Pages

Cerpen: Ular Tangga

Saturday, June 8, 2013


Aku bermain ular tangga. Menggulirkan dadu untuk bisa melangkah ke depan. Beruntung jika aku mendapatkan angka yang dapat membuatku berdiri di kotak tangga. Aku bisa menaiki tangga itu. Maju beberapa langkah ke depan tanpa harus bersusah payah menapaki kotak permainan satu per satu. Tapi, tidak setiap saat aku dapat berdiri di kotak tangga. Ada kalanya aku harus menerima kenyataan berada di kotak ular. Inilah yang aku takutkan ketika menggulirkan dadu di atas kertas permainan ular tangga ini. Aku tidak suka bertemu ular, apalagi jika ular tersebut membawaku turun beberapa tingkat sekaligus.

***

Aku dekat dengannya. Berpacaran? Entahlah. Bahkan aku sendiri tidak bisa mendefinisikan hubungan kami berdua. Terlalu rumit. Atau kami yang membuatnya rumit? Mungkin iya. Karena sebenarnya bisa saja kami menyelesaikannya dari awal. Tapi kami tidak mau. Enggan melepaskan kebersamaan kami.  

Aku pertama kali bertemu dengannya ketika tingkat 3 di kampus. Kami berkenalan di acara kampus. Sama-sama tergabung sebagai panitia acara kesenian kampus membuat kami menjadi dekat. Aku berada di divisi humas, dia di divisi logistik. Aku pertama kali melihat Rangga ketika dia menawarkan bantuannya untuk mengangkat setumpuk styrofoam yang akan kugunakan sebagai media informasi di kampus. Saat itu, dia muncul tiba-tiba di hadapanku. Hanya satu kalimat yang meluncur dari mulutnya. “Sini, aku bantu bawa.” Seketika setumpuk styrofoam itu langsung berpindah tangan. Dia tidak banyak bicara, tapi dia tidak membiarkan suasana menjadi sedingin es. Dia sedikit bercerita tentang divisi logistik. Dia pun bertanya mengenai pekerjaanku di divisi Humas. Dia menemaniku berkeliling kampus memasang styrofoam dan menempelkan kertas pengumuman di atasnya.

Berawal dari itulah, aku mulai dekat dengan Rangga. Dia yang pertama kali me-massageku di BB. Aku menyukai percakapan kami. Tidak berat, tidak cheesy. Aku menyukai caranya berpikir. Aku menyukai caranya bercanda. Aku menyukai caranya menanggapi suatu kalimat yang keluar dari mulutku. Aku menyukai caranya menyapaku di BBM. Aku mulai menyukainya sebagai pria saat aku mengetahui bahwa Rangga memiliki perbedaan keyakinan denganku.

Saat itu juga, daduku menggiringku ke kotak ular. Aku jatuh 1 tingkat. Awalnya aku ragu untuk melanjutkan permainan ini. Aku diam di tempat. Membiarkan dadu terdiam di atas kertas permainan. Rangga menyadari perubahan sikapku. Kami berbicara. Hasilnya? Aku mengambil dadu dan melemparkannya kembali. Aku kembali dalam permainan. Tidak ada yang berubah dari aku dan Rangga. Kami berdua sama-sama mengerti bahwa kami sangat menjunjung tinggi keyakinan kami masing-masing. Kami hanya memutuskan untuk menjalankan semua ini secara normal. Entah kemana perjalanan kami akan berakhir. Kami hanya ingin berjalan searah berdua. Kami tidak pernah berikrar  untuk berpacaran. Tapi kami selalu terlihat berdua. Makan bersama. Nonton bioskop berdua. Hunting kamera SLR berdua. Nonton pagelaran budaya duduk bersebelahan. Hampir tidak ada weekend yang kuhabiskan tanpa jalan bersamanya.

Hubungan kami baik-baik saja jika aku tidak memikirkan masa depan hubungan kami. Sering kali aku bertanya pada Rangga tentang hubungan kami. Tentang perbedaan kami. Setiap kali ditanya, Rangga tidak pernah memberikan suatu kepastian. Hanya jawaban diplomatis yang sudah berpuluh kali kudengar: “Aku juga belum menemukan jawaban pastinya. Kita jalanin dulu saja ya.” Klise. Jawaban klise itu yang selalu memicu pertengkaran kami. Tapi mau bagaimana hebatnya pertengkaran antara kami berdua, kami selalu menemukan jalan kembali  untuk bersama. Baikan. Bertengkar. Baikan. Bertengkar. Entah berapa kali siklus kehidupan kami berulang seperti itu.

Hingga akhirnya di satu titik aku  lelah dengan semua pertikaian. Lelah dengan semua drama yang harus aku lewati. Lelah dengan segala pertanyaan dari orang-orang terdekat. Lelah dengan larangan dari orangtuaku. Lelah dengan hubungan yang sangat aku yakini tidak akan berakhir disuatu tempa. Alih-alih mengambil dadu,  aku mengambil pionku dan meletakkannya kembali di kotak ‘start’. Rangga membujukku untuk bermain kembali. Beberapa kali ia berhasil membuatku berpikir untuk melempar dadu kembali. Tapi keputusanku sudah terlalu bulat. Aku berdiri tegar di atas kotak ‘start’.

***

Cukup lama aku tetap berdiri kokoh di kotak ‘start’. Membiarkan dadu tergeletak di atas kertas permainan. Aku tidak pernah berusaha mengambilnya. Sampai ketika Atma menarik tanganku untuk maju selangkah. Walau awalnya aku bimbang, aku tetap meraih dadu, menggulirkannya berusaha mengikuti langkah Atma ke depan.

Atma adalah rekan kerjaku. Kami sama-sama menjalani masa training di kantor baruku. Setelah lulus kuliah aku diterima di sebuah perusahaan manufaktur customer goods yang terkemuka di dunia. Sebelum menjadi pegawai tetap, aku harus menjalani masa training selama 6 bulan. Di program itulah aku berkenalan dengan Atma. Aku dan Atma sama-sama berasal dari jurusan yang sama walaupun dari universitas yang berbeda. Karena itulah banyak bahan perbincangan yang bisa dilontarkan. Awalnya hanya perbincangan biasa. Menceritakan suasana kuliah di masing-masing universitas. Walau mungkin sebenarnya bisa dikatakan 100 persen percakapan dimulai dari Atma dan hampir 70 persen percakapan didominasi olehnya. Aku hanya menjawab sekenanya. Iya, tidak, mungkin dan 1, 2 kalimat sederhana.

Tapi Atma pejuang tangguh dan ia sangat tahu bagaimana membuat wanita bertekuk lutut padanya. Hampir setiap hari, ia selalu duduk di sampingku di kelas materi. Hanya duduk, mendengarkan materi, bertanya padaku hal yang belum ia mengerti, mengajakku berdiskusi dan sedikit berbincang denganku. Wajar. Tidak ada yang berlebihan. Tidak ada flirting berlebihan. Tidak ada kalimat gombal nan cheesy. Sewajar ketika duduk bersebelahan dengan cowok random di bangku kuliah.

Satu hal yang berhasil mencuri perhatianku dari sosok Atma adalah perhatiannya. Ketika aku menggigil kedinginan karena AC kelas yang terlalu dingin, tanpa berkata apa pun, Atma berdiri, mencari remote AC dan menurunkan suhu AC. Setelah melakukan itu, ia kembali duduk berkutat dengan bukunya tanpa mengeluarkan satu kata pun. Atau saat kami sedang menyebrang jalan di depan kantor untuk makan, ia dengan sigap berpindah dari sisi kiri ke sisi kananku. Menjadi tameng agar aku tidak berhadapan langsung dengan serbuan kendaraan. Sejuta perhatian kecil yang ia berikan padaku berhasil terukir di kepalaku dan merasuk ke dalam hatiku.

Ketika Atma sudah mulai mengisi pikiranku, ia menghilangkan kebiasaanya duduk di sampingku. Ia entah duduk dimana. Hari pertama aku tahu Atma tidak meletakkan tasnya di samping mejaku, aku segera memutar pandanganku ke sekeliling kelas. Ia terlihat di pojok ruangan bersama Randu. Keesokan harinya, ia bersama Reno. Tidak bisa ditebak. Ia duduk di tempat yang berbeda-beda. Dan setiap saat ia tidak duduk di sampingku, aku selalu mencarinya. Mencari tahu di mana ia duduk. Aku akui aku kehilangan.

Hari-hari berikutnya, semakin tidak bisa ditebak. Kadang ia duduk di sampingku, kadang ia duduk di tempat lain. Ketia ia memilih duduk di sampingku, aku merasakan getaran di hatiku. Dan ketika aku melihat ia duduk di samping orang lain, hatiku mencelos. Saat itulah aku mengambil dadu di atas kertas, menggenggamnya dengan erat.

Atma sering menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Tapi aku tidak pernah mengiyakan. Aku lebih nyaman menggunakan angkot. Atma juga beberapa kali mengajakku makan di luar, tapi aku selalu menolaknya. Sampai akhirnya ia tidak berusaha mengajakku lagi. Daduku masih kugenggam erat.

Hari itu aku berada di posisiku seperti biasa. Berdiri di depan kantor menunggu angkot lewat. Sudah hampir setengah jam aku menunggu, ketika sebuah mobil sedan silver menghampiriku. Wajah Atma terlihat di belakang kemudi ketika ia menurunka kaca mobil.
"Re, bareng yuk."
Aku menggeleng.
"Hari ini gak ada angkot Re, mereka lagi mogok narik."
Aku menarik alis. Tidak memercayainya.
Atma mengerti isyaratku. Ia merogoh androidnya dari saku celananya. Mengetik di touch screennya, berpikir sebentar dan menyodorkan smartphonenya ke wajahku.
"Nih, artikelnya. Tadi pagi diinfokan di tivi. Para sopir angkot mogok besar-besaran."
Aku membaca artikelnya. Menghela nafas. Kebodohanku tidak tahu berita ini. Aku mengembalikan handphone Atma.
"Yuk naik." Atma memaksa.
Aku tidak menjawab. Menimbang. Aku tidak ada pilihan sebenarnya. Ketika Atma mengajakku kembali, aku mengikutinya. Masuk ke dalam sedan silver itu.

Atma tidak banyak berbicara. Ia menyalakan radio. Lagu favoritku terdengar.
"But I'm in so deep. You know I'm such a fool for you. You got me wrapped around your finger, ah, ha, ha. Do you have to let it linger? Do you have to, do you have to, Do you have to let it linger?" Atma menyenandungkan lagu itu.
Aku menoleh ke arahnya.
Menyadari itu, ia berkata "Haha, ini salah satu lagu favoritku Re. Rada mellow ya buat cowok?" Atma menghusap pelipis matanya dengan jari telunjuk. Aku masih menatapnya.
"Lagu favoritmu apa Re?"
Sesaat aku terdiam. Sedikit enggan, aku menjawab "How deep is your love Bee Gees." Aku tidak sepenuhnya berbohong. Bisa dikatakan lagu Bee Gees ini berada 1 tingkat di bawah Linger sebagai lagu favoritku.  
"Hooo... Nice one."
Atma tidak mengemudikan mobilnya ke arah rumahku.
"Atma, rumahku di jalan kemuning. Aku lupa bilang. Seharusnya kita gak lewat sini."
Atma menyengir. "Kita jangan langsung pulang ah. Ngebakso dulu yuk. Aku tahu tukang bakso yang enak."
Aku hendak memprotes, tapi Atma mencegahku.
"Santai sejenak Re. Pasti pusing kan tiap hari mikirin materi training. Kamu pasti suka deh sama bakso ini."
Aku tidak menolak. Aku mengikutinya saja.

Atma duduk di hadapanku. Ia memesankan semangkuk bakso untukku. Tidak banyak bercerita. Ia makan. Jika melihatku membutuhkan sesuatu yang tidak ada di atas meja maka ia akan mengambilkan. Saus, kecap, atau tissue. Selesai makan, ia menatapku yang sedang makan. Tidak bicara. Aku melihatnya. Pandangannya lembut. Ia tersenyum. Aku menunduk kembali berkutat dengan baksoku. Selesai makan, ia membayar. Aku sudah menyerahkan uang bagianku, tapi ia menolaknya. Lalu ia mengajakku pergi. Mulai dari detik itulah aku melepas genggaman tanganku. Membiarkan dadu jatuh dari tanganku. Menuntunku untuk maju selangkah demi selangkah.

Sejak saat itu aku mulai menyapanya duluan lewat sms/whassap/twitter. Aku mulai memberikannya perhatian. Setelah sekian lama ia mengajakku jalan akhirnya aku mengiyakan. Kami nonton di bioskop, makan di restoran, berkeliling mall, pergi ke toko buku, dan sejuta kegiatan lainnya. Aku kembali bersemangat menggulirkan daduku karena aku berhasil mencapai ujung tangga dan naik  5 tingkat ke atas. Aku bahagia.

Aku melangkah dengan riang sampai aku mengenal Ana. Tidak secara langsung, tapi lewat Kartika, teman satu kantor dan satu universitas dengan Atma. Ia hanya mengatakan bahwa sebenarnya Atma sudah mempunyai kekasih bernama Ana. Sekarang mereka harus LDR karena  Ana mendapatkan kerja di Surabaya. Aku terhenyak. Tidak tahu harus berkomentar apa. Sontak, aku langsung mencari konfirmasi dari Atma. Setelah dipojokkan, ahirnya ia mengaku bahwa Ana masih menjadi pacarnya dan tidak bisa ia putuskan. Aku bergeming. Terdiam. Tidak marah. Aku hanya langsung menghilang dari pandangannya.

Daduku menggiringku ke mulut ular kembali. Dan kali ini aku terjatuh sampai 6 tingkat. Aku berada di tingkat paling bawah. Aku menghempaskan daduku.

***

Aku menyerah dengan permainan ini. Aku bukan pemain yang tangguh. Aku tidak mau melanjutkannya. Aku lelah jika harus bertemu tangga dan ular lagi. Aku mengambil pionku dari atas kertas permainan. Meletakkannya dalam kotak. Memasukkan dadu ke dalam kotak. Melipat kertas permainan dan memasukkannya ke dalam kotak tersebut. Aku mengunci kotak itu. Memasukkannya ke dalam gudang. Tidak tahu kapan aku akan kembali bermain.

***

2 comments:

  1. setiap tingkat akan mendapati akan ada ular,
    memulailah permainannya sampai terlatih untuk melalui setiap kotak ular
    karena kotak ular adalah tahapannya, mengharuskan pion anda turun tingkat.
    namun pastikan, pion anda jatuh bukan untuk lengah, namun untuk bangkit.
    gullingkan dadunya kembali,jangan masukkan ke kotak gelapnya,ia pasti sesak disana..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mungkin kotak itu hanya menunggu sesorang yang tepat untuk mengajaknya bermain lagi. Hanya itu. :D

      Delete

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS