Aku bermain ular
tangga. Menggulirkan dadu untuk bisa melangkah ke depan. Beruntung jika aku
mendapatkan angka yang dapat membuatku berdiri di kotak tangga. Aku bisa
menaiki tangga itu. Maju beberapa langkah ke depan tanpa harus bersusah payah
menapaki kotak permainan satu per satu. Tapi, tidak setiap saat aku dapat
berdiri di kotak tangga. Ada kalanya aku harus menerima kenyataan berada di
kotak ular. Inilah yang aku takutkan ketika menggulirkan dadu di atas kertas
permainan ular tangga ini. Aku tidak suka bertemu ular, apalagi jika ular tersebut
membawaku turun beberapa tingkat sekaligus.
***
Aku dekat
dengannya. Berpacaran? Entahlah.
Bahkan aku sendiri tidak bisa mendefinisikan hubungan kami berdua. Terlalu
rumit. Atau kami yang membuatnya rumit? Mungkin iya. Karena sebenarnya bisa
saja kami menyelesaikannya dari awal. Tapi kami tidak mau. Enggan melepaskan kebersamaan kami.
Aku pertama
kali bertemu dengannya ketika tingkat 3 di kampus. Kami berkenalan di acara
kampus. Sama-sama tergabung sebagai panitia acara kesenian kampus membuat kami
menjadi dekat. Aku berada di divisi humas, dia di divisi logistik. Aku pertama
kali melihat Rangga ketika dia menawarkan bantuannya untuk mengangkat setumpuk styrofoam yang akan kugunakan sebagai
media informasi di kampus. Saat itu, dia muncul tiba-tiba di hadapanku. Hanya
satu kalimat yang meluncur dari mulutnya. “Sini, aku bantu bawa.” Seketika
setumpuk styrofoam itu langsung
berpindah tangan. Dia tidak banyak bicara, tapi dia tidak membiarkan suasana menjadi sedingin es. Dia sedikit bercerita tentang
divisi logistik. Dia pun bertanya mengenai pekerjaanku di divisi Humas. Dia
menemaniku berkeliling kampus memasang styrofoam
dan menempelkan kertas pengumuman di atasnya.
Berawal dari itulah,
aku mulai dekat dengan Rangga. Dia yang pertama kali me-massageku di BB. Aku menyukai percakapan kami. Tidak berat, tidak cheesy. Aku menyukai caranya berpikir.
Aku menyukai caranya bercanda. Aku menyukai caranya menanggapi suatu kalimat
yang keluar dari mulutku. Aku menyukai caranya menyapaku di BBM. Aku mulai
menyukainya sebagai pria saat aku mengetahui bahwa Rangga memiliki perbedaan
keyakinan denganku.
Saat itu juga,
daduku menggiringku ke kotak ular. Aku jatuh 1 tingkat. Awalnya aku ragu untuk
melanjutkan permainan ini. Aku diam di tempat. Membiarkan dadu terdiam di atas
kertas permainan. Rangga menyadari perubahan sikapku. Kami berbicara. Hasilnya?
Aku mengambil dadu dan melemparkannya kembali. Aku kembali dalam permainan.
Tidak ada yang berubah dari aku dan Rangga. Kami berdua sama-sama mengerti
bahwa kami sangat menjunjung tinggi keyakinan kami masing-masing. Kami hanya
memutuskan untuk menjalankan semua ini secara normal. Entah kemana perjalanan
kami akan berakhir. Kami hanya ingin berjalan searah berdua. Kami tidak pernah
berikrar untuk berpacaran. Tapi kami
selalu terlihat berdua. Makan bersama. Nonton bioskop berdua. Hunting kamera
SLR berdua. Nonton pagelaran budaya duduk bersebelahan. Hampir tidak ada weekend yang kuhabiskan tanpa jalan
bersamanya.
Hubungan kami
baik-baik saja jika aku tidak memikirkan masa depan hubungan kami. Sering kali
aku bertanya pada Rangga tentang hubungan kami. Tentang perbedaan kami. Setiap
kali ditanya, Rangga tidak pernah memberikan suatu kepastian. Hanya jawaban
diplomatis yang sudah berpuluh kali kudengar: “Aku juga belum menemukan jawaban
pastinya. Kita jalanin dulu saja ya.” Klise. Jawaban klise itu yang selalu
memicu pertengkaran kami. Tapi mau bagaimana hebatnya pertengkaran antara kami
berdua, kami selalu menemukan jalan kembali
untuk bersama. Baikan. Bertengkar. Baikan. Bertengkar. Entah berapa kali
siklus kehidupan kami berulang seperti itu.
Hingga akhirnya
di satu titik aku lelah dengan semua
pertikaian. Lelah dengan semua drama yang harus aku lewati. Lelah dengan segala
pertanyaan dari orang-orang terdekat. Lelah dengan larangan dari orangtuaku. Lelah
dengan hubungan yang sangat aku yakini tidak akan berakhir disuatu tempa. Alih-alih
mengambil dadu, aku mengambil pionku dan
meletakkannya kembali di kotak ‘start’. Rangga membujukku untuk bermain
kembali. Beberapa kali ia berhasil membuatku berpikir untuk melempar dadu
kembali. Tapi keputusanku sudah terlalu bulat. Aku berdiri tegar di atas kotak
‘start’.
***
Cukup lama aku tetap
berdiri kokoh di kotak ‘start’. Membiarkan dadu tergeletak di atas kertas
permainan. Aku tidak pernah berusaha mengambilnya. Sampai ketika Atma menarik
tanganku untuk maju selangkah. Walau awalnya aku bimbang, aku tetap meraih
dadu, menggulirkannya berusaha mengikuti langkah Atma ke depan.
Atma adalah
rekan kerjaku. Kami sama-sama menjalani masa training di kantor baruku. Setelah
lulus kuliah aku diterima di sebuah perusahaan manufaktur customer goods yang terkemuka di dunia. Sebelum menjadi pegawai
tetap, aku harus menjalani masa training selama 6 bulan. Di program itulah aku
berkenalan dengan Atma. Aku dan Atma sama-sama berasal dari jurusan yang sama
walaupun dari universitas yang berbeda. Karena itulah banyak bahan perbincangan
yang bisa dilontarkan. Awalnya hanya perbincangan biasa. Menceritakan suasana
kuliah di masing-masing universitas. Walau mungkin sebenarnya bisa dikatakan
100 persen percakapan dimulai dari Atma dan hampir 70 persen percakapan
didominasi olehnya. Aku hanya menjawab sekenanya. Iya, tidak, mungkin dan 1, 2
kalimat sederhana.
Tapi Atma
pejuang tangguh dan ia sangat tahu bagaimana membuat wanita bertekuk lutut
padanya. Hampir setiap hari, ia selalu duduk di sampingku di kelas materi.
Hanya duduk, mendengarkan materi, bertanya padaku hal yang belum ia mengerti,
mengajakku berdiskusi dan sedikit berbincang denganku. Wajar. Tidak ada yang
berlebihan. Tidak ada flirting
berlebihan. Tidak ada kalimat gombal nan cheesy.
Sewajar ketika duduk bersebelahan dengan cowok random di bangku kuliah.
Satu hal yang
berhasil mencuri perhatianku dari sosok Atma adalah perhatiannya. Ketika aku
menggigil kedinginan karena AC kelas yang terlalu dingin, tanpa berkata apa
pun, Atma berdiri, mencari remote AC dan menurunkan suhu AC. Setelah melakukan
itu, ia kembali duduk berkutat dengan bukunya tanpa mengeluarkan satu kata pun.
Atau saat kami sedang menyebrang jalan di depan kantor untuk makan, ia dengan
sigap berpindah dari sisi kiri ke sisi kananku. Menjadi tameng agar aku tidak
berhadapan langsung dengan serbuan kendaraan. Sejuta perhatian kecil yang ia
berikan padaku berhasil terukir di kepalaku dan merasuk ke dalam hatiku.
Ketika Atma
sudah mulai mengisi pikiranku, ia menghilangkan kebiasaanya duduk di sampingku.
Ia entah duduk dimana. Hari pertama aku tahu Atma tidak meletakkan tasnya di
samping mejaku, aku segera memutar pandanganku ke sekeliling kelas. Ia terlihat
di pojok ruangan bersama Randu. Keesokan harinya, ia bersama Reno. Tidak bisa
ditebak. Ia duduk di tempat yang berbeda-beda. Dan setiap saat ia tidak duduk
di sampingku, aku selalu mencarinya. Mencari tahu di mana ia duduk. Aku akui
aku kehilangan.
Hari-hari
berikutnya, semakin tidak bisa ditebak. Kadang ia duduk di sampingku, kadang ia
duduk di tempat lain. Ketia ia memilih duduk di sampingku, aku merasakan
getaran di hatiku. Dan ketika aku melihat ia duduk di samping orang lain,
hatiku mencelos. Saat itulah aku mengambil dadu di atas kertas, menggenggamnya
dengan erat.
Atma sering
menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Tapi aku tidak pernah mengiyakan. Aku
lebih nyaman menggunakan angkot. Atma juga beberapa kali mengajakku makan di
luar, tapi aku selalu menolaknya. Sampai akhirnya ia tidak berusaha mengajakku
lagi. Daduku masih kugenggam erat.
Hari itu aku
berada di posisiku seperti biasa. Berdiri di depan kantor menunggu angkot
lewat. Sudah hampir setengah jam aku menunggu, ketika sebuah mobil sedan silver
menghampiriku. Wajah Atma terlihat di belakang kemudi ketika ia menurunka kaca
mobil.
"Re,
bareng yuk."
Aku menggeleng.
"Hari ini
gak ada angkot Re, mereka lagi mogok narik."
Aku menarik alis.
Tidak memercayainya.
Atma mengerti
isyaratku. Ia merogoh androidnya dari saku celananya. Mengetik di touch screennya, berpikir sebentar dan
menyodorkan smartphonenya ke wajahku.
"Nih,
artikelnya. Tadi pagi diinfokan di tivi. Para sopir angkot mogok besar-besaran."
Aku membaca
artikelnya. Menghela nafas. Kebodohanku tidak tahu berita ini. Aku
mengembalikan handphone Atma.
"Yuk
naik." Atma memaksa.
Aku tidak
menjawab. Menimbang. Aku tidak ada pilihan sebenarnya. Ketika Atma mengajakku
kembali, aku mengikutinya. Masuk ke dalam sedan silver itu.
Atma tidak
banyak berbicara. Ia menyalakan radio. Lagu favoritku terdengar.
"But
I'm in so deep. You know I'm such a fool for you. You got me wrapped around
your finger, ah, ha, ha. Do you have to let it linger? Do you have to, do you
have to, Do you have to let it linger?" Atma menyenandungkan lagu itu.
Aku menoleh ke
arahnya.
Menyadari itu,
ia berkata "Haha, ini salah satu lagu favoritku Re. Rada mellow ya buat
cowok?" Atma menghusap pelipis matanya dengan jari telunjuk. Aku masih
menatapnya.
"Lagu
favoritmu apa Re?"
Sesaat aku
terdiam. Sedikit enggan, aku menjawab "How deep is your love Bee Gees."
Aku tidak sepenuhnya berbohong. Bisa dikatakan lagu Bee Gees ini berada 1
tingkat di bawah Linger sebagai lagu favoritku.
"Hooo... Nice one."
Atma tidak
mengemudikan mobilnya ke arah rumahku.
"Atma,
rumahku di jalan kemuning. Aku lupa bilang. Seharusnya kita gak lewat
sini."
Atma menyengir.
"Kita jangan langsung pulang ah. Ngebakso dulu yuk. Aku tahu tukang bakso
yang enak."
Aku hendak
memprotes, tapi Atma mencegahku.
"Santai
sejenak Re. Pasti pusing kan tiap hari mikirin materi training. Kamu pasti suka
deh sama bakso ini."
Aku tidak
menolak. Aku mengikutinya saja.
Atma duduk di
hadapanku. Ia memesankan semangkuk bakso untukku. Tidak banyak bercerita. Ia
makan. Jika melihatku membutuhkan sesuatu yang tidak ada di atas meja maka ia
akan mengambilkan. Saus, kecap, atau tissue. Selesai makan, ia menatapku yang
sedang makan. Tidak bicara. Aku melihatnya. Pandangannya lembut. Ia tersenyum.
Aku menunduk kembali berkutat dengan baksoku. Selesai makan, ia membayar. Aku
sudah menyerahkan uang bagianku, tapi ia menolaknya. Lalu ia mengajakku pergi.
Mulai dari detik itulah aku melepas genggaman tanganku. Membiarkan dadu jatuh
dari tanganku. Menuntunku untuk maju selangkah demi selangkah.
Sejak saat itu
aku mulai menyapanya duluan lewat sms/whassap/twitter. Aku mulai memberikannya
perhatian. Setelah sekian lama ia mengajakku jalan akhirnya aku mengiyakan.
Kami nonton di bioskop, makan di restoran, berkeliling mall, pergi ke toko
buku, dan sejuta kegiatan lainnya. Aku kembali bersemangat menggulirkan daduku
karena aku berhasil mencapai ujung tangga dan naik 5 tingkat ke atas. Aku bahagia.
Aku melangkah
dengan riang sampai aku mengenal Ana. Tidak secara langsung, tapi lewat
Kartika, teman satu kantor dan satu universitas dengan Atma. Ia hanya
mengatakan bahwa sebenarnya Atma sudah mempunyai kekasih bernama Ana. Sekarang mereka
harus LDR karena Ana mendapatkan kerja
di Surabaya. Aku terhenyak. Tidak tahu harus berkomentar apa. Sontak, aku
langsung mencari konfirmasi dari Atma. Setelah dipojokkan, ahirnya ia mengaku
bahwa Ana masih menjadi pacarnya dan tidak bisa ia putuskan. Aku bergeming.
Terdiam. Tidak marah. Aku hanya langsung menghilang dari pandangannya.
Daduku
menggiringku ke mulut ular kembali. Dan kali ini aku terjatuh sampai 6 tingkat.
Aku berada di tingkat paling bawah. Aku menghempaskan daduku.
***
Aku menyerah
dengan permainan ini. Aku bukan pemain yang tangguh. Aku tidak mau
melanjutkannya. Aku lelah jika harus bertemu tangga dan ular lagi. Aku
mengambil pionku dari atas kertas permainan. Meletakkannya dalam kotak.
Memasukkan dadu ke dalam kotak. Melipat kertas permainan dan memasukkannya ke
dalam kotak tersebut. Aku mengunci kotak itu. Memasukkannya ke dalam gudang.
Tidak tahu kapan aku akan kembali bermain.
***
setiap tingkat akan mendapati akan ada ular,
ReplyDeletememulailah permainannya sampai terlatih untuk melalui setiap kotak ular
karena kotak ular adalah tahapannya, mengharuskan pion anda turun tingkat.
namun pastikan, pion anda jatuh bukan untuk lengah, namun untuk bangkit.
gullingkan dadunya kembali,jangan masukkan ke kotak gelapnya,ia pasti sesak disana..
Mungkin kotak itu hanya menunggu sesorang yang tepat untuk mengajaknya bermain lagi. Hanya itu. :D
Delete