Pages

Cerpen: MISS COBAIN

Sunday, July 6, 2014



Reina melihat sosok wanita di depannya. Alis hitam tebal. Rambut hitamnya lurus terjuntai ke pundak. Kulit sawo matangnya tampak sedikit memerah di daerah pipi. Bibir yang telah dipoles lipstick berwarna merah muda menyunggingkan senyuman terbaik. Tidak jelek. Cantik mungkin bukan kata yang pas, tetapi bisa dipastikan penampilan wanita ini tidak buruk. Reina memicingkan matanya. Mungkin jika wanita ini tidak menggunakan eyeliner hitam dia akan tampak lebih menarik. Rheina menatap lebih dalam. Tidak. Eyeliner hitam adalah andalan utama wanita ini. Bila ia tidak menggunakan eyeliner maka bisa dipatikan hampir semua orang akan bertanya padanya “Tidur jam berapa semalam?” Tidak. Tidak. Eyeliner itu harus tetap ia gunakan. Lalu apa yang salah dengan dirinya?

***

“Seriusan dia mau nikah?”
“Iya. Oktober nanti. Kenapa? Lo tertarik sama Marsha?”
“Ya iyalah sama Marsha. Masa’ sama cowoknya.”
“Sejak kapan lo suka sama Marsha?”
“Masih dalam tahap tertarik si Rein. Gue tertarik buat ngedeketin.”
“Lu udah tahu kan dia punya cowok?”
“Udah sih.”
“Trus?”
“Ya.. namanya juga`tertarik Rein.”
Reina terdiam. Ia membayangkan Marsha. Sosok gadis dengan tinggi sekitar 165 cm. Rambutnya hitam panjang bergelombang. Kulitnya putih. Muka ovalnya dibingkai mata bulat hitam yang sangat atraktif. Tipe ideal pria-pria Indonesia.
“Lo kenal dia kan Rein?”
“Iya, kenal gw.”
“Cowoknya?”
“iya, cowoknya temen gue juga.”
“Gue masih ada kesempatan gak?”
Reina mendesah pelan.
“Elu, Marsha, Doni, kalian semua itu temen gue. Gue gak mau ikutan hal-hal begini ah. Gue gak mau berpihak.”
“Ayolah Rein... Kenalin gw ke Marsha.”
“Trus, setelah gue kenalin? Dia mau nikah To”
“Lah, kan dulu lu sendiri pernah bilang ke gue, walo cewek itu udah punya pacar, lo masih ada kesempatan To.”
“iya, itu buat Ara. Lo juga udah ada cewek magang disini ga mau kenalan cuma karena dia udah punya cowok. Tapi ini Marsha. Gue kenal Marsha, kenal Doni dan menurut gue mereka itu udah pasangan paling cocok sedunia. Lo jangan ganggu-ganggu deh.”
“Ah,bedanya Ara sama Marsha apaan?”
Reina menatap pria didepannya dengan seksama. Rambut acak-acakannya. Mata ‘puppy eyes’-nya.
“Menurut pendapat gue, semua orang berhak untuk suka sama orang. Semua orang berhak untuk ngedeketin siapaun yang dia suka, walaupun dia sudah punya pacar. Karena bagi gue, kalau memang seseorang sudah sayang dan cinta ke satu orang,  siapapun yang mendekatinya tidak akan membuat dia goyah dan meninggalkan pasangannya.”
Pria di hadapannya menatap mata Reina tajam. Reina melanjutkan
“Tapi gue juga berpendapat kalau orang ketiga ini berhasil merebut pacar orang, maka dia harus berhati-hati karena jika yang direbut ini bisa meninggalkan pasangannya demi orang lain, maka dia juga bisa meninggalkan orang ketiga ini demi orang lain di masa yang akan datang.”
Mereka berdua terdiam.
“Jadi, kalo lo mau ngedektin Marsha silakan aja. Gue gak akan melarang. Tapi gue juga gak akan mendukung dan mencoba membantu elu. Kalian semua temen gue.”
Reina berdiri dari kursi kerjanya. Ia berjalan keluar ruangan dan menuju pintu bertuliskan ‘women’.  Reina duduk di salah satu bilik dan air mata mengalir di pipinya.

***

Masih banyak kerjaannya Rein?
Lumayan Den. Grafiknya masih banyak yang harus dibuat.
Udah, pulang gih. Lu masuk angin ntar, kelamaan di depan komputer, di bawah AC, belum makan pula. Lo belum makan kan?
Udah sih tadi makan pop mie Den.
Ih, pop mie doang. Lo kan anaknya demen masuk angin kalo telat makan sedikit. Trus ntar pagi-pagi muntah.
Udah deh, lo pulang aja. Udah malem. Besok gue bantuin ngerjain grafiknya.
Tapi nanggung Den. Bentar lagi ya.
Reina menengok jam dinding. Jam 9 malam.
Jam 10 gue pulang. Gak lebih dari jam itu. Oke?
Oke. Lo balik sama siapa?

Reina mengedarkan pandangan ke seluruh ruangan kantor. Ah, dia satu-satunya yang masih bekerja selarut itu. Sebelumnya dia berharap masih menemukan Pak Widodo yang terkenal suka pulang malam di sana.

Pak Widodo bahkan sudah pulang ya Den. Ahahaha... Gampanglah gue. Ntar naik angkot aja gue baliknya.
Naik angkot? Jam segini? Ntar gue jemput lo di kantor.
Eh, gausah Den. Sumpah. Lo gak perlu repot-repot. Gue naik angkot aja. Angkot di sini kan 24 jam.
Udah, gausah sok sungkan, gue jemput lo ntar di kantor. Bahaya lo pulang sendirian jam segini naik angkot.
Deden, gausah. Gue ngelembur kan karena keinginan gue sendiri. Jadi ya resikonya gue tanggung. Gak papa kok gue naik angkot. Nyante aja.
Reina, gue mau jemput elu juga karena keinginan gue. Jadi, gue tanggung sendiri resikonya. Lo ga bisa menghalangi keinginian orang.

Reina menantap layar handphonenya. Tersenyum dan mengetik.

Oke. Gue balik jam 10. Makasi banyak ya Den.
Siiiipppppp.....

***

Gadis itu tertawa manis. Pria-pria disebelahnya seakan saling menyikut untuk bisa duduk dengan jarak 10 cm dari gadis itu. Belakangan ini Fella memang menjadi buah bibir di kantor. Terutama di kalangan pria-pria jomblo. Fella karyawati baru di bagian procurement. Fresh graduate. Fresh face. Fresh look untuk kantor yang hampir 80% penghuninya adalah pria. Semua grup chat pasti sempat menyinggung kehadiran sosok wanita yang menurut sebagian orang mirip dengan Blair Waldorf di serial Gossip Girl. Tidak heran jika setiap kehadirannya selalu membuat pria-pria memalingkan wajahnya sejenak dari apapun yang menyita perhatian mereka sebelumnya. Dan Fella selalu akan menjadi perhatian utama, mendapatkan segala privilege yang bisa diberikan pria-pria kepada wanita idamannya. Fella tidak perlu mengantri di kantin, karena seorang pria akan melakukan hal itu untuknya. Fella tidak perlu repot-repot menunggu jemputan bis untuk mengantarnya ke kantor karena semua pria berkendaraan siap menghampiri Fella yang berdiri di pinggir jalan. Fella tidak perlu repot-repot memikirkan lelucon karena semua ucapannya akan membuat pria-pria di sebelahnya tersenyum, terpana, dan tertawa.

Reina memandang teman-teman pria di depannya. Teman-temannya ini bukan tidak tertarik dengan Fella dan berusaha mendekatinya, tapi mereka bukanlah tipe cowok sok asyik yang bisa tiba-tiba datang menghampirimu dan bercakap-cakap dengan tenang. Mereka membicarakan Fella hanya diantara teman-temannya. Tapi jika berhadapan dengan Fella, mereka hanya terdiam dan berlalu begitu saja.

“Emang kalo cewek bawa aqua galon itu seaneh itu yak?” Reina melanjutkan pembicaraan yang sedikit terputus karena pria-pria di sekelilingnya sedikit teralihkan perhatiannya ketika Fella melintas. Reina sudah terbiasa dengan hal itu.
“Enggak si, kalo gak ada isinya. Tapi kalo ada isinya yah...”
“Kalo ada isinya apa?”
“Emang lu bawa dari mana ke mana Rein?”
“Dari warung deket kontrakan gue ke kamar gue. Segitu doang.”
“Tunggu dulu.. Kamar lo kan di lantai dua...” Rian menghentikan kalimatnya. Ia menatap Reina seakan Reina adalah Gumiho.
“Tunggu, tunggu, warung di deket kontrakan lo kan yang di ujung jalan itu kan?” Deden menambahkan sembari menatap Reina seakan Reina adalah Sadako.
“Iye buat elu.. dan iye juga buat elu” Reina menunjuk Rian dan Deden bergantian.
“Tuh kan terbukti kata gue, Reina itu strong banget bro buat cewek.” Bara menambahkan membuat Reina memukul pundak pria disampingnya itu.
“Tuh... Reina mainnya mukul. Tenaganya kuat bro. Gue ngerasain tadi. Beda sama cewek-cewek yang biasanya mah keliatannya mukul tapi kerasanya kayak cuma dielus doang.”
“Sumpah.. lo itu Mr. Lebay banget ya Bar.”
“Reina, the Warrior Princess. Kayaknya cocok.”
“Woy Den. Apaan banget dah.”
“Enggak bro. Reina Cobain dia mah.”
Reina mendelik ke arah Bara. “Ini apalagi?”
“Rambut lo terinspirasi Kurt Cobain kan?”
Reina memukul pundak Bara sekali lagi. Bara menunjuk pundaknya memberi isyarat kepada teman-temannya. “Mukul lagi bro!”
“Rambut gue kependekan motongnya. Salah mbaknya motong rambut.”
“Gak papa kok Rein kalo lo emang terinspirasi sama dia.”
Reina mendelik.
“Miss Cobain,” Agam yang sedari tadi diam menyodorkan handphonenya.
“Apa Gam?”
Agam menekan handphonenya. Terdengar intro sebuah lagu. Reina membelalak, tertawa dan memukul Agam ringan. Deden, Rian, Bara tertawa puas. Suara Kurt Cobain sayup-sayup mulai terdengar dari handphone Agam menyanyikan lagu hits mereka, Smells Like Teen Spirit.

***
 
“My beastie. Seneng banget bisa ketemu mereka. Ngobrol-ngobrol, makan bareng. Next time nongki-nongki lagi yuk.” With-Keken, Ardila,  Rahayu, Margareth, Ardji, Mega, Dika, Galih. We’re at-The Royale Cafe, South of Jakarta.
Sebuah foto berisikan segerombolan pria dan wanita tersenyum mengelilingi meja yang penuh dengan sajian western food dengan latar belakang stage kecil untuk pemusik terpampang di atas status tersebut.

Reina men-scroll handphonenya. Terlihat sebuah foto pemandangan sunset di pantai. Temannya, Dira memposting foto liburannya di Gili Trawangan bersama teman-temannya.

Watching Captain America at XXI Bandung, with-Biko, Heru, Ajeng, Vira, Dila, Wahyu, Sella.

Reina menghela nafas, weekend kali ini sama seperti sebelumnya ia tidak pergi jauh. Hanya di sekitaran kota tempat tinggalnya. Tidak nongkrong-nongkrong di kafe populer. Karena memang kotanya tidak memiliki kafe-kafe semacam itu.

“Reiiinnnnnn.... Lo ngapain banget dah.”
Suara nyaring Lidya membuyarkan lamunan Reina.
“Apa sih. Gue nunggu Deden jemput gue nih.”
“Itu. Baju elu jangan gelap-gelap napa. Muka lo juga, netral banget. Sini, gue dandaninin.”
“Ih, apa si lo Lyd, gue cuma mau makan sama anak-anak. Agam, Deden, Bara, Rian. Biasa aja ah, ngapain dandan-dandan.”
“Ditaaaaa... temen lo ini kasitau deh ah. Masak mau malem minggu di luar gak mau dandan-dandan dikit.”
Dita keluar dari kamarnya. Ia sudah rapi menantikan kehadiran Adit, pacarnya menjemputnya.
“Ih elu Rein, Malem Minggu sama cowok-cowok, beda dikit napa. Di kantor lo kan udah biasa kayak gitu. Sekarang lo harus beda Rein.”
“Ih, kalian lebay banget sih.”
Dita masuk kamar Reina.  Membuka lemari baju Reina. Mengeluarkan sehelai blouse berwarna pink dari dalamnya.
“Pake ini Rein.” Dita mencari-cari kembali di dalam lemari Reina. Mengeluarkan cardigan putih berbahan chiffon untuk dipadukan dengan blouse pink tersebut.
Lydia menarik tangan Reina. Memakssanya mengganti atasan. Reina pasrah. Ia menuruti keinginan kedua temannya itu. Selasai berganti baju, Lydia memintanya duduk. Lydia sudah siap dengan segala peralatan bertempurnya.
“Lo mau ngapain gue banget si Lyd?”
“Udah deh, lo tenang aja ye. Lo gue buat sedikit beda malem ini.”
“Jangan tebel-tebel.”
“Iye-iye.”
Lydia mulai beraksi. Menyapukan bedak, eyeshadow dan eyeliner ke wajah Reina.
“Lyd... eyeshadownya jangan ketebelan.”
“Ih.. apaan si lo. Ini gue baru mau makein eyeshadownya. Jangan bawel deh.”
Reina pasrah. Ia diam, membiarkan Lydia berkreasi di wajahnya.
“Tadaaaa... Liat deh di cermin. Lo keliatan beda kan. Iya kan Dit?” Lydia mencari dukungan dari Dita yang sedari tadi duduk sambil membaca majalah. Dita menoleh. Melihat Reina dan mengacungkan jempol kanannya.
Reina melihat ke cermin. Ia tersenyum. Menyukai hasil karya Lydia. Ia menoleh ke temannya tersebut.
“Tuh, nyengir dia sekarang. Oke kan?”
Reina memeluk Lydia. “Thankiu kakak..”

***

25 tahun. Jomblo. Pria yang disukai mengatakan tertarik dengan wanita lain. Tidak berwajah super cantik yang membuat semua pria bersedia melakukan apa saja demi dia. Tidak banyak hang out di kafe gaul. Tidak memiliki segudang teman yang bisa ia tag di Path.

Reina menatap kue di hadapannya. Ia memandang sekelilingnya. Teman-teman yang selalu menceriakan harinya. Tidak banyak teman yang ia punya. Tapi yang ia punya selalu mampu membantunya bangun ketika jatuh dan menariknya kembali ke bumi jika ia terlalu terbang tinggi. Teman-teman yang memberikan surprise kecil di hari ulang tahunnya. Kejutan ini tidak dilakukan di kafe gaul atau di tempat spesial. Hanya di kontrakannya. Dengan kue blueberrycheese dan lilin berbentuk angka 25. Ia melihat Deden membawa guntingan kertas berisi cerpen yang Reina buat dan dimuat di majalah nasional. Mengingatkan Reina bahwa hobi kecilnya yang ia lakukan ketika sendiri mendatangkan hasil yang cukup memuaskan. Agam memegang poster Nirvana. Mengingatkan Reina bahwa teman-teman prianya ini selalu bisa membuat Reina tertawa apapun kondisinya. Rian memegang kamera. Mengingatkan Reina bahwa selama ini mereka nongkrong, makan, jarang sekali bahkan tidak pernah diabadikan lewat kamera. Sedikit pelajaran untuk Reina. Segala momen tidak melulu harus diabadikan lewat kamera, tapi dirasakan dan dinikmati keberlangsungannya. Dita dan Lydia memegang balon dan bunga. Dua teman wanitanya yang menyeimbangkan kehidupan Reina setelah seharian bertemu dengan segerombolan pria absurd di kantor.

Reina menghela nafas. Ia memikirkan gadis yang selalu berkaca di cermin bertanya-tanya dimana letak kekurangannya. Gadis yang terkadang sedikit merasa iri dengan status teman-temannya yang entah pacaran, nongkrong di kafe atau liburan bersama teman-temannya. Gadis yang terkadang ingin menjadi pusat perhatian, diperhatian oleh semua orang, diberi perlakuan istimewa.

Reina melihat teman-temannya. Ia tersenyum. Bagaimana ia bisa merasa kurang beruntung jika memiliki mereka semua?

***




No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS