Pages

Sepatu dan Anak Jalanan

Monday, November 14, 2011

Saya membaca 2 artikel di majalah cewek yang sama di dua edisi yang berbeda. Tiba-tiba saya membandingkan kedua artikel tersebut. Bukan dari sisi jurnalismenya, tapi isinya. Satu artikel bercerita tentang seorang cewek yang hobi mengoleksi sepatu. Koleksi sepatumya hampir ratusan. Bahkan, si cewek mengatakan bahwa dari banyak sepatu yang ia miliki, hanya sedikit yang ia pakai. 

Artikel lainnya yang saya baca adalah mengenai anak jalanan. Mungkin kita sudah tahu/sering membaca dan mendengar mengenai kisah anak-anak jalanan di Indonesia. Di artikel itu diceritakan bagaimana seorang anak bisa terjun ke jalanan untuk mencari uang. Faktor utama yang menyebabkan mereka menjadi anak jalanan adalah tentu saja faktor keuangan. Ya, mereka berasal dari keluarga miskin. Karena orangtua mereka berpenghasilan rendah, mereka pun turun ke jalan untuk membiayai hidup mereka sendiri. Di usia yang masih kecil itu, mereka sudah melihat/melakukan hal-hal yang mungkin tidak pernah saya yang berumur 22 tahun ini lakukan/lihat seumur hidup saya. Hidup mereka sepulang sekolah (kalau mereka sekolah) dihabiskan di jalanan untuk mengamen ataupun jualan. 


Di sini, saya sama sekali tidak bermaksud untuk menghakimi cewek pengkoleksi sepatu atas hobinya. That's her hobby, why not? Saya gak ada masalah dengan itu. Kalau saya mampu saya juga mungkin akan jadi pengkolektor tas. Sayang, kemampuan ekonomi saya tidak mendukung :D. Lalu, apa yang ingin saya kemukakan disini? Yup, ketimpangan ekonomi yang amat sangat di Indonesia, terutama di Jakarta. Jakarta merupakan ibukota dan saya sangat merasakan ketimpangan itu ketika saya berada di Jakarta. Sebelumnya, saya tahu bahwa perbedaan antara si kaya dan si miskin di Jakarta sangat besar. Namun, ketika saya tinggal di Jakarta selama 2 bulan saya benar-benar memahami apa yang namanya kesenjangan sosial itu. 

Selama saya tinggal di Jakarta untuk KP (Kerja Praktek), setiap akhir minggu saya dan teman saya selalu pergi jalan-jalan. Biasanya kami akan pergi ke mall. Karena malas dan takut naik metromini (kami belum biasa naik metromini) jadilah kami naik kereta dan busway. Suasana stasiun tidak pernah berbeda. Ramai, banyak orang tergesa-gesa, saling rebutan masuk kereta supaya tidak berdiri. Biasanya kalau sudah begini saya akan tunggu di belakang sampai kerumunan orang di depan saya sudah masuk ke dalam kereta semua. Saya lebih baik berdiri daripada harus berebutan dengan orang-orang. Rebutan saja sih tidak apa, tapi kalau sampai dipukul dan ditendang? Saya selalu menggunakan kereta ekonomi AC. Kenapa? Sekali lagi karena saya takut. Saya takut jika harus naik kereta ekonomi yang hargaya Rp 1.500. Jika sudah penuh, biasanya banyak orang yang akan naik ke atas kereta atau bergelantungan di belakang kereta. 

Semua bayangan tentang hal yang saya lihat di kereta tampak tak pernah ada ketika saya masuk ke dalam mall-mall besar di Jakarta. Toko-toko designer terkemuka, orang-orang berpakaian rapi, harum lalu lalang masuk kedalam toko-toko sambil menenteng-nenteng tas belanjaan. Para pramuniaga dengan ramah akan menyapa kita dan menemani kita ketika sednag bereblanja di toko tersebut. Ketika saya masuk ke sebuah toko yang harga kaos paling murah adalah 200 ribu, saya melihat seorang cewek membawa 3 helai baju (bukan kaos) dengan santainya ke kasir. Saya tidak pernah membeli baju di toko-toko seperti ini. Saya adalah seorang windows shopper sejati. Ketika saya makan di food court/restoran tidak jarang saya melihat orang-orang memesan banyak jenis makanan yang pada akhirnya tidak akan mereka habiskan. Makanan itupun dibuang. 

Lalu, saya pulang dari mall menggunakan kereta. Lagi, saya melihat pemandangan yang sama di stasiun. Orang-orang berebutan, tergesa-gesa, saling sikut mencari tempat duduk. Naik kereta juga memberikan pandangan bagaimana kondisi rumah-rumah yang ada di samping kiri kanan rel kereta. Masya Allah, jarak rumah (rumah kardus) mereka sedekat itu dengan rel kereta. 

Apa yang saya lihat mungkin masih jauh dari realitanya. Tapi dari perjalanan saya, saya sudah bisa melihat bagaimana perbedaan budaya hidup antara mereka yang memiliki uang berlebih dan mereka yang hidup pas-pasan. Seperti dua artikel yang saya bandingkan. Ketika seorang cewek bisa mengkoleksi sepatu menggunakan uang yang dimiliki sedangkan seorang anak berumur 9 tahun harus mencari duit dengan menjadi pengamen. Pelajaran untuk saya, selalu mensyukuri apapun yang saya miliki. 


No comments:

Post a Comment

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS