Pages

Cerpen: Adit dan Tiara

Sunday, February 3, 2013


Adit meletakkan helmya di atas motornya. Ia sedikit menggerutu karena sebuah mobil entah dikendarai siapa menyipratkan kubangan lumpur ke motornya. Sepatu hitamnya pun menjadi korban. Ia berjalan menuju ruangannya. Saat ini baru jam 7 lewat 10 menit. Wajar jika kantor masih sepi karen waktu resmi masuk kantor adalah jam 8. 10 meter di depannya Adit melihat sosok wanita yang juga berjalan menuju kantor.

Seperti biasa Tiara turun dari mobil Ana. Pagi ini Ana harus ke lapangan sehingga ia tidak turun. Tiara sedikit malas dengan jadwalnya hari ini. Ia harus mengajari para operator. Ia malas sebenarnya jika harus mengurus 40 anak SMA itu. Mereka suka jahil. Suka bertanya yang aneh-aneh. Tapi itulah kerja. Tiara melihat sosok pria yang juga berjalan menuju kantor sepagi ini.

Tiara dan Adit berpapasan di depan pintu kantor. Adit melihat Tiara. Tiara menatap Adit. Tiara mengulurkan id cardnya ke depan detektor magnet untuk membuka pintu ruangan. Ruangan terbuka. Tiara masuk ke dalam ruangan. Disusul oleh Adit.

***
Adit memutarbalikkan handphonenya. Ia menekan keypadnya sehingga layar handphonenya membentuk serangkaian kalimat. Ia terdiam.  Lalu menekan tombol delete dengan keras. Ia membuang handphonenya ke atas kasur. Ia membenci dirinya yang pengecut. Di kontak handphonennya sudah tertera nama Tiara. Di kontak whassapp-nya sudah tampak foto Tiara dengan senyuman manisnya. Senyuman termanis yang pernah Adit lihat.

Entah sejak kapan Adit menaruh perhatian lebih pada gadis yang duduk 5 meja di depannya di kantornya ini. Entah sejak kapan Adit suka memperhatikan gerak-gerik gadis berjilbab ini. Walaupun berbeda divisi, Adit jadi mengetahui kapan Tiara akan masuk ke ruangan 2 untuk melakukan meeting dengan tim kerjanya. Kapan Tiara harus menjadi instruktur untuk para operator. Dari semua hal yang Adit perhatikan dari seorang Tiara, Adit paling suka saat melihat Tiara tersenyum. Walaupun senyuman itu tidak ditujukan untuknya, Adit selalu merasa nyaman melihat senyuman Tiara yang menurutnya sangat menentramkan.

Tapi Adit tidak pernah memiliki nyali untuk mendekati gadis berkacamata itu. Berkenalan secara personal saja belum pernah apalagi mencoba mendekatinya. Ya, walaupun mereka seruangan, tapi mereka tidak pernah berkenalan secara personal. Berjabat tangan sambil menyebutkan nama masing-masing. Tidak pernah. Mereka tidak pernah berkenalan seperti itu. Mereka hanya sekadar tahu nama dan divisi masing-masing. Tidak kurang dan tidak lebih.

Karena itulah Adit hanya berani bercerita tentang perasaannya kepada Ana, teman satu SMA-nya yang juga teman satu tim dari Tiara. Ia hanya ingin bercerita tentang rasa sukanya kepada Tiara. Ia tidak sanggup jika harus menampung sendiri rasa sukanya yang semakin lama semakin dalam. Dari Ana juga ia banyak mengetahui tentang Tiara. Ia tahu Tiara berasal dari Bandung. Ia tahu Tiara suka makanan pedas. Ia tahu Tiara anak ketiga dari 5 bersaudara. Ia tahu walaupun dari luar Tiara tampak pendiam tapi jika mengenal lebih dekat Tiara adalah anak yang cukup banyak bicara. Semua hal yang membuat Adit semakin penasaran dan makin suka dengan Tiara.
Tapi apakah hal tersebut membuat ia mulai gencar mendekati Tiara? Tidak. Ia belum berani. Setiap dibujuk Ana untuk segera melakukan pendekatan, ia menjawab ia takut untuk memulainya. Walaupun Adit sering melihat Tiara tersenyum, tak sekalipun Tiara pernah tersenyum padanya. Saat berpapasan dengannya, Tiara tak pernah tersenyum padanya. Seperti cuek saja. Tiara selalu berjalan lalu begitu saja jika ia melewati meja Adit. Tidak ada tolehan, tidak ada senyuman. Ana sering kali dengan tegas mengatakan bahwa Tiara bukanlah anak yang jutek. Memang dia seperti itu apalagi pada orang yang tidak dekat dengannya. Kalau kamu sudah cukup dekat dengannya maka kamu akan tahu bahwa ia adalan anak yang ramah.

Sudah dibujuk berpuluh-puluh kali, kata-kata yang keluar dari mulut Adit hanyalah takut. Dan Adit sangat membenci hal itu dari dirinya.

***

“Ra, inget kan kata Pak Bambang supaya kamu banyak senyum?” Rima memecahkan keheningan sesaat setelah Tiara bercerita tentang hal yang selama ini ada di pikirannya.
“Emang aku kurang senyum apa?”
“Iya, kamu di antara kita-kita sih emang senyum mulu, ngakak bahkan. Tapi cuma sama orang-orang yang ada di dekat kamu kan? Gimana sama yang lainnya. Mukamu sering jutek kan?” cecar Rere.
“Emang cetakan muka aku kayak gini Re” sanggah Tiara
“Trus kamu pasrah gitu? Dikatain orang jutek, galak?”
“Aku gak jutek kok” bela Tiara
“Iya, kami tau. Tapi kalo kamu kering senyum sama orang-orang yang gak kamu kenal ya kamu pasti dicap galak. Makanya si Adit jadi sungkan kan pedekate sama kamu.”
“Yah, itu mah dianya aja yang gak berani. Masa’ gara-gara mukaku yang tampak jutek dia jadi ga mau deketin sih.”
 “Poin itu ada benernya Ra. Tapi kamu harus open yourself dear.” Rima mengacak-acak rambut teman satu kuliahnya itu. “Kita gak pernah nyuruh kamu untuk bergerak duluan. Karena memang bukan kamu yang suka duluan sama si Adit. Atau jangan-jangan kamu suka ya sekarang sama si Adit? Takut secret admirer-nya kabur?” Rima tersenyum jail.
“Apa sih kamu Ma...” Tiara membalas senyuman Rima dengan tepukan ringan di pundak temannya itu.
Sambil mengelus-elus pundaknya, Rima melanjutkan “Kalo menurut aku, di kondisi kamu sekarang ini, kamu harus banyak-banyak membuka diri ke semua orang. Banyak-banyak senyum. Tell the world, terutama Adit kalau kamu itu bukan pribadi yang menakutkan untuk didekati.”
“Basa-basi dikit Ra. Kalau papasan senyum sambil tanya mau kemana? Atau kalau dia belum pulang tanya kok belum pulang. Atau apapunlah.” timpal Rere sambil mengunyah keripik tempe yang ada di meja belajar Tiara.

Tiara terdiam. Ia ingat pertama kalinya Ana mengatakan padanya bahwa ada seseorang seruangan dengannya yang menaruh rasa pada dirinya. Dan Ana juga ia mengetahui bahwa orang itu adalah Adit. Yang dia ketahui mengenai seorang Adit adalah bahwa ia tergabung dalam divisi General Affair. Itu saja. Karena merasa tidak pernah didekati, Tiara pun acuh dengan semua hal yang diceritakan Ana padanya. Bukannya Tiara tidak mau menerima, tapi ya karena si Adit tidak ada pergerakan apa pun, apa yang bisa dilakukan Tiara? Bagi Tiara, Adit sama saja seperti Riko, Affan, Teo dan pria lainnya yang ada di ruangan kantornya. Rekan sekerja dan seruangan. Tidak lebih.

Tapi yang mengganggu pikiran Tiara sekarang adalah kata Ana bahwa ia memang jarang tersenyum. Muka Tiara selalu tampak jutek sehingga banyak orang yang tidak mengenal Tiara akan menganggap bahwa ia gadis yang galak. Awalnya Tiara tidak pernah menggubris perkataan Ana. Menurutnya, karena ia bukanlah seorang anak yang galak kenapa harus mempermasalahkan kata orang lain? Tapi kejadian kemarin siang sedikit menganggu pikiran Tiara. Secara tidak sengaja ketika ia selesai berkenalan dengan para operator baru, ia sempat mencuri dengar pembicaraan beberapa operator.
“Ih, Mba Tiara kayaknya galak ya.” Kata operator A
“Iya serem. Ga ada senyumnya gitu. Jadi takut gue.” Operator B menimpali temannya
Tiara jadi berpikir, apakah benar wajahnya sejutek itu hingga operator-operator yang baru sekali bertemu dengannya ini bisa menilainya seperti itu. Apakah memang ada sesuatu yang harus diubah dari dirinya? Tiara berpikir panjang. Berubah tidak untuk Adit. Tapi untuk dirinya.

***

Adit duduk di kursi kerjanya. Ia tersenyum. Hari ini, pagi ini, baru saja, Tiara tersenyum padanya. Di hadapannya. Untuknya. Ia tidak bisa melupakan saat ia dan Tiara berpapasan di depan pintu. Sesaat hawa kikuk menyelimuti mereka berdua. Lalu tiba-tiba, Tiara memecahkan keheningan.
“Pagi dit.”
Adit terpaku. Tak percaya bahwa Tiara akan menyapanya terlebih dulu.
“Ah... makasi. Ah, pagi juga maksudnya.” Balas Adit terbata-bata.
“Duluan ya.” Tiara menempelkan id cardnya ke detektor magnet di depan pintu. Pintu terbuka. Tiara hendak melangkahkan kakinya masuk ke dalam ruangannya saat Adit memanggilnya.
“Ra..” Tiara menoleh. Adit menelan ludah. “Udah sembuh kamu?”
“Udah enakan kok badannya.”
“Oh... “ Adit menempatkan dirinya di samping Tiara. Menempelkan id cardnya ke detektor. Pintu terbuka kembali dan Adit mempersilakan Tiara berjalan duluan dengan isyarat tangannya.
“Kamu gak ke dokter aja Ra? Mukamu masih pucat.”
“Maunya ntar aja pulang dari kantor.”
Adit terdiam. Tiara terdiam. Mereka berdua terdiam sampai meja Tiara. Tiara meletakkan tasnya. Adit berdiri di samping meja kerja Tiara. Seakan hendak mengatakan sesuatu. Tiara menoleh padanya.
“ Ada yang mau disampaikan lagi?”
“Ah... enggak” ucap Adit kikuk. “Aku ke mejaku ya Ra.”
Tiara mengangguk. Adit berjalan perlahan. Tiba-tiba ia membalikkan badannya lagi. Berjalan lurus ke meja Tiara.
“Ra, ntar sore kamu ke dokter diantar siapa? Aku aja yang antar boleh?”
Tiara menatap pria di depannya ini. Ia tersenyum membuat Adi terpana.
“Boleh Dit. Makasi banyak ya.”
Tiara tersenyum. Adit tersenyum. Adit bersumpah bahwa pagi ini adalah pagi terindah untuk dirinya.



***

p.s: Cerita ini untuk teman saya karena saya terinspirasi dengan ceritanya. Cerita teman saya itu belum happy ending. Masih dalam proses. Semoga prosesnya berjalan dengan baik dan berakhir bahagia juga :D

No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS