Pages

Counting The Day: Undangan, Souvenir dan Cincin Kawin

Tuesday, September 6, 2016

3 hal yang saya tulis di judul merupakan komponen utama di pernikahan. Maka, saya dan Nofec dari jauh-jauh hari sudah mulai mencari tempat untuk membuat 3 hal itu, terutama undangan dan souvenir. Dari hasil pencarian internet dan kata teman yang sudah menikah, tempat paling terkenal dan oke untuk membuat undangan adalah di Pasar Tebet. Maka, pergilah saya dan Nofec ke sana. 

Seperti yang dikatakan, pasar Tebet ini memang surga bagi calon pengantin yang sedang mencari undangan. Banyak toko yang menjual undangan dengan berbagai macam desain. Tapi pasar ini bukan tempat yang tepat buat saya yang hanya ingin memesan undangan dalam jumlah sedikit. Saya memang tidak mengundang banyak orang di pernikahan saya nanti. Saya ingin membuat pesta yang sedikit lebih privat. Tidak terlalu privat tapi tidak sampai membuat saya mengundang 1000 orang. Saya hanya ingin memesan 250 undangan. Sayangnya, di semua toko yang saya tanyakan di Pasar Tebet, jumlah minimum untuk memesan undangan adalah 500 (atau 300? Saya sedikit lupa). Jadi kalau saya memesan undangan di bawah itu, harga cetak akan tetap dikenakan harga cetak untuk 500 undangan, makan undangan saya yang hanya 250 saja pun akan jauh lebih mahal. Jenis undangan termurah bisa mencapai harga di atas 5000 rupiah. Dan itu diluar budget saya yang hanya 5000 rupiah per undangan. Maka, setelah cukup banyak bertanya ke beberapa toko dan tidak menemukan harga yang cocok, saya dan Nofec memutuskan untu tidak membuat undangan di Pasar Tebet dan berpikir mungkin kami akan mencoba bertanya-tanya di percetakan di sekitar Cilegon. 


Waktu itu saya ingat, ada rekan kerja yang menikah dan saya suka desain undangannya yang simpel dan menurut saya mungkin harganya murah. Dari informasi rekan kerja saya itu, kamipun pergi ke percetakan tempat dia membuat undangan. Saya lupa nama percetakannya. Lokasinya di Serang. Sampai di sana, kami melihat-lihat desain undangan mereka dan tetap memilih desain undangan yang sama dengan yang dipakai rekan kerja saya. Setelah nego harga, akhirnya kami dapat harga untuk 1 undangan hanya Rp. 3,350,-. Dengan harga segitu, kami sudah mendapatkan bungkus plastik dan kartu ucapan terimakasih untuk souvenir. Yeay! Di bawah budget. Hal yang paling menyenangkan ketika menyiapkan pernikahan adalah ketika menemukan vendor dengan harga di bawah budget. Undangannya sendiri selesai dalam waktu sebulan. Foto di bawah adalah desain undangan saya. 




Weekend Corner: Foto Prewed dan Film!

Sunday, August 28, 2016

FOTO PREWED

Akhirnya setelah bolak-balik nanya ke Nofec, “kita perlu prewed gak ya?” dan selalu dijawab sama si Nofec, “Ya terserah kamu.”, kami foto prewed juga! Saya bukannya gak berkeinginan buat prewed, saya punya impian prewed seperti apa, konsepnya apa, pake baju apa, lokasi dimana. Tapi entah kenapa setelah melakukan budgetting biaya pernikahan, lalu tanya ke banyak tempat untuk harga prewedding, keinginan saya untuk prewed makin lama makin hilang. Saya jadi berpikir seberapa pentingnya foto prewed ini sampai membuat saya mau mengeluarkan duit beberapa juta. Sebenarnya saya bisa saja minta tolong bantuan teman yang memang suka foto, tapi seriusan semakin mendekati hari H saya semakin malas untu foto prewed, karena saya tidak merasa foto prewed ini esensial untuk proses pernikahan saya nantinya.

Tapi sebulan sebelum hari H saya diskusi lagi sama si Nofec, dan dia bilang, “kita foto prewed aja sederhana, paling gak kita punya foto untuk dipajang di dekat meja tamu pas resepsi.” Benar juga. Akhirnya kami memutuskan untuk foto prewed studio di Concept_Photo Serang. Saya nemu tempat foto prewed ini dari instagram. Mereka memang suka foto prewed indoor atau outdoor dan juga foto wedding. Setelah saya tanya-tanya harga saya ambil paket foto studio paling murah. Paket 500 ribu dan ditambah make up 300 ribu. Saya pun janjian foto hari Sabtu, 27 Agustus jam 10 pagi.

Concept_Photo ini lokasinya di Jl. Kebon Kupil, Serang. Studionya mudah ditemukan, karena ada tulisan Concept_Photo besar di dinding atas luar bangunan. Dari luar bangunannya tampak masih sedikit berantakan, masih bakal ada pembangunan sepertinya. Karena tukang riasnya harus pergi ke Tangerang jam 10 pagi, jadwal saya jadi dimajukan jam 9. Jam 9 saya tiba, saya langsung dirias. Setelah dirias kamipun langsung difoto distudio, setelah sebelumnya memilih tema. Proses fotonya sendiri sangat menyenangkan. Mas fotografer sangat komunikatif dan lucu. Saya dan Nofec yang jarang banget buat difoto studio seperti ini pun merasa tidak kaku akibat atmosfer yang diciptakan oleh si mas fotografer dan asistennya. Secara keseluruhan, saya suka foto disini.

Nanti kalau sudah selesai hasilnya, akan saya post juga di sini. Fotonya sendiri selesai dan bisa diambil dalam 1 minggu. Gak sabar liat hasilnya. 

MOVIE TIME

Saya dan Nofec kalau sudah bingung mau ngapain di akhir pekan, biasanya kami akan nonton film saja. Sekedar informasi, si Nofec suka banget nonton dan koleksi film. Saya suka bilang dia maniak film. Dia punya HD 1 terra 4 buah untuk menyimpan koleksi film, serial, dan musiknya. Weekend ini saya nonton film Green Room dan Ruby Sparks. 

Green Room bercerita tentang sekelompok grup band amatir yang tampil di sebuah bar dan seorang personelnya secara tidak sengaja masuk ke dalam ruang tunggu artis (green room) yang sudah diisi oleh grup penampil selanjutnya dan melihar seseorang ditusuk di kepala sampai meninggal. Akibatnya, grup band mereka harus tertahan di dalam ruang tunggu tersebut karena pemilik bar ingin membunuh mereka karena telah menyaksikan penusukan tersebut. Ceritapun terfokus tentang bagaimana para anggota band tersebut berusaha keluar dari green room tanpa terbunuh oleh pemilik bar dan bawahannya.

Saya sendiri gak menonton film ini sampai habis. Karena terlalu banyak darah. Ada dua film yang gak akan saya tonton. Film horor dan film sadis yang banyak darah di scene-nya. Dan film Green Room ini ada film yang kedua. Buat yang suka film tegang, pasti suka dengan film ini.

Film kedua yang saya tonton Ruby Sparks. Saya suka film ini. Ceritanya sendiri tentang penulis novel terkenal, bernama Calvin, yang hidup sendiri dan tidak memiliki banyak teman. Mungkin hanya kakaknya satu-satunya orang yang bergaul dengannya. Calvin sedang berpikir untuk ide novel selanjutnya. Dan diapun berimajinasi tentang seorang perempuan yang menjadi pacarnya. Imajinasnya tentang wanita ini pun ia tuangkan ke dalam tulisan untuk menjadi novel. Dan suatu pagi, ia terbangun dan mendapati seorang wanita yang sama persis dengan imajinasinya berada di dapurnya dan mengaku beranama Ruby (nama gadis di imajinasi Calvin) dan pacar Calvin.


Ide ceritanya menarik, seperti fim Stranger Than Fiction. Seorang karakter novel yang merupakan imajinasi penulis, ternyata benar-benar hidup di dunia. Kepribadian, jalan hidup karakter tersebut pun benar-benar ditentukan oleh apa yang ditulis si penulis. Ketika Ruby mulai menjaga jarak dengan Calvin, Calvin pun menulis bahwa Ruby akan menjadi sengsara ketika harus jauh dari Calvin. Akbatnya, Ruby pun menjadi gadis yang obsesif. Bahkan untuk mengangkat telpon pun, Ruby harus mengikuti Calvin.

Yang saya suka dari film ini adalah konfliknya. Konflik film ini lebih ke karakter Calvin yang menginginkan seorang pacar yang harus sempurna sesuai dengan imajinasinya. Dengan karakter seperti itu Calvin terus berusaha menulis untuk ‘memperbaiki’ Ruby agar sesuai dengan imajinasinya.

Cerpen: Mencair

Thursday, July 28, 2016

MENCAIR

Erwin membuka pintu di hadapan mereka berdua, Mala menjejakkan kakinya terlebih dahulu di keset sebelum masuk ke restoran Italia ini. Hampir tidak ada kursi tersisa di restoran itu sejauh mata Mala memandang. Erwin mencoba bertanya ke pelayan yang lewat apakah masi ada kursi kosong untuk dua orang, pelayan itu meminta maaf. Jakarta diguyur hujan dan sekarang pukul 7 malam di hari Jum’at. Tidak heran jika restoran yang berada di daerah Sudirman ini penuh.

“Mas Erwin!” Seseorang memanggil Erwin ketika mereka hendak keluar restoran. Mala dan Erwin mengamati sekeliling restoran mencari sumber suara.

“Mas Erwin! Mba Mala!” Mala menemukan seorang wanita dari sudut kiri restoran tengah melambaikan tangan ke arah mereka berdua. Kinan. Erwin menatap Mala meminta persetujuan wanita berumur 28 tahun ini. Mala menyunggingkan senyuman tipis sambil menganggukkan kepalanya singkat. Mereka berjalan menuju meja bernomor 14.

“Mas Erwin, Mba Mala, apa kabar? Duh, ga nyangka malah ketemu di sini. Dari dulu ngerencanain ketemuan ga bisa-bisa. Eh, sekarang malah ga sengaja ketemu.” Cerocos Kinan ketika Mala dan Erwin tiba di mejanya. Mala memeluk hangat juniornya ini.  

“Nando! Elu sok sibuk terus ni makanya gak jadi terus kita ketemuan.” Pria yang sedari tadi duduk di samping Mala berdiri dan merangkul Erwin.

“Maling teriak maling lo. Siapa yang pulang kerja selalu jam 10 malam?” Erwin cengengesan. Dia menjabat tangan Nando.

Tak sengaja Mala dan Nando bertukar pandangan. Nando hendak mengulurkan tangannya tapi ia tarik kembali. Mala hanya tersenyum tipis sambil membuang pandangannya.

Suasana hening sesaat di antara mereka berempat. Sampai akhirnya Kinan menyuru mereka berempat untuk duduk. Kinan berhadapan dengan Erwin. Dan Mala berhadapan dengan Nando. Susah sekali bagi Mala agar tidak memandang lurus ke depan. Ia jadi lebih suka memandang piring keramik putih yang ada di atas meja.

“Restorannya lagi penuh nih. Maklum, lagi ngehits banget ini restoran di instagram. Jadi banyak yang ke sini. Padahal sebenernya makanannya biasa aja. Tapi ya daripada nerobos ujan, banjir, kena macet, mending pada neduh di sini dulu aja” ujar Kinan berusaha memecahkan kekakuan antara Mala dan Nando.

Kinan mengangkat tangannya memanggil pelayan. Mala dan Erwin memesan pasta carbonara dan capuccino hangat.

Cerpen: KAPAN?

Monday, June 27, 2016

KAPAN?

Mei, 2010

“Jadi, kalian kapan mau nyusul Edo?”
Meira, Ira, Ella dan Karin tersenyum manis.
“Nantilah Bude, tunggu saat yang tepat. Lagian kami masih muda ini.”
“Masih muda gimana Mei? Umur kamu berapa?”
“24 Bude.”
“Lah, 24 kok dibilang masih muda. Itu si Airin, istrinya Edo, umurnya baru 22 kok. Masa’ kamu dikalahin sama dia.”
Meira tersenyum kecut.
“Mas Anwar sudah 30 tahun juga belum nikah Bude.” Tukas Ira membela Meira.
“Lah, kok kamu mau disamain sama si Anwar? Dia kan cowok. Kamu kan cewek, gak bagus kalau cewek nikahnya ketuaan. Nanti dibilang perawan tua lho. Kamu mau dibilang perawan tua? Lagian si Anwar itu belum mapan banget, masih membangun bisnisnya dari nol.”
“Ella juga masi membangun bisnis baju dari nol Bude. Masih butuh waktulah buat nikah.” Tak mau kalah, Ella menyela omongan Budenya.
“Lah, gimana sih kamu ini? Kamu kan cewek. Bukan tugas utama kamu buat menafkahi keluarga kamu. Ya gak papa kalo mau bisnis, tapi ya sekalian jalan gitu. Jangan nunggu sampe bisnisnya beromzet milyaran rupiah baru kamu nyari pasangan. Udah habis nanti cowok-cowok yang berkualitas tinggi.”
Ella meringis. Sungguh tidak ada gunanya berdebat dengan Budenya ini.
“Aku belum punya cowok juga Bude. Mau nikah sama siapa?” Kali ini giliran Karin yang berusaha mematahkan ocehan Budenya.
“Ya, kamu cari Rin. Mau Bude cariin? Banyak nih teman-teman Bude yang punya anak cowok. Mau dijodohin?”
Karin tersenyum kikuk, “Gak usah Bude, gak papa. Biar Karin cari sendiri nanti.”
“Mei sama Ella udah punya pacar kan? Mau nunggu apa lagi kalian? Si Mei juga seinget tante pacarannya udah lama. Ayo disegerakan saja.”
“Iya Bude.” Jawab Meira dan Ella bersamaan.
“Ya sudah, Bude mau salaman dulu sama tamu yang lain.”

Meira, Ira, Ella dan Karin menghela nafas panjang ketika sosok Bude Wati menghilang dari pandangan mereka. Sejenak mereka saling berpandangan dan tertawa terbahak-bahak

“Gak ada yang perlu dikhawatirkan kan?” ungkap Meira sambil merangkul bahu Ella. Ella menggeleng. Karin dan Ira tersenyum lepas.

***

Counting the Day: Engagement Day!

Thursday, March 17, 2016

Yeay! Akhirnya satu langkah penting dalam perjalanan kami berdua terlewati. Tanggal 20 Februari kemarin, secara resmi Nofec melamar saya di Bali. Acara lamaran sendiri dilaksanakan di rumah saya. Karena hampir semua anggota keluarga besar saya (dari Ayah dan Ibu) ada di Bali, maka yang hadir di acara lamaran ini pun lumayan banyak. Ibu saya sampai harus memasang tenda di depan rumah.  

Acaranya sendiri sangat sederhanan dan singkat. Ada kata sambutan dari keluarga Nofec dan dari keluarga saya sendiri. Perkenalan keluarga. Dan akhirnya tukar cincin. Untuk acara tukar cincin ini, awalnya saya dan Nofec agak bingung. Berdasarkan petunjuk ayah saya, bahwa dalam acara lamaran ada tukar cincin. Tapi, berdasarkan petunjuk keluarga Nofec, di acara lamaran tidak ada tukar cincin. Tukar cincin dilakukan hanya pada saat akad nikah. Dengan dua cerita yang berbeda, saya dan Nofec pun memutuskan membeli cincin untuk lamaran dan cincin untuk akad nikah. Bedanya, cincin untuk lamaran, saya beli yang murah. Cincin perak, 500 ribu untuk 2 cincin. Rencananya kami akan meng-update cincin kami dengan cincin emas putih untuk akad nikah nanti (kalau diberikan rejeki. ^^). Karena jujur, saya tidak merasa urusan cincin kawin ini hal yang sangat penting. Toh, bukan syarat sahnya suatu pernikahan kan?

Di acara lamaran tersebut, diputuskan lah bahwa pernikahan saya InsyaAllah akan dilaksanakan tanggal 24 September. Sebenarnya sebelumnya saya dan Nofec sudah memutuskan tanggal sih. Hanya saja pada saat lamaran lebih dipastikan saja. Dalam menentukan tanggal pernikahan, saya dan Nofec tidak menggunakan perhitungan hari baik. Kami sendiri juga tidak tahu bagaimana menghitung hari baik. Yang menjadi pertimbangan adalah kakak Nofec akan ditugaskan di luar pulau Jawa dari Maret sampai Agustus. Jadi, Nofec ingin pernikahannya di atas bulan Agustus. Oke. Awal bulan September sudah ada keluarga Nofec yang akan menikah. Di pertengahan bulan September ada Idul Adha dan juga di Bali ada hari raya Galungan dan Kuningan. Kalau saya ngotot buat acara di tengah September, teman-teman saya di Bali gak ada yang bisa datang. Akhirnya kami memutuskan untuk mengambil tanggal 24 September. Kakak saya menyarankan di awal Oktober. Katanya tanggal 24 itu tanggal tua. Well, karena saya pikir lebih cepat menikah lebih baik, walau cuma beda 1 minggu, saya tetap memutuskan di 24 September.

Banyak hal yang harus saya siapkan untuk pernikahan nanti. Tapi saya beruntung mempunyai orangtua yang masih semangat dan siap membantu saya. Ayah saya yang langsung mendeklarasikan dirinya sebagai EO untuk acara saya. Beliau sudah memikirkan konsep acaranya. Ibu saya sudah siap pusing dengan segala hal-hal diluar acara utama. Pengajian, transportasi keluarga, dll.


Banyak hal yang ingin saya sampaikan tentang persiapan pernikahan. Bukan hanya tentang pencarian vendor-vendor untuk pernikahan, tetapi juga segala perdebatan, keseruan, drama dibalik persiapan pernikahan. Sedikit demi sedikit pasti akan saya ceritakan di blog ini. 


Ini waktu pemasanagan cincin. Sedikit foto yang saya simpan ternyata.
 Foto lengkapnya ada di Bali. T.T

Counting The Day: Acara Oke dengan Budget Seminimum Mungkin

Thursday, January 28, 2016

Dulu saya sempat buat post dengan tema counting the day. Waktu itu saya berniat untuk menuliskan segala persiapan yang dilakukan untuk pernikahan kakak saya. Tapi, cuma 2 post yang saya buat dan saya buat menghilang. Hehe.. 

Kali ini yang ingin saya bahas adalah persiapan pernikahan saya. Iya, saya. Ikrima Nathisa. Akhirnya akan menikah juga tahun ini. Yuhuuuu~~~~ Tanggal pastinya nanti aja deh saya laporkan setelah saya lamaran. Yang pasti saya akan melangsungkan acara lamaran di Bali tanggal 20 Februari nanti. Sumpah. Baru lamaran aja saya sudah tegang begini. 

Untuk kali ini, saya mau cerita tentang bagaimana susahnya saya nyari-nyari vendor pernikahan saya. Untuk siapapun yang akan menikah pasti tahu bahwa gedung pernikahan adalah hal utama yang harus diperhatikan. Kadang ada yang harus booking gedung dari setahun sebelumnya. Wah, saya baru dapat tanggal aja bulan Desember kemarin. Awalnya agak khawatir sih gak dapat gedung di tanggal yang saya inginkan. Tapi kata si mama, gak papa. Disurvey dulu aja. 

Nah ini masalah utamanya. Survey tempat. Saya sekarang kerja dan berdomisili di Cilegon. Sedangkan acara pernikahan saya nantinya akan dilaksanakan di Denpasar, Bali. Kenapa di Bali? Karena keluarga saya hampir semuanya ada di sana. Saya lahir dan dibesarkan di sana. Dari kecil sampai SMA saya tinggal di Bali. Dan bapak saya memang asli Bali. Maka dari itu, pastilah saya akan menyelenggarakan pernikahan di Bali. 

Susah harus survey tempat dari jauh. Metode yang paling gampang dilakukan adalah email. Jadi, saya cari di internet gedung dan hotel yang sering digunakan sebagai tempat resepsi pernikahan. Saya juga tanya-tanya teman saya di Bali. Sudah dapat nama gedungnya, saya langsung menyebarkan email ke kontak hotel/gedung tersebut menanyakan harga sewa atau harga paket pernikahan yang mereka tawarkan. Lumayan banyak yang saya email. Ada yang langsung membalas, ada juga yang sampai saat ini belum membalas. Beberapa tempat resepsi yang sempat saya tanyakan antara lain Hotel Santhi, Hotel Nikki, Hotel Inna Sanur, Hotel Sanur Paradise, Hongkong Garden Restaurant, Restoran Canang Sari, Bhumi, Hotel Inna Puputan, Taman Jepun Bali. Dan dari semua tempat yang memberikan harga paket pernikahannya, hanya 2 tempat yang sekiranya sangat cocok di kantong saya. Hotel Nikki dan Canang Sari. 

Dari awal merencanakan pernikahan, saya sudah menargetkan bahwa jumlah undangan yang akan diundang hanya 300 orang. Dan untuk orang sebanyak itu, budget saya untuk tempat resepsi dan makanannya 30-40 juta. Waktu awal-awal mencari vendor di internet susah banget rasanya dapat info tempat yang murah di Bali. Kalau ada info di forum-forum pernikahan biasanya infonya untuk pernikahan di villa, pinggir pantai, yang harganya bikin sedih. Saya sempat menghubungi WO karena ada yang menyarankan WO tersebut di forum. Katanya si WO ini kerjanya oke dan lumayan murah. Sayapun mencoba menghubungi lewat email. WO ini menanyakan untuk berapa undangan dan berapa budget yang ada. Tanpa rasa malu, saya bilang aja untuk 300 orang dengan budget 30-40 juta. Saya langsung ditolak. Saya tanya memang untuk undangan segitu harga paling murah yang ditawarkan berapa? Dijawab, 250-300 juta. Saya langsung tutup email, tidak berniat untuk membalasnya. Dari situ, saya tidak berusaha untuk bertanya ke WO manapun. Huhuhu... 

Dan Alhamdulillah setelah tanya sana-sini, masih ada hotel yang memberikan penawaran dengan kisaran harga segitu. Dan akhirnya saya (lebih tepatnya saya, pasangan dan bapak/ibu saya) memilih 
Hotel Nikki. Dengan harga 40.5 juta (bisa dilihat di web hotel Nikki), kami sudah mendapat tempat, makanan, entertainment, kamar untuk berias dan kamar pengantin untuk menginap semalam. Fiuh. Plong juga hati ini. Akhirnya dapet tempat resepsi. Peer selanjutnya adalah mencari vendor fotografi/videografi, make up dan baju pengantin. Masih panjang perjalanan. Dan susah banget nyari infonya dari internet. Doakan semoga semuanya lancar yaa.. 

Cerpen: Plaza Widya

Senin, 15 April 2008 
Plaza Widya, 10 am

Jari jemari Asa mengetuk meja tak jelas. Sesekali ia mencorat-coret kertas di depannya dengan kata tak jelas. Asa. Bali. Material. Teknik Material. Asa. Barra. Memang kebiasannya mencorat-coret kertas jika  sedang bingung, pusing, atau lagi menunggu seseorang. Dan nama terakhir yang dia tulis adalah nama orang yang sedang dia tunggu kedatangannya di Plaza Widya ini. Plaza Widya atau yang lebih terkenal dengan sebutan PlaWid adalah salah satu spot paling oke, menurut Asa, di kampusnya yang kecil ini. Tempat ini merupakan ruangan terbuka dengan pepohonan yang meneduhi kursi-kursi dan meja-meja batu. Seperti sebuah taman. Letaknya  tepat di jantung kampus, sehingga banyak orang yang berseliweran, datang-pergi, melewati tempat ini. Banyak mahasiswa duduk-duduk di sana untuk berdiskusi atau hanya sekedar ngadem dari teriknya sinar matahari. PlaWid banyak disukai mahasiswa karena tempatnya yang asri cocok digunakan untuk beristirahat. Bagi Asa, PlaWid mempunyai arti yang lebih. Setiap hari Senin di jam yang sama dia selalu duduk di sana, entah itu sendiri atau bersama teman-temannya, untuk menanti kedatangan sosok yang selama sebulan terakhir ini selalu membuatnya tersenyum. Barra.

Hari ini Asa duduk sendiri. Sudah hampir setengah jam ia menunggu. Seharusnya Asa mengerjakan tugas Fisikanya, tapi dia sudah terlanjur nervous karena akan bertemu Barra. Mau menulis saja malas, apalagi harus mengerjakan soal-soal mekanika. Asa penasaran, jam segini seharusnya Barra sudah muncul di sini, apa dia tidak kuliah? Bolos? Rasanya tidak mungkin untuk anak yang mendapatkan nilai A di mata kuliah kalkulus dan kimia. Lalu ke mana dia? Tiba-tiba Asa melihat sosok pria tinggi, berkulit coklat, mengenakan kaus hitam berjalan tepat ke arahnya. Bibir Asa tidak bisa ditahan untuk tidak menyunggingkan senyuman. Makin lama sosok itu makin mendekat. Tepat 2 meter di depan Asa, sosok itu  melihat Asa sekilas, dan berbelok ke kanan Asa. Asa pun tersenyum puas, mengemasi barang-barangnya dan bergegas untuk mengikuti kelas Fisika.

Senin, 15 April 2008
Kamar kosan Barra, 8 pm

Cewek itu lagi. Untung tadi gue lewat PlaWid. Gue mesti inget ni, tiap Senin kelar kuliah  Dasar Pemrograman gue mesti lewat PlaWid. Cewek itu pasti ada di sana. Kata si Lala namanya Asa.
Ah, sialan! Padahal tadi gue udah niat tuh buat kenalan. Udah deket banget  gue jalan dari dia. Bodohnya, gue malah belok. Sial! Bego banget si lu Ra! Kalo terus gini kapan lo bisa kenalan? Masa lo cuma ngarep dari 30 detik di PlaWid tiap hari Senin buat ngeliat Asa. Gampang kan, lo cuma tinggal nanya nama aja. AH! Teori sih gampang, tapi susah banget buat ngumpulin nyali. Buat berdiri di sampingnya aja udah bikin gue panas dingin, apalagi kenalan. Sial! Gimana ni? Ato….  gue minta tolong si Lala aja buat ngenalin? Lala kan kenal Asa, sama-sama anak voli. Gak ah, gak gentle banget gue jadi cowok. Sial, sial, sial!!! Enaknya gimana ya?

Senin, 21 April 2008
Kantin, 12 am

“Si Barra tadi gak lewat PlaWid.” Ujar Asa sedih  tepat ketika ia duduk.
“Lu nunggu lagi?” Sisil bertanya heran.
“Ya. Dia gak datang Sil. Gue kesel deh. Udah hampir sejaman gue nunggu dia, sampe gue telat Fisika, tapi dianya gak nongol-nongol.”
“Parah banget sih lu Sa. Mau sampe kapan lo jadi kayak orang bego di PlaWid tiap Senin jam 10 cuma buat nunggu ke-gakpastian aja?”
Asa mendesah pelan. Memasukkan sesendok nasi goreng ke mulutnya, menyeruput teh manis dan terdiam.
“Kan gue udah bilang, kenapa si lu gak minta temen lo yang anak voli itu, siapa? Lala kan namanya. Minta tolonglah buat ngenalin lu ke Barra. Mereka sama-sama anak Mesin kan? Atau lu mau gue minta Edi buat nolongin lu?”
“Jangan Sil! Si Edi mulutnya kemana-mana.”
“Yaudah, minta tolonglah sama Lala. Apa lah alasannya, minjem bukulah, minta diajarinlah, apalah”
“ Tapi gue juga gak terlalu akrab sama Lala.”
“Yah, trus kenapa? Bukan masalah besar kan? Lu cuma minta tolong dikenalin aja Sa.”
“Tapi gue jadi berasa cewek kegatelan gak sih minta-minta kenalan.”
“Daripada elo gak punya kejelasan gini. Ngarep orang yang bahkan mungkin gak tau akan keeksistensian lo di kampus ini. Lagian, cuma kenalan kan? Lo gak langsung bakal nyium Barra abis lo kenalan sama dia kan?”
Asa mengangguk. Berpikir. Sudah beribu kali Sisil menyuruhnya kenalan dan sudah beribu kali pula dia berpikir unutuk minta tolong Lala. Apa kali ini dia berani? Asa mendesah lagi, dan memasukkan sendokan terakhir nasi goreng ke mulutnya.

Cerpen: PIlihan Gia

Wednesday, January 27, 2016

Pilihan Gia

Pernah merasa sudah membuat kesalahan dalam penentuan pilihan hidupmu? Pilihan yang akan menentukan tujuan hidupmu? Pilihan yang seharusnya kau pikirkan dengan matang untuk memutuskan? Gia merasakan hal itu.

Pilihan #1

Hampir semua orang yang mengetahui latar belakang pendidikan Gia akan berdecak kagum atau memuji otak Gia. Walaupun sebenarnya kecerdasan Gia tidak membuatnya mengikuti berbagai macam olimpiade nasional maupun internasional seperti teman-teman SMA-nya. Tapi, begitu orang-orang mengetahui sekolah tempat Gia menimba ilmu mereka tidak sungkan-sungkan untuk memuji. “ Ya ampun Gia, pintar sekali, dapet di SMPN Bakti Nusantara”. Itu kata tante tetangga sebelah ketika Gia berkata bahwa ia diterima di SMP unggulan di kotanya itu. Lain lagi puji omnya ketika SMAN Bakti Nusantara menerimanya sebagai salah satu siswanya. “Weits,, jago juga ini anak, SMP di BakNus, SMA juga di BakNus. Pasti Gia belajar terus ya buat keterima di sana. Ajarin anak Om juga dong. Si Saski kan juga mau masuk SMA.” Gia hanya tersenyum setiap kali ia dipuji. Bangga tentu saja. Rasanya ia memiliki predikat sebagai anak pintar. Dari SD sampai SMA Gia selalu memilih sendri sekolah yang ia inginkan. Tersebut Pertimbanga pertama Gia dalam memilih sekolah tentu saja kualitas dari sekolah tersebut alias sekolah-sekolah unggulan. Maka dari itu, Gia tidak pernah menyesal bersekolah di sekolah yang dipilihnya. 

Di tingkat 2, setiap siswa SMA diwajibkan untuk memilih jurusan yang diinginkan. IPA, IPS, atau (di sebagian SMA) Bahasa. Ketika merundingkan hal tersebut dengan ayahnya, ayah Gia berkata, “IPA aja Gi. Kalo IPA kan gampang nanti kalo kamu mau masuk IPS di universitas nantinya. Lebih gampang ngejernya. Kalo kamu milih IPS, yah bidang yang bisa kamu pilih untuk universitas terbatas di IPS aja kan, susah kalo mau ngejar ke IPA. “ Gia pun manggut-manggut. Ia tidak sadar bahwa ia terdoktrin akan keterbatasan jurusan IPS, dan keleluasaan IPA untuk masuk ke jurusan IPS di universitas. Ucapan ayahnya yang sudah merasuk di otaknya didukung oleh teman-temannya yang lebih banyak memilih jurusan IPA. Kalau ditanya alasan mereka masuk IPA, Gia bisa meranking jawaban mereka:

Ranking 1: Seperti ucapan ayahnya
Ranking 2: Ikutan temen
Ranking 3: Emang ntar pengen ngambil jurusan IPA di universitas, seperti: Teknik, Kedokteran, Farmasi, dll.

Dari 240 siswa kelas 2 di SMAnya, hanya 30 siswa yang memilih jurusan IPS. Gia termasuk dalam 210 siswa lainnya. Dan alasan ia memilih IPA adalah alasan ranking 1.

 
FREE BLOGGER TEMPLATE BY DESIGNER BLOGS