Bro, menikah itu fasa, bukan target. Inget itu.
Suatu malam. Di kantor. Ketika hanya ada saya dan dua teman pria saya
di ruangan kantor.
Entahlah, tiba-tiba saja malam ini saya teringat itu dan membuat saya
ingin menulis ini. Mungkin juga karena kemarin saya baru saja memposting
artikel di halaman facebook saya tentang 20 hal yang bisa dilakukan di umur 20
tahunan selain menikah. A good article, i think. Penuh dengan bucket list yang
bisa kita buat untuk mengisi waktu kita di usia 20 tahunan. Travelling, do your hobby, do more ‘me time’, etc. And
you know what comment that I’ve got from this article?
“This, lo lagi galau mau nikah ya?”
“Udah deh, ga usah pake excuse karena emang belum nikah.”
I am not judging those comment. I am fine with that. That was just a
joke for me.
But, I am just surprised.
Buat kita-kita yang sudah berumur 20 tahun ke atas, well okey, 23 tahun
ke atas mungkin, apalagi kalau sudah menginjak 25 tahun ke atas, dan terutama
untuk para wanita, pertanyaan basa basi keluarga “kapan nikah?”, “mana
calonnya?”, “kapan nyebar undangan?” dan pertanyaan sejenisnya seakan
seperti tombak yang dilayangkan ke kita dan siap menghujam otak dan hati kita.
Bete? Yes. Sebel? Yes. Bosen? Yes. Seakan-akan ingin teriak ke hadapan mereka.
“YAELAH BOY, KALAU GUE UDAH PUNYA CALON, UDAH MAU NIKAH, GAK USAH LO TANYA, GUE
KASITAU KELEUS. KALAU PERLU GUE BUAT IKLAN DI TIPI.”
Tapi, menyikapi segala pertanyaan sejenis itu, saya pernah dinasehati
teman bahwa justru hal tersebut harus disyukuri. Ketika kerabat kita masih
menanyakan hal tersebut, itu berarti mereka masih peduli sama kita. Masih
menantikan pernikahan kita. Coba bayangkan kalau pertanyaan-pertanyaan itu
sudah tidak terlontar dari mulut-mulut mereka. Mungkin kita merasa tenang,
aman, tapi bisa jadi mereka tidak bertanya lagi karena mereka sudah bosan,
mereka sudah tidak peduli lagi, mereka sudah patah harapan untuk melihat kita
menikah. Serem gak sih? So, untuk setiap pertanyaan kapan menikah yang saya
dapatkan, saya selalu berusaha untuk melihatnya sebagai tanda kepedulian mereka
kepada saya dan akan saya selalu saya jawab “Doain aja ya?” sambil tersenyum
tentu saja.
Ada poin positif, ada poin negatif tentu saja. Buat saya segala pertanyaan berbau kapan menikah yang selalu dilontarkan kepada para manusia di usia 20 tahunan menunjukkan bagaimana pandangan masyarakat di Indonesia ini terhadap pernikahan. Menikahlah di usia 20 tahunan, karena usia tersebut usia subur. Menikahlah di usia 20 tahunan untuk menghindari predikat perawan tua. Saya tidak mengatakan bahwa saya tidak setuju untuk menikah di usia 20 tahunan. Yang saya tidak setuju adalah pandangan wajib hukumnya untuk menikah di usia 20 tahunan, karena jika sudah sedikit tua, nanti tidak laku lagi, nanti jadi perawan tua, nanti apa kata orang? Segala pandangan masyarakat terhadap manusia usia 20 tahun yang belum menikah selalu bisa menjadi penekan mental dan batin.
For me marriage is a target. Tapi sebuah target yang tidak bisa saya sebutkan kapan deadlinenya. Saya tidak bisa menyebutkan tahun berapa saya akan menikah, pada umur berapa saya akan menikah. Saya tidak bisa menargetkan itu. Kenapa? Karena saya belum tahu.
1. Saya mau menikah. Saya ingin menikah. Saya akan menikah. Itu pasti. Saya wanita biasa yang juga memiliki gambaran hidup sempurna bersama suami dan anak. Memasak setiap pagi untuk keluarga kecil saya. I do really want that life. But when will I get that? Ketika sudah ada pria yang tepat datang ke kehidupan saya dan mengajak saya menikah. Kapan pria itu datang? Bisa besok, minggu depan, 3 bulan lagi, atau 3 tahun lagi. Tapi, bukan berarti saya hanya akan menunggu kedatangan pria itu. Bukan berarti saya tidak berusaha mencari pria itu. Bukan berarti saya hanya menjadi seorang gadis pasif yang menunggu kedatangan pangeran berkuda putih. Saya mencoba. Saya membuka diri terhadap pria yang mendekati saya. Tapi, jika memang saya tidak cocok dengan pria itu, saya tetap mempunyai hak untuk menolaknya kan? Maka dari itu, saya selalu mengatakan, jika saya memang belum bertemu dengan 'sang pria' lalu apakah saya harus memaksakan menargetkan menikah tahun depan? I don't think so.
2. Saya tidak ingin pikiran saya habis hanya untuk menghitung hari yang tersisa dari target menikah saya. Saya tidak ingin waktu saya habis hanya untuk mencari pria yang ingin menikah dengan saya. Saya tidak ingin saya sibuk menghitung sudah berapa banyak teman saya yang sudah menikah. Saya tidak ingin menghitung sudah berapa banyak teman saya yang memiliki anak. Saya hanya ingin hidup tanpa harus penuh kekhwatiran bahwa di usia saya yang sudah 25 tahun, usia di mana teman-teman saya yang lain sudah menikah, hamil, memasang foto anaknya di media sosial, ternyata saya belum menikah. I am not married yet, so why?
Jadi, buat saya menikah itu adalah suatu fasa yang harus ditargetkan untuk dicapai. Jangan sampai kita tidak pernah berpikir untuk menikah, tetapi jangan sampai waktu kita habis hanya untuk memikirkan 'kapan saya akan menikah?'. Masih banyak bucket list yang bisa dilakukan untuk menghabiskan waktu dibandingkan hanya meratapi nasib karena belum menikah. Masih banyak aktivitas 'me time' yang bisa dilakukan selain bertanya-tanya kapan saya akan menyusul teman saya untuk menikah. Nikmati saja waktu-waktu di usia 20 tahunan ini sambil tetntu menoleh ke kiri dan ke kanan jikalau ada 'sang pria' di sekitaran anda.
No comments:
Post a Comment