Reina melihat sosok wanita di depannya.
Alis hitam tebal. Rambut hitamnya lurus terjuntai ke pundak. Kulit sawo
matangnya tampak sedikit memerah di daerah pipi. Bibir yang telah dipoles
lipstick berwarna merah muda menyunggingkan senyuman terbaik. Tidak jelek.
Cantik mungkin bukan kata yang pas, tetapi bisa dipastikan penampilan wanita
ini tidak buruk. Reina memicingkan matanya. Mungkin jika wanita ini tidak
menggunakan eyeliner hitam dia akan
tampak lebih menarik. Rheina menatap lebih dalam. Tidak. Eyeliner hitam adalah andalan utama wanita ini. Bila ia tidak
menggunakan eyeliner maka bisa dipatikan hampir semua orang akan bertanya
padanya “Tidur jam berapa semalam?” Tidak. Tidak. Eyeliner itu harus tetap ia gunakan. Lalu apa yang salah dengan
dirinya?
***
“Seriusan dia mau nikah?”
“Iya. Oktober nanti. Kenapa? Lo tertarik
sama Marsha?”
“Ya iyalah sama Marsha. Masa’ sama
cowoknya.”
“Sejak kapan lo suka sama Marsha?”
“Masih dalam tahap tertarik si Rein. Gue
tertarik buat ngedeketin.”
“Lu udah tahu kan dia punya cowok?”
“Udah sih.”
“Trus?”
“Ya.. namanya juga`tertarik Rein.”
Reina terdiam. Ia membayangkan Marsha.
Sosok gadis dengan tinggi sekitar 165 cm. Rambutnya hitam panjang bergelombang.
Kulitnya putih. Muka ovalnya dibingkai mata bulat hitam yang sangat atraktif.
Tipe ideal pria-pria Indonesia.
“Lo kenal dia kan Rein?”
“Iya, kenal gw.”
“Cowoknya?”
“iya, cowoknya temen gue juga.”
“Gue masih ada kesempatan gak?”
Reina mendesah pelan.
“Elu, Marsha, Doni, kalian semua itu
temen gue. Gue gak mau ikutan hal-hal begini ah. Gue gak mau berpihak.”
“Ayolah Rein... Kenalin gw ke Marsha.”
“Trus, setelah gue kenalin? Dia mau nikah
To”
“Lah, kan dulu lu sendiri pernah bilang
ke gue, walo cewek itu udah punya pacar, lo masih ada kesempatan To.”
“iya, itu buat Ara. Lo juga udah ada
cewek magang disini ga mau kenalan cuma karena dia udah punya cowok. Tapi ini
Marsha. Gue kenal Marsha, kenal Doni dan menurut gue mereka itu udah pasangan
paling cocok sedunia. Lo jangan ganggu-ganggu deh.”
“Ah,bedanya Ara sama Marsha apaan?”
Reina menatap pria didepannya dengan
seksama. Rambut acak-acakannya. Mata ‘puppy eyes’-nya.
“Menurut pendapat gue, semua orang berhak
untuk suka sama orang. Semua orang berhak untuk ngedeketin siapaun yang dia
suka, walaupun dia sudah punya pacar. Karena bagi gue, kalau memang seseorang
sudah sayang dan cinta ke satu orang,
siapapun yang mendekatinya tidak akan membuat dia goyah dan meninggalkan
pasangannya.”
Pria di hadapannya menatap mata Reina
tajam. Reina melanjutkan
“Tapi gue juga berpendapat kalau orang
ketiga ini berhasil merebut pacar orang, maka dia harus berhati-hati karena
jika yang direbut ini bisa meninggalkan pasangannya demi orang lain, maka dia
juga bisa meninggalkan orang ketiga ini demi orang lain di masa yang akan
datang.”
Mereka berdua terdiam.
“Jadi, kalo lo mau ngedektin Marsha
silakan aja. Gue gak akan melarang. Tapi gue juga gak akan mendukung dan
mencoba membantu elu. Kalian semua temen gue.”
Reina berdiri dari kursi kerjanya. Ia
berjalan keluar ruangan dan menuju pintu bertuliskan ‘women’. Reina duduk di salah satu bilik dan air mata
mengalir di pipinya.
***
Masih banyak kerjaannya Rein?
Lumayan Den. Grafiknya
masih banyak yang harus dibuat.
Udah, pulang gih. Lu masuk angin ntar,
kelamaan di depan komputer, di bawah AC, belum makan pula. Lo belum makan kan?
Udah sih tadi makan pop
mie Den.
Ih, pop mie doang. Lo kan anaknya demen
masuk angin kalo telat makan sedikit. Trus ntar pagi-pagi muntah.
Udah deh, lo pulang aja. Udah malem. Besok
gue bantuin ngerjain grafiknya.
Tapi nanggung Den.
Bentar lagi ya.
Reina
menengok jam dinding. Jam 9 malam.
Jam 10 gue pulang. Gak
lebih dari jam itu. Oke?
Oke. Lo balik sama siapa?
Reina mengedarkan pandangan ke seluruh
ruangan kantor. Ah, dia satu-satunya yang masih bekerja selarut itu. Sebelumnya
dia berharap masih menemukan Pak Widodo yang terkenal suka pulang malam di
sana.
Pak Widodo bahkan sudah
pulang ya Den. Ahahaha... Gampanglah gue. Ntar naik angkot aja gue baliknya.
Naik angkot? Jam segini? Ntar gue jemput lo
di kantor.
Eh, gausah Den. Sumpah.
Lo gak perlu repot-repot. Gue naik angkot aja. Angkot di sini kan 24 jam.
Udah, gausah sok sungkan, gue jemput lo ntar
di kantor. Bahaya lo pulang sendirian jam segini naik angkot.
Deden, gausah. Gue
ngelembur kan karena keinginan gue sendiri. Jadi ya resikonya gue tanggung. Gak
papa kok gue naik angkot. Nyante aja.
Reina, gue mau jemput elu juga karena
keinginan gue. Jadi, gue tanggung sendiri resikonya. Lo ga bisa menghalangi
keinginian orang.
Reina
menantap layar handphonenya. Tersenyum dan mengetik.
Oke. Gue balik jam 10.
Makasi banyak ya Den.
Siiiipppppp.....
***
Gadis itu tertawa manis. Pria-pria
disebelahnya seakan saling menyikut untuk bisa duduk dengan jarak 10 cm dari
gadis itu. Belakangan ini Fella memang menjadi buah bibir di kantor. Terutama
di kalangan pria-pria jomblo. Fella karyawati baru di bagian procurement. Fresh
graduate. Fresh face. Fresh look untuk kantor yang hampir 80% penghuninya
adalah pria. Semua grup chat pasti sempat menyinggung kehadiran sosok wanita
yang menurut sebagian orang mirip dengan Blair Waldorf di serial Gossip Girl.
Tidak heran jika setiap kehadirannya selalu membuat pria-pria memalingkan
wajahnya sejenak dari apapun yang menyita perhatian mereka sebelumnya. Dan
Fella selalu akan menjadi perhatian utama, mendapatkan segala privilege yang
bisa diberikan pria-pria kepada wanita idamannya. Fella tidak perlu mengantri
di kantin, karena seorang pria akan melakukan hal itu untuknya. Fella tidak
perlu repot-repot menunggu jemputan bis untuk mengantarnya ke kantor karena
semua pria berkendaraan siap menghampiri Fella yang berdiri di pinggir jalan.
Fella tidak perlu repot-repot memikirkan lelucon karena semua ucapannya akan
membuat pria-pria di sebelahnya tersenyum, terpana, dan tertawa.
Reina memandang teman-teman pria di
depannya. Teman-temannya ini bukan tidak tertarik dengan Fella dan berusaha
mendekatinya, tapi mereka bukanlah tipe cowok sok asyik yang bisa tiba-tiba
datang menghampirimu dan bercakap-cakap dengan tenang. Mereka membicarakan
Fella hanya diantara teman-temannya. Tapi jika berhadapan dengan Fella, mereka
hanya terdiam dan berlalu begitu saja.
“Emang kalo cewek bawa aqua galon itu
seaneh itu yak?” Reina melanjutkan pembicaraan yang sedikit terputus karena
pria-pria di sekelilingnya sedikit teralihkan perhatiannya ketika Fella
melintas. Reina sudah terbiasa dengan hal itu.
“Enggak si, kalo gak ada isinya. Tapi
kalo ada isinya yah...”
“Kalo ada isinya apa?”
“Emang lu bawa dari mana ke mana Rein?”
“Dari warung deket kontrakan gue ke kamar
gue. Segitu doang.”
“Tunggu dulu.. Kamar lo kan di lantai
dua...” Rian menghentikan kalimatnya. Ia menatap Reina seakan Reina adalah
Gumiho.
“Tunggu, tunggu, warung di deket
kontrakan lo kan yang di ujung jalan itu kan?” Deden menambahkan sembari
menatap Reina seakan Reina adalah Sadako.
“Iye buat elu.. dan iye juga buat elu”
Reina menunjuk Rian dan Deden bergantian.
“Tuh kan terbukti kata gue, Reina itu
strong banget bro buat cewek.” Bara menambahkan membuat Reina memukul pundak
pria disampingnya itu.
“Tuh... Reina mainnya mukul. Tenaganya
kuat bro. Gue ngerasain tadi. Beda sama cewek-cewek yang biasanya mah
keliatannya mukul tapi kerasanya kayak cuma dielus doang.”
“Sumpah.. lo itu Mr. Lebay banget ya
Bar.”
“Reina, the Warrior Princess. Kayaknya
cocok.”
“Woy Den. Apaan banget dah.”
“Enggak bro. Reina Cobain dia mah.”
Reina mendelik ke arah Bara. “Ini
apalagi?”
“Rambut lo terinspirasi Kurt Cobain kan?”
Reina memukul pundak Bara sekali lagi.
Bara menunjuk pundaknya memberi isyarat kepada teman-temannya. “Mukul lagi
bro!”
“Rambut gue kependekan motongnya. Salah
mbaknya motong rambut.”
“Gak papa kok Rein kalo lo emang
terinspirasi sama dia.”
Reina mendelik.
“Miss Cobain,” Agam yang sedari tadi diam
menyodorkan handphonenya.
“Apa Gam?”
Agam menekan handphonenya. Terdengar
intro sebuah lagu. Reina membelalak, tertawa dan memukul Agam ringan. Deden,
Rian, Bara tertawa puas. Suara Kurt Cobain sayup-sayup mulai terdengar dari
handphone Agam menyanyikan lagu hits mereka, Smells Like Teen Spirit.
***
“My
beastie. Seneng banget bisa ketemu mereka. Ngobrol-ngobrol, makan bareng. Next
time nongki-nongki lagi yuk.” With-Keken, Ardila, Rahayu, Margareth, Ardji, Mega, Dika, Galih.
We’re at-The Royale Cafe, South of Jakarta.
Sebuah foto berisikan segerombolan pria
dan wanita tersenyum mengelilingi meja yang penuh dengan sajian western food
dengan latar belakang stage kecil untuk pemusik terpampang di atas status
tersebut.
Reina men-scroll handphonenya. Terlihat
sebuah foto pemandangan sunset di pantai. Temannya, Dira memposting foto
liburannya di Gili Trawangan bersama teman-temannya.
Watching
Captain America at XXI Bandung, with-Biko, Heru, Ajeng, Vira, Dila, Wahyu,
Sella.
Reina menghela nafas, weekend kali ini
sama seperti sebelumnya ia tidak pergi jauh. Hanya di sekitaran kota tempat
tinggalnya. Tidak nongkrong-nongkrong di kafe populer. Karena memang kotanya
tidak memiliki kafe-kafe semacam itu.
“Reiiinnnnnn.... Lo ngapain banget dah.”
Suara nyaring Lidya membuyarkan lamunan
Reina.
“Apa sih. Gue nunggu Deden jemput gue
nih.”
“Itu. Baju elu jangan gelap-gelap napa.
Muka lo juga, netral banget. Sini, gue dandaninin.”
“Ih, apa si lo Lyd, gue cuma mau makan
sama anak-anak. Agam, Deden, Bara, Rian. Biasa aja ah, ngapain dandan-dandan.”
“Ditaaaaa... temen lo ini kasitau deh ah.
Masak mau malem minggu di luar gak mau dandan-dandan dikit.”
Dita keluar dari kamarnya. Ia sudah rapi
menantikan kehadiran Adit, pacarnya menjemputnya.
“Ih elu Rein, Malem Minggu sama
cowok-cowok, beda dikit napa. Di kantor lo kan udah biasa kayak gitu. Sekarang
lo harus beda Rein.”
“Ih, kalian lebay banget sih.”
Dita masuk kamar Reina. Membuka lemari baju Reina. Mengeluarkan
sehelai blouse berwarna pink dari dalamnya.
“Pake ini Rein.” Dita mencari-cari
kembali di dalam lemari Reina. Mengeluarkan cardigan putih berbahan chiffon
untuk dipadukan dengan blouse pink tersebut.
Lydia menarik tangan Reina. Memakssanya
mengganti atasan. Reina pasrah. Ia menuruti keinginan kedua temannya itu.
Selasai berganti baju, Lydia memintanya duduk. Lydia sudah siap dengan segala
peralatan bertempurnya.
“Lo mau ngapain gue banget si Lyd?”
“Udah deh, lo tenang aja ye. Lo gue buat
sedikit beda malem ini.”
“Jangan tebel-tebel.”
“Iye-iye.”
Lydia mulai beraksi. Menyapukan bedak,
eyeshadow dan eyeliner ke wajah Reina.
“Lyd... eyeshadownya jangan ketebelan.”
“Ih.. apaan si lo. Ini gue baru mau
makein eyeshadownya. Jangan bawel deh.”
Reina pasrah. Ia diam, membiarkan Lydia
berkreasi di wajahnya.
“Tadaaaa... Liat deh di cermin. Lo keliatan
beda kan. Iya kan Dit?” Lydia mencari dukungan dari Dita yang sedari tadi duduk
sambil membaca majalah. Dita menoleh. Melihat Reina dan mengacungkan jempol
kanannya.
Reina melihat ke cermin. Ia tersenyum.
Menyukai hasil karya Lydia. Ia menoleh ke temannya tersebut.
“Tuh, nyengir dia sekarang. Oke kan?”
Reina memeluk Lydia. “Thankiu kakak..”
***
25 tahun. Jomblo. Pria yang disukai
mengatakan tertarik dengan wanita lain. Tidak berwajah super cantik yang
membuat semua pria bersedia melakukan apa saja demi dia. Tidak banyak hang out
di kafe gaul. Tidak memiliki segudang teman yang bisa ia tag di Path.
Reina menatap kue di hadapannya. Ia
memandang sekelilingnya. Teman-teman yang selalu menceriakan harinya. Tidak
banyak teman yang ia punya. Tapi yang ia punya selalu mampu membantunya bangun
ketika jatuh dan menariknya kembali ke bumi jika ia terlalu terbang tinggi.
Teman-teman yang memberikan surprise kecil di hari ulang tahunnya. Kejutan ini
tidak dilakukan di kafe gaul atau di tempat spesial. Hanya di kontrakannya.
Dengan kue blueberrycheese dan lilin berbentuk angka 25. Ia melihat Deden
membawa guntingan kertas berisi cerpen yang Reina buat dan dimuat di majalah
nasional. Mengingatkan Reina bahwa hobi kecilnya yang ia lakukan ketika sendiri
mendatangkan hasil yang cukup memuaskan. Agam memegang poster Nirvana.
Mengingatkan Reina bahwa teman-teman prianya ini selalu bisa membuat Reina
tertawa apapun kondisinya. Rian memegang kamera. Mengingatkan Reina bahwa
selama ini mereka nongkrong, makan, jarang sekali bahkan tidak pernah
diabadikan lewat kamera. Sedikit pelajaran untuk Reina. Segala momen tidak
melulu harus diabadikan lewat kamera, tapi dirasakan dan dinikmati keberlangsungannya.
Dita dan Lydia memegang balon dan bunga. Dua teman wanitanya yang
menyeimbangkan kehidupan Reina setelah seharian bertemu dengan segerombolan
pria absurd di kantor.
Reina menghela nafas. Ia memikirkan gadis
yang selalu berkaca di cermin bertanya-tanya dimana letak kekurangannya. Gadis
yang terkadang sedikit merasa iri dengan status teman-temannya yang entah
pacaran, nongkrong di kafe atau liburan bersama teman-temannya. Gadis yang
terkadang ingin menjadi pusat perhatian, diperhatian oleh semua orang, diberi
perlakuan istimewa.
Reina melihat teman-temannya. Ia
tersenyum. Bagaimana ia bisa merasa kurang beruntung jika memiliki mereka
semua?
***
No comments:
Post a Comment