Selama 4 tahun saya kuliah di Bandung, hanya 2 kali saya solat Idul Adha. Eits, jangan salah. Itu bukan karena saya males tapi karena 2 Idul Adha tepat jatuh pada hari di mana saya kedatangan tamu bulanan. Jadilah saya cuma 1 kali solat Id di Bandung, tepatnya di Jalan Dago Timur, dan yang ke-2, saya solat di Bekasi. Deuh, jauh bener. Karena saya males kalau solat dan ber-Idul Adha sendirian di kota Bandung ini, jadilah saya ngungsi ke rumah saudara saya yang ada di Bekasi.
Saya datang ke Bekasi Sabtu siang kemarin naik kereta. Karena kursi eksekutif sudah pada habis (padahal saya belinya dari hari Rabu, jadilah saya naik eksekutif) Sekedar info harga kursi kereta Argo Parahyangan jurusan Bandung-Jakarta untuk bisnis 45 ribu, sedangkan yang eksekutif harganya 80 ribu. Okelah ini saya sekalian info kereta aja. Jadwal kereta yang dari Bandung ke Jakarta kalau gak salah, ada yang pagi jam 6, jam 9 (2 jam ini saya ragu), trus ada yang jam setengah 12 siang (saya ambil yang ini Sabtu kemarin), jam setengah 2, jam 3, jam setengah 5 sore, sisanya saya gatau. Stasiun pemberhentiannya: Bandung-Cimahi (saya lupa berangkatnya berhenti atau gak, tapi pas pulang dari Bekasi keretanya berhenti di Cimahi)-Purwakarta-Bekasi-Jatinegara-Gambir. Tumben naik kereta eksekutif, ternyata enak juga ya kursi eksekutifnya. Pakai AC, kursinya sendiri (maksudnya bukan kursi panjang, tapi kayak bis), dan yang paling penting, kalau kereta akan berhenti di stasiun, pasti ada pengumumannya. Jadi kita bisa bersiap-siap beberapa menit sebelum turun dan pastinya tidak perlu cemas kelewatan stasiun.
Lanjut cerita Idul Adha saya, ternyata Bude saya yang di Bekasi diberikan amanah untuk menyiapkan makan pagi dan makan siang untuk para panitia Idul Adha di mesjid dekat rumahnya. Jadilah ketika saya sampai di Bekasi saya ikut membantu Bude saya dan anaknya dalam mempersiapkan masakannya. Jujur, saya sama sekali tidak merasa keberatan bantu-bantu Bude saya ini. Saya justru seneng banget bisa ikutan kerja ketimbang saya hanya duduk-duduk atau menonton TV saja. Menu yang Bude saya siapkan untuk makan pagi adalah rendang, lontong sayur, perkedel dan sambel. Ketika saya datang, rendang, lontong sayur sudah selesai dimasak. Jadi hari Sabtu, setelah saya sampai di rumah Bude saya, saya membantu membuat perkedel kentang (sebenarnya saya hanya membantu mengulek kentang, membentuknya menjadi oval pipih dan membalurinya dengan telu sebelum digoreng). Pelajaran yang saya ambil dari proses membuat perkedel kentang ini adalah kalau mau menumbuk/mengulek kentang supaya hancur/lembut, kentang direndam, dipotong dadu dan digoreng terlebih dahulu (okay, judge my cooking skill from here. tapi, beneran deh ini saya baru tahu memang ). Yang kedua, kalau mau buat perkedel kentang lebih nampol lagi, campurkan saja kornet ke dalam adonan kentang. Dan benerlah, hasilnya emang lebih nampol.
Untuk hari Sabtu tugas saya cuma itu aja. Kerjaan saya yang lebih heboh ada di hari Minggunya. Karena hari Minggu adalah hari-H, jadilah semua masakan dibuat hari itu. Pagi harinya, saya mengantarkan lontong sayur dan rendang ke masjid. Setelah solat Id, saya membantu saudara saya menggoreng perkedel jagung, dan memsuk-masukkan perkedel ke dalam plastik. Setelah semua masakan jadi, kamipun memasukkan masakan tersebut ke dalam kotak. Sekitar jam 11 siang, 60 kotak nasi siap diantarkan ke mesjid. Saya dan saudara saya yang mengantarkan nasi-nasi tersebut ke mesjid. Karena letak mesjid dan rumah saudara saya dekat, kamipun berjalan kaki. Ketika berjalan, kami sempat melihat situasi penyembelihan di musholla terdekat. Kami melihat bahwa hampir semua kurban telah disembelih, tinggal 1 sapi saja yang belum. Sapi itu berdiri tegak, tapi mukanya menoleh ke arah tubuh sapi yang telah disembelih. Saya melihat muka sapi itu, dan entah apakah saya berelebihan atau memang seperti itu, muka sapi itu tampang teduh, seakan pasrah menerima nasibnya. Entahlah, saya pun bertanya-tanya, apa yang ada di dalam pikiran si sapi, melihat teman-temannya diseret, dan disembelih. Sadarkah dia bahwa dia akan mengalami hal yang sama? Hm...
Oke, balik dari masjid, saya sempat tidur siang sebentar. Lalu makan dan menemani saudara saya membagikn daging kurban untuk beberapa anggota komplaks. Sorenya, kami harus mengantarkan sekarung daging kambing ke sebuah PAUD yang jaraknya lumayan jauh dari rumah saudara saya. Kamipun naik motor. Belum sampai ke tempat tujuan, hujan turun. Karena merasa tanggung untuk turun dan memakai jas hujan, kamipun menerobos hujan sampai di tempat tujuan. Setelah mengantarkan daging, kami kembali dan bodohnya kami tidak mau menggunakan jas hujan lagi karena banyak orang berada di tempat motor kami diparkir. Kami tidak mau dibilang aneh, karena baru memakai jas hujan. Jadilah kami pergi dan mencari tempat sepi untuk memakai jas huja. Melihat ada toko tutup kami berhenti di sana, eh ternyata di sana ada orang. Tidak jadilah kami berhenti di sana. Bapak-bapak yang ada di toko itu sempat berteriak "Kok, ga jadi Mbak?" Akhirnya, kami menemukan toko yang tutup dan tidak ada orang. Di sanalah kami memakai jas hujan. Mengenang cerita ini, saya merasa sungguh aneh.
Saya pulang hari Senin, naik kereta jam 12 siang. Sebelum pulang saya melayat dulu ke rumah tetangga saudara saya. Hari Minggu malam, tetangga saudara saya meninggal karena sakit jantung. Karena saya tidak mengenal keluarganya, saya hanya diam mendengarkan pembicaraan antara istri almarhum dengan tamu. Saya terhentak tiba-tiba ketika istri almarhumah berkata seperti ini "Iya, lapangan di belakang becek, banyak air, ga bagus. Anak-anak ga mau kala ayahnya dikubur di sana. Mereka bilang, ayah mereka selalu memberikan yang terbaik pada mereka, masa kami anak-anaknya di saat terakhir seperti ini tidak memberikan yang terakhir pada ayah"
Entah kenapa setelah mendengarkan itu, saya ingin menangis. Saya langsung ingat ayah saya dengan segala macam obat-obatan yang harus ia minum. Saya ingin sekali cepat pulang ke Denpasar dan menyenangkan hati ayah dan ibu saya.
No comments:
Post a Comment