Pages

Cerpen: Bangku Kosong

Sunday, May 11, 2014


“Tiiit…..” suara klakson mobil terdengar dari luar rumah. Aku segera menghambur ke luar rumah, berseru dari teras rumah pada si empunya mobil.
“Tunggu bentar Kar! Aku ngabisin roti dulu.”
Karra, si empunya mobil, menurunkan kaca mobilnya dan mengacungkan jempolnya.
Aku berlari ke dalam rumah lagi.
“Mau nyapu kamu di sekolah Rin? Masih jam 6 kurang udah buru-buru, tumben.” Tanya ibu di meja makan.
“Yah ibu, berangakt pagi ditanyain, berangkat siang diomelin. Ya udah  si, syukurin aja Irin berangkat pagi ke sekolah.” Jawabku asal
“Iya, tapi ya gak usah toh sampe ribut-ribut gitu. Kayak mau pergi ke mana aja. Kamu mau nyontek peer tah?” Tanya ibu lagi.
“Mau ngambil kursi Bu.” Jawabku cepat, malas ditanya lagi.
“Ngambil kursi? Dari mana? Mau kamu bawa ke mana? Emang buat apa toh? Kelas  kamu gak ada kursinya?”
Ah, si Ibu. Satu dijawab, lima ditanya lagi. Memang sudah kebiasaan Ibuku  untuk selalu mengecek tingkah laku anak-anaknya yang menurut dia aneh. Dan menurut Ibu, tingkahku pagi ini aneh. Bangun jam 5 pagi, langsung mandi, sholat dan siap-siap buat ke sekolah. Padahal bel di sekolah baru berdering jam 7 lewat 15 menit. Biasanya aku berangkat ke sekolah jam 7. Makanya kejadian pagi ini membuat Ibu merasa wajib untuk menginterogasiku.

“Bukan, maksudnya mau nyari tempat duduk yang enak di kelas. Sekarang ‘kan baru naik kelas ni, jadi kelasnya baru. Mau nyari tempat duduk yang enak biar bisa jelas dengerin gurunya.” Jelasku sambil mengunyah potongan terakhir rotiku.
“Oh… bagus kalo gitu. Cari tempat yang paling depan ya biar suara guru kedengaran jelas.”
“Okeh bu…” Aku mengambil tasku dengan cepat, mengikat tali sepatu dan segera mencium tangan ibu.
“Assalamu’alaikum Bu.”
“Wa’alaikumsalam. Hati-hati ya Rin.”
Aku berjalan tergesa-gesa ke luar rumah, masuk ke dalam mobil Karra.

***

“Lo si lama banget tadi, sekarang udah jam setengah tujuh kan jadinya.” Omel Karra tepat ketika ia memarkirkan mobilnya di sekolah
“Ibu aku nanya macem-macem, jadi mesti ngejawab jujur, males ngebohong. Ntar malah ditanya terus.” Sahutku sambil menutup pintu mobil.
Karra tak menggubris jawabanku. “Ayo cepet, ntar  lo keduluan lagi.” Ia meraih tanganku dan berjalan meyusuri lorong sekolah.
Sekolah saat itu masih sangat sepi. Hanya Mang Udin yang terlihat menyapu lapangan upacara.
“Belon ada siapa-siapa ah Kar. Nyante dikit kenapa.”
“Mang Udin udah ada tuh.”
“Yah, kalo Mang Udin sih emang tinggal sekolah. Kita berangkat jam 1 malem juga bakal ketemu dia. Pelan-pelan Kar.”
“Lo mau dapet kursi bagus gak sih? Cerewet banget. Udah untung gue mau nemenin lo nyari tempat.”
Aku mendesah, mencoba mensejajarkan langkahku dengan langkah Karra yang tergesa-gesa, tidak berusaha berdebat dengannya.

XI IPA 2

Aku dan Karra masuk ke kelas XI IPA 2. Tidak ada orang. Karra tersenyum puas. “Tuh kan bener kata gue. Kita mesti datang pagi buat dapet tempat duduk yang asyik.”
Karra meletakkan tasnya di bangkunya. Bangku ketiga dari depan dekat dinding kelas.
“Ngapain lo Rin masih di depan? Sini, lo duduk di samping gue.” Ucap Karra seraya menunjuk bangku kosong di samping kirinya.
“Gak apa-apa Kar? Kemarin si Carol yang duduk di sana. Aku gak enak.”
“Lah, kok sekarang lo malah jadi takut gini, Kemaren siapa yang bilang ke gue kalo dia mau ngambil kursinya Carol? Lo kan?”
“Iya, tapi…”
“Emang lo mau duduk di depan kayak kemarin? Di depan itu gak enak Rin. Lo gak bebas ngerumpi, lo gak bebas nyontek. Lo tahu sendiri kan gimana rasanya?”
“Iya Ra.”
“Ya udah. Duduk samping gue Rin. Masalah Carol, lo biasa aja ke dia. Ini masih hari kedua tahun ajaran baru, jelas masih pada rebut-rebutan kursi. Kemaren aja gue denger si Rere mau ngambil kursinya Ane yang di pojok belakang.” Karra mengangkat telunjuk kanannya ke arah bangku di pojok kanan belakang kelas.
“Lah, kan bangkunya dia kemaren udah lumayan enak tuh. Ketiga dari depan” Aku mengarahkan pandanganku ke bangku yang berhimpitan dengan dinding kanan kelas. Bangku itu sejajar dengan bangku yang diduduki Karra sekarang.
“Ah, kalo Rere mah pingin supaya deket sama Aldo aja. Si Aldo di belakang soalnya.”
Aku mendesah pelan sambil duduk di atas meja Karra meghadap bangku kosong yang kemarin sudah diduduki Carol. Entah kenapa aku sangat treobsesi dengan bangku itu. Di kelas 1 dulu, aku duduk di bangku yang letaknya sama persis dengan bangku yang ada di hadapanku sekarang. Namun, waktu kelas 1, Karra tidak duduk di samping kananku, melainkan di depanku. Mungkin karena letak bangku yang berdekatan, kami berdua menjadi sahabat dekat. Dan ketika kami naik kelas dan diberitahukan bahwa kami berada di kelas yang sama, kami langsung berencana untuk mengambil posisi bangku yang sama dengan bangku ketika kami kelas 1. Bedanya, kali ini Karra mengambil posisi di sampingku, bukan di depan. Untuk memenuhi keinginan kami, kami pun bertekad untuk datang pagi pada hari pertama dimulainya sekolah. Kami saling berjanji untuk bertemu di sekolah jam 6 pagi. Sialnya, di hari itu aku malah bangun kesiangan. Ketika aku bangun, jam sudah menunjukkan pukul setengah 7 pagi. Dengan persiapan yang terburu-buru aku berhasil sampai ke sekolah pukul 7 pagi, dan bisa ditebak pada jam segitu di hari pertama sekolah, kelasku sudah ramai. Dan seperti yang bisa kutebak juga, tempat duduk yang sudah kuincar sejak lama sudah diduduki anak lain. Carol. Karra yang duduk di sampingnya cemberut kepadaku. Setelah melihat ke sekelliling kelas, bangku yang tersisa hanya bangku di baris depan. Aku pun meletakkan tasku di bangku nomor dua dari pintu,  sebaris dengan bangku Carol. Hatiku semakin kesal ketika mengetahui bahwa yang duduk di sebelah kananku adalah Adi dan yang duduk di sebelah kiriku adalah Darma. Mereka adalah 2 murid yang tergolong sering mengikuti berbagai perlombaan ilmiah mewakili sekolahku. Selain kepintarannya, mereka terkenal akan pendiriannya yang teguh untuk berlaku jujur di setiap ulangan. Tidak menyontek ataupun tidak memberikan contekan. Dan yang kutahu, setiap mereka berdua berbicara mereka pasti membicarakan hal-hal seputar pelajaran atau sesuatu yang berbau ilmiah dan pasti akan berakhir dengan perdebatan di antara mereka berdua karena ada ketidaksamaan pendapat mengenai suatu teori. Dan aku tidak bisa membayangkan berada di tengah kedua orang itu. Ingin sekali rasanya aku mengambil tempat duduk yang ada di hadapanku ini. Tapi entah kenapa aku merasa tidak tega terhadap Carol. Aku merasa telah berbuat curang padanya.
“Kenapa lo jadi bimbang gini?” Karra tampaknya menangkap raut kebimbangan dari mukaku. “Udah, nyante aja. Kan prinsipnya, siapa yang cepat dia yang dapat.” Karra mengedipkan matanya padaku. “Cepetan duduk. Ntar keburu Carol datang.”
Aku berdiri. Menatap bangku di hadapanku, sekilas mengalihkan pandanganku ke bangku depan. Aku menggeleng dan segera meletakkan tasku di bangku Carol. Aku menoleh pada Karra. Ia menyunggingkan senyuman. Aku pun tersenyum padanya.

Aku dan Karra hanya mengobrol ringan selama menunggu jam pelajaran dimulai. Pukul 7 pagi anak-anak sudah mulai berdatangan. Aku mulai gelisah, pandanganku selalu tertuju ke arah pintu. Karra tampaknya mengerti kecemasanku. Ia menghentikan pembicaraan, menepuk pundakku dan sibuk membereskan buku-bukunya. Aku sudah mempersiapkan kata-kata perlawanan jika Carol datang dan memarahiku. Sejak semalam aku mempersiapkan diri untuk menghadapi Carol.  Namun,  5 menit sebelum pelajaran dimulai, Carol belum datang juga. Apa hari ini dia tidak sekolah? Aku akan merasa sangat lega jika benar demikian. Paling tidak perang bisa dihindari.

Bel berbunyi dan Carol belum muncul juga. Aku tersenyum lega. Karra berbisik padaku, “Kayaknya dia gak masuk hari ini.”  Aku tersenyum padanya. Ia mengacungkan jempolnya padaku. Tepat setelah itu, sosok Carol masuk ke dalam kelas. Hatiku mencelos. Aku menundukkan kepala sebentar. Aku mempersiapkan diri untuk menerima makian dari Carol. Ketika kuangkat kepalaku, aku melihat Carol masih berdiri di samping pintu kelas, mengarahkan pandangannya ke bangkuku, sedikit memiringkan kepalanya, lalu mengalihkan pandangannya ke penjuru kelas, mencari bangku kosong. Sejenak kemudian, matanya tertuju pada bangku yang kutinggalkan, tersenyum tipis dan meletakkan tasnya di sana.

Aku bingung, tidak tahu harus berbuat apa.

***

Aku berbaring di atas ranjangku. Sudah pukul 8 malam, dan entah kenapa perutku masih belum minta untuk diisi.  Aku hanya mengatakan ‘belum lapar’ pada ibuku ketika beliau mengajakku makan malam.  Sejak pulang sekolah tadi kepalaku masih memikirkan bangku dan Carol. Jujur, aku tidak menyangka kalau Carol tidak memarahiku atau bertanya padaku. Bahkan kami tidak saling bercakap-cakap tadi.  Benar-benar tidak ada. Saling menyapa atau tersenyum pun tidak ada. Sebenarnya aku sendiri yang menyebabkan ketegangan di antara kami berdua. Aku yang tidak mau melihat ke arah Carol. Aku yang selalu menundukkan kepala setiap kali berpapasan dengannya. Aku yang selalu berjalan cepat ketika melihat sosok Carol di depanku. Akulah yang selalu menghindari kontak mata dengan Carol.

Mungkin karena aku merasa malu dan juga bersalah padanya. Terus terang aku sama sekali tidak menyangka reaksi Carol akan seperti itu. Aku mengharapkan reaksi yang lebih dramatis. Aku sudah mempersiapkan perlawanan jika Carol memakiku di kelas. Tapi, tidak. Carol tidak berkata apa-apa.

Aku membenamkan kepalaku di bantal. Bingung harus melakukan apa.

***

Sesuai perintah Karra, aku datang pagi lagi hari ini. Pukul 6 lewat 15 menit aku sudah berada di kelasku. Kali ini Karra tidak menemaniku. Dia harus mengantarkan adik bungsunya ke sekolah. Tapi, pagi-pagi sekali, dia membangunkanku dengan teriakan nyaringnya via handphone.  Berulang kali dia mengingatkanku untuk tetap datang pagi ke sekolah, karena siapatahu si bangku kramat bakal diambil orang, entah oleh Carol atau orang lain.

Masuk kelas, aku tidak langsung duduk di bangku itu. Aku mengelilingi kelas sekali sebelum duduk di kursi guru di depan kelas. Aku menundukkan kepala, berpikir. Mungkin bagi banyak orang persoalan bangku ini merupakan masalah sepele, tapi tidak untukku. Aku menimang-nimang semua kemungkinan yang ada jika aku tetap bersikukuh duduk di bangku kramat itu. Sehari duduk di sana saja efek untukku sudah seperti  itu. Apalagi jika setahun? Perasaan bersalah dan tidak enak akan terus menghantuiku. Tapi, aku juga tidak mau menjadi orang ketiga antara Adi dan Darma.

Cukup lama aku duduk di kursi guru memikirkan langkahku selanjutnya. Anak-anak yang piket hari ini mulai berdatangan. Setelah meletakkan tas di bangkunya masing-masing, mereka mulai membersihkan kelas. Widi menyapu kelas sambil mendengarkan musik dari earphonenya. Ranti mengelap kaca jendela sambil sesekali melirik ke kelas IPA 1 berharap melihat kedatangan Andra.  Danu dan Idam juga menyapu lantai, walaupun tampaknya mereka lebih seperti sedang bertengkar karena saling memainkan sapu ijuknya. Aku menghela nafas panjang, membuat sebuah keputusan. Aku bangkit dari kursi guru, mengambil tasku yang kuletakkan di atas meja, berjalan menuju bangkuku dan duduk di sana sambil menunggu jam pelajaran

Pukul  7 tepat Karra muncul dari balik pintu kelas. Ekspresinya berubah ketika melihatku. Ia segera menghampiriku.  “Ngapain lo Sa?” Karra mencengkram tanganku, hendak menarikku dari kursi. Sebelum aku sempat menjawabnya, sosok Carol tampak di belakang Karra. Ia menghampiriku dan sekali lagi memiringkan kepalanya padaku.
“Lo mau disini Rin?” Carol bertanya padaku.
Aku tersenyum padanya. “Sory, otak aku kemaren rada error. Aku lupa bangkuku di mana. Tapi tadi pagi udah sembuh Rol.”
Carol tersenyum padaku. Ia berjalan melewati Karra yang masih berdiri di sampingku dengan kebingungan. Aku menepuk tangannya. “Udah, sana lo duduk. Ngalangin Idam yang lagi nyapu tuh.” Aku menganggukkan kepalaku ke arah Idam.
Karra menatapku tajam. “Gak bisa gini Rin. Lu bakal setahun di sini. Lu mau…”
“Aku udah pikirin Ra.” Aku memotong omongan Karra. “Aku yakin aku ada di bangku yang tepat.”
Karra mendesah kesal. Ia menyerah. Ia berjalan menuju bangkunya.
Aku mengeluarkan handphoneku, memencet-mencet tombol keypad.
“Sory Ra, aku gak bisa nemenin kamu. Tapi aku pikir bangku di sampingmu itu gak ada harganya dibandingin Carol. Aku ga mau merasa ga enak terus ke Carol. Nyante aja Ra, Carol juga anaknya asik diajak ngobrol kan? Dan siapa tahu gara-gara aku duduk di sini aku bisa jadi kuliah di Harvard. :D”
Send. Karra. Yes.
Aku menoleh ke arah Karra. Ia tengah menatap layar handphonenya. Sekejap kemudian ia menoleh padaku. Aku mengacungkan jempolku. Ia memonyongkan mulutnya padaku, kebiasaannya kalau ia lagi bête.  Aku tersenyum, membalikkan badanku dan mengeluarkan buku Biologi dari tas.

***


No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS