluh kali, kata-kata yang keluar dari mulut Adit hanyalah takut. Dan
Adit sangat membenci hal itu dari dirinya.
***
“Ra, inget kan kata
Pak Bambang supaya kamu banyak senyum?” Rima memecahkan keheningan sesaat
setelah Tiara bercerita tentang hal yang selama ini ada di pikirannya.
“Emang aku kurang
senyum apa?”
“Iya, kamu di antara
kita-kita sih emang senyum mulu, ngakak bahkan. Tapi cuma sama orang-orang yang
ada di dekat kamu kan? Gimana sama yang lainnya. Mukamu sering jutek kan?”
cecar Rere.
“Emang cetakan muka
aku kayak gini Re” sanggah Tiara
“Trus kamu pasrah
gitu? Dikatain orang jutek, galak?”
“Aku gak jutek kok” bela
Tiara
“Iya, kami tau. Tapi
kalo kamu kering senyum sama orang-orang yang gak kamu kenal ya kamu pasti
dicap galak. Makanya si Adit jadi sungkan kan pedekate sama kamu.”
“Yah, itu mah dianya
aja yang gak berani. Masa’ gara-gara mukaku yang tampak jutek dia jadi ga mau
deketin sih.”
“Poin itu ada benernya Ra. Tapi kamu harus
open yourself dear.” Rima mengacak-acak rambut teman satu kuliahnya itu. “Kita
gak pernah nyuruh kamu untuk bergerak duluan. Karena memang bukan kamu yang
suka duluan sama si Adit. Atau jangan-jangan kamu suka ya sekarang sama si
Adit? Takut secret admirer-nya kabur?” Rima tersenyum jail.
“Apa sih kamu Ma...”
Tiara membalas senyuman Rima dengan tepukan ringan di pundak temannya itu.
Sambil mengelus-elus
pundaknya, Rima melanjutkan “Kalo menurut aku, di kondisi kamu sekarang ini,
kamu harus banyak-banyak membuka diri ke semua orang. Banyak-banyak senyum. Tell
the world, terutama Adit kalau kamu itu bukan pribadi yang menakutkan untuk
didekati.”
“Basa-basi dikit Ra.
Kalau papasan senyum sambil tanya mau kemana? Atau kalau dia belum pulang tanya
kok belum pulang. Atau apapunlah.” timpal Rere sambil mengunyah keripik tempe
yang ada di meja belajar Tiara.
Tiara terdiam. Ia
ingat pertama kalinya Ana mengatakan padanya bahwa ada seseorang seruangan
dengannya yang menaruh rasa pada dirinya. Dan Ana juga ia mengetahui bahwa
orang itu adalah Adit. Yang dia ketahui mengenai seorang Adit adalah bahwa ia
tergabung dalam divisi General Affair. Itu saja. Karena merasa tidak pernah
didekati, Tiara pun acuh dengan semua hal yang diceritakan Ana padanya.
Bukannya Tiara tidak mau menerima, tapi ya karena si Adit tidak ada pergerakan
apa pun, apa yang bisa dilakukan Tiara? Bagi Tiara, Adit sama saja seperti
Riko, Affan, Teo dan pria lainnya yang ada di ruangan kantornya. Rekan sekerja
dan seruangan. Tidak lebih.
Tapi yang mengganggu
pikiran Tiara sekarang adalah kata Ana bahwa ia memang jarang tersenyum. Muka
Tiara selalu tampak jutek sehingga banyak orang yang tidak mengenal Tiara akan
menganggap bahwa ia gadis yang galak. Awalnya Tiara tidak pernah menggubris
perkataan Ana. Menurutnya, karena ia bukanlah seorang anak yang galak kenapa
harus mempermasalahkan kata orang lain? Tapi kejadian kemarin siang sedikit
menganggu pikiran Tiara. Secara tidak sengaja ketika ia selesai berkenalan
dengan para operator baru, ia sempat mencuri dengar pembicaraan beberapa
operator.
“Ih, Mba Tiara
kayaknya galak ya.” Kata operator A
“Iya serem. Ga ada
senyumnya gitu. Jadi takut gue.” Operator B menimpali temannya
Tiara jadi berpikir,
apakah benar wajahnya sejutek itu hingga operator-operator yang baru sekali
bertemu dengannya ini bisa menilainya seperti itu. Apakah memang ada sesuatu
yang harus diubah dari dirinya? Tiara berpikir panjang. Berubah tidak untuk
Adit. Tapi untuk dirinya.
***
Adit duduk di kursi
kerjanya. Ia tersenyum. Hari ini, pagi ini, baru saja, Tiara tersenyum padanya.
Di hadapannya. Untuknya. Ia tidak bisa melupakan saat ia dan Tiara berpapasan
di depan pintu. Sesaat hawa kikuk menyelimuti mereka berdua. Lalu tiba-tiba,
Tiara memecahkan keheningan.
“Pagi dit.”
Adit terpaku. Tak
percaya bahwa Tiara akan menyapanya terlebih dulu.
“Ah... makasi.
Ah, pagi juga maksudnya.” Balas Adit terbata-bata.
“Duluan ya.” Tiara
menempelkan id cardnya ke detektor magnet di depan pintu. Pintu terbuka. Tiara
hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangannya saat Adit memanggilnya.
“Ra..” Tiara
menoleh. Adit menelan ludah. “Udah sembuh kamu?”
“Udah enakan kok
badannya.”
“Oh... “ Adit
menempatkan dirinya di samping Tiara. Menempelkan id cardnya ke detektor. Pintu
terbuka kembali dan Adit mempersilakan Tiara berjalan duluan dengan isyarat
tangannya.
“Kamu gak ke dokter
aja Ra? Mukamu masih pucat.”
“Maunya ntar aja
pulang dari kantor.”
Adit terdiam. Tiara
terdiam. Mereka berdua terdiam sampai meja Tiara.
Tiara meletakkan tasnya. Adit berdiri di samping meja kerja Tiara. Seakan
hendak mengatakan sesuatu. Tiara menoleh padanya.
“ Ada yang mau
disampaikan lagi?”
“Ah... enggak” ucap
Adit kikuk. “Aku ke mejaku ya Ra.”
Tiara mengangguk.
Adit berjalan perlahan. Tiba-tiba ia membalikkan badannya lagi. Berjalan lurus
ke meja Tiara.
“Ra, ntar sore kamu
ke dokter diantar siapa? Aku aja yang antar boleh?”
Tiara menatap pria
di depannya ini. Ia tersenyum membuat Adi terpana.
“Boleh Dit. Makasi
banyak ya.”
Tiara tersenyum.
Adit tersenyum. Adit bersumpah bahwa pagi ini adalah pagi terindah untuk
dirinya.
***
p.s: Cerita ini untuk teman saya karena saya terinspirasi dengan ceritanya. Cerita teman saya itu belum happy ending. Masih dalam proses. Semoga prosesnya berjalan dengan baik dan berakhir bahagia juga :D
No comments:
Post a Comment