Pages

Cerpen: Ayah Baru

Tuesday, March 19, 2013


Ini yang aku takutkan selama ini. Kata-kata ini. Kalimat ini. Selama 3 tahun aku mencoba untuk tidak memikirkan kalimat ini. 3 tahun aku berusaha keras berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja. 3 tahun aku beranggapan bahwa tidak akan ada yang berubah dengan kehidupanku dan keluargaku. Semuanya sama saja. Semua itu sirna ketika ibu berkata padaku bahwa ia ingin menikah lagi. Ia membutuhkan seseorang untuk bersandar. Ia sadar anak-anaknya sudah tumbuh dewasa. Suatu saat nanti mereka akan menikah, meninggalkan dirinya. Ia membutuhkan teman untuk menghabiskan sisa hidupnya. Aku hanya menatap tajam ke arah matanya ketika ia berbicara semua itu. Tidak berkata apa-apa, aku bangkit dari tempatku duduk. Aku meninggalkan ibu tanpa ada satu patah katapun keluar dari mulutku. Ibu memanggilku lemah. Aku tak menghiraukannya. Aku berjalan menuju kamarku. Ibu tahu jawabanku. Aku tidak mau ada orang yang menggantikan sosok ayahku.

***

Masih terbayang dengan jelas pemakaman ayah. Ibu pingsan 2 kali saat itu. Sebagai anak tertua aku harus tegar. Menegarkan kedua adikku yang masih SMP dan juga ibu. Mataku sembab tapi tidak ada air mata yang keluar. Aku menyalami semua orang yang datang untuk berbelasungkawa. Ibu hanya duduk bersimpuh di samping makam ayah. Menangis. Tidak sanggup berdiri. Kedua adikku di sampingnya. Mereka menangis. Sedangkan aku berdiri di samping mereka bertiga. Berdiri tegak dengan pandangan hampa. Aku harus membujuk ibu agar ia mau meninggalkan makam ayah. Ibu merengek, berkata, tidak mau meninggalkan ayah sendirian, kasihan ayah jika ditinggal di luar rumah sendiri, kedinginan. Mendengar itu semua, air mata seakan ingin tumpah dari mataku. Aku menahannya. Aku tidak boleh menangis di saat seperti ini. Akhirnya setelah satu jam membujuk ibu, aku bisa membawa ibu dan kedua adikku pergi dari makam ayah.

Begitulah peranku di keluarga kecil yang telah kehilangan sosok tulang punggung keluarga ini. Aku yang harus tampak tegar, tabah, kuat di hadapan semua orang. Aku tidak pernah menangis di depan ibuku. Aku tidak mau membuat ibuku yang sudah lemah semakin sedih jika melihatku menangis. Akulah yang menceriakan suasana keluarga di bulan-bulan awal kepergian ayahku. Semua orang harus melihatku ceria. Mereka tidak boleh tahu jika setiap malam aku selalu menangis di atas tempat tidurku.

Sama seperti malam ini. Tanpa memberi komentar apapun kepada ibu, aku pergi ke kamar. Mengunci pintunya dan meringkuk di atas tempat tidur. Air mata menumpahi boneka Teddy Bear pemberian ayahku.

***

"Anak ayah pasti bisa."
"Tapi sainganku banyak Yah."
"Terus?"
"Iya Yah, coba bayangin dari 5000 orang yang diterima cuma 150 orang. Gak gila apa itu Yah?"
"Enggak kok."
"Aku takut Yah. Takut gak bisa."
"Dira, kalau kamu takut terus, kapan kamu bisa maju? Kamu sudah memutuskan kalau kamu mau masuk jurusan ini. Ya udah, kamu harus jalani keputusanmu dengan sungguh-sungguh. Jangan takut. Anak Ayah bukan pengecut kan?"
"Enggak."
"That's it. Makanya maju terus. Pantang mundur. Okay?"

Nungkin itu adalah nasihat terakhir yang aku terima dari ayahku. Penyemangat di kala aku sedang berada di zona tidak nyamanku. Atas segala nasihat dan semangat yang diberikan ayahku aku berhasi masuk ke universitas dan jurusan idamanku. 3 bulan setelah aku diterima, ayahku meninggal.

Dibandingkan ibuku, aku jauh lebih mudah bercerita tentang apa saja ke ayahku. Dari pelajaran, masalah cowok sampai tentang berita politik. Aku lebih terbuka kepada ayahku. Dengan ibu, pembicaraanku sebatas kehidupan sehari-hari. Tentang uang saku, tentang pakaian yang belum dicuci, tentang makanan. Ayahkulah yang selalu menjadi penyemangat ketika aku sedang jatuh. Beliau selalu berhasil membuatku kembali bangkit dengan segala kata-katanya. Itulah yang membuatku sangat terpuruk ketika sosok yang selalu menjadi tempatku berkeluh kesah direnggut dari dunia ini. Seketika aku merasa sendiri. Tidak ada tempat untukku berlindung.

***

Aku menyerah. Aku mengikuti keinginan ibuku. Aku sudah kehabisan alasan untuk menolak ajakan ibuku. Makan malam keluarga bersama pria yang sedang dekat dengan ibuku. Aku tidak mau mengatakan 'calon suami'. Aku tidak setuju. Sebelum-sebelumnya, ibu sering kali mengajakku dan kedua adikku untuk keluar bersama pria itu. Kedua adikku selalu menurut. Sedangkan aku tidak pernah mengatakan 'iya' untuk ajakan itu. Aku berusaha mencari alasan untuk menghindar, mau belajar karena ujian, ada ulang tahun teman, sedang sakit dan seribu macam alasan lainnya. Kali ini aku sudah kehabisan alasan. Dan sekarang aku sudah berada di taksi dalam perjalanan menuju restoran.

Pria itu sudah menunggu kami di restoran hotel bintang lima. Ia sendirian. Menggunakan jas hitam. Kami berempat dipersilakan duduk. Ibu duduk di sampingnya. Aku duduk tepat di hadapan pria itu. Aku memasang muka tak bersahabat. Pria itu bertanya kabar kami semua. Tentang sekolah, tentang kegiatan kami. Kedua adikku menjawab dengan semangat. Berbeda denganku, mereka sangat menyambut baik keinginan ibuku untuk menikah lagi. Aku hanya makan dan terdiam. Pria itu tiba-tiba bertanya padaku.

"Kuliah gimana Dira?"
Aku menatapnya. "Biasa saja"
"Kalau dengar dari cerita ibumu, kamu suka ikut kegiatan kampus ya?"
Aku mengangguk enggan.
"Bagus itu Ra, biar kamu punya teman. Penting banget lho, punya koneksi yang luas."
Nasihat basa-basi pikirku.
"Kamu ikut ekstra apa?"
"Jurnalistik."
"Kamu suka nulis? Suka buat cerpen?"
"Iya."
"Udah pernah nyoba kirim ke majalah?"
"Belum"
"Kok enggak dicoba aja Ra? Biar tulisan kamu dibaca banyak orang"
"Enggak aja."
Pria itu dan ibuku bertatapan. Ibuku mengangkat pundaknya.
"Ooohh... Dicoba aja ya Ra."
Pria itu mengambil sendok dari piringnya. Menghentikan obrolannya denganku. Ia menyerah dengan jawaban dinginku.

Aku melihat pria itu. Sebenarnya untuk pria berusia hampir setengah abad, pria itu masih terlihat bugar. Perutnya tidak buncit. Wajahnya bersih. Tidak ada kumis ataupun jenggot. Pria itu seringkali menatap ibuku. Ibukupun berbalik menatapnya sambil tersenyum. Pria itu balik tersenyum. Ketika secara tidak sengaja ibu menjatuhkan makanannya di atas bajunya, pria itu segera mengulurkan tissue padanya. Ibu mengucapkan terimakasih sambil tersenyum. Sesaat mereka berbincang-bincang. Entah apa yang dibicarakan, tapi ibu tampak bahagia. Beberapa kali ia terlihat tersenyum. Pria itu meletakkan ayam potong di atas piring ibu. Ibu tersenyum. Aku terdiam. Entah berapa kali aku melihat ibuku tersenyum malam ini. Suatu hal yang jarang aku lihat dari ibuku. Malam ini aku melihat ibuku tampak sangat bahagia duduk di samping pria itu. Aku menatap mereka berdua lekat-lekat.

***

Aku melihat wajah ibu. Beliau masih sangat tampak muda di usianya yang sudah 45 tahun. Aku tersenyum padanya. Ia memiringkan kepalanya.
"Bu, maaf kalau selama ini Dira bikin Ibu sedih."
Ibu mengerutkan keningnya, tidak mengerti.
"Om Darwin baik kok. Dira seneng soalnya Ibu mempunyai seseorang lagi."
Paham tujuan pembicaraanku, ibu menatapku lekat-lekat, tidak berusaha memotong pembicaraanku.
"Kalau Ibu merasa Om Darwin orang yang pantas untuk ibu, orang yang bisa bikin ibu bahagia, Dira setuju kok sama pilihan ibu."
Ibu menggenggam tanganku. Air matanya hendak jatuh. Aku mengusap air matanya.
"Tapi Dira butuh waktu ya Bu untuk semua ini."
Ibu memeluk badanku.

***

No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS