Ini yang aku takutkan selama ini.
Kata-kata ini. Kalimat ini. Selama 3 tahun aku mencoba untuk tidak memikirkan
kalimat ini. 3 tahun aku berusaha keras berpikir bahwa semuanya akan baik-baik
saja. 3 tahun aku beranggapan bahwa tidak akan ada yang berubah dengan
kehidupanku dan keluargaku. Semuanya sama saja. Semua itu sirna ketika ibu
berkata padaku bahwa ia ingin menikah lagi. Ia membutuhkan seseorang untuk
bersandar. Ia sadar anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Suatu saat nanti mereka
akan menikah, meninggalkan dirinya. Ia membutuhkan teman untuk menghabiskan
sisa hidupnya. Aku hanya menatap tajam ke arah matanya ketika ia berbicara
semua itu. Tidak berkata apa-apa, aku bangkit dari tempatku duduk. Aku
meninggalkan ibu tanpa ada satu patah katapun keluar dari mulutku. Ibu
memanggilku lemah. Aku tak menghiraukannya. Aku berjalan menuju kamarku. Ibu
tahu jawabanku. Aku tidak mau ada orang yang menggantikan sosok ayahku.
***
Masih terbayang dengan jelas
pemakaman ayah. Ibu pingsan 2 kali saat itu. Sebagai anak tertua aku harus
tegar. Menegarkan kedua adikku yang masih SMP dan juga ibu. Mataku sembab tapi
tidak ada air mata yang keluar. Aku menyalami semua orang yang datang untuk
berbelasungkawa. Ibu hanya duduk bersimpuh di samping makam ayah. Menangis.
Tidak sanggup berdiri. Kedua adikku di sampingnya. Mereka menangis. Sedangkan
aku berdiri di samping mereka bertiga. Berdiri tegak dengan pandangan hampa.
Aku harus membujuk ibu agar ia mau meninggalkan makam ayah. Ibu merengek,
berkata, tidak mau meninggalkan ayah sendirian, kasihan ayah jika ditinggal di
luar rumah sendiri, kedinginan. Mendengar itu semua, air mata seakan ingin
tumpah dari mataku. Aku menahannya. Aku tidak boleh menangis di saat seperti
ini. Akhirnya setelah satu jam membujuk ibu, aku bisa membawa ibu dan kedua
adikku pergi dari makam ayah.
Begitulah peranku di keluarga
kecil yang telah kehilangan sosok tulang punggung keluarga ini. Aku yang harus
tampak tegar, tabah, kuat di hadapan semua orang. Aku tidak pernah menangis di
depan ibuku. Aku tidak mau membuat ibuku yang sudah lemah semakin sedih jika
melihatku menangis. Akulah yang menceriakan suasana keluarga di bulan-bulan
awal kepergian ayahku. Semua orang harus melihatku ceria. Mereka tidak boleh
tahu jika setiap malam aku selalu menangis di atas tempat tidurku.
Sama seperti malam ini. Tanpa
memberi komentar apapun kepada ibu, aku pergi ke kamar. Mengunci pintunya dan
meringkuk di atas tempat tidur. Air mata menumpahi boneka Teddy Bear pemberian
ayahku.
***